Langsung ke konten utama

Menuju Kota Apel

Dokpri Gambar Isi Koper Pakaian Pribadi

Malam sebelum keberangkatan tiba. Saya berusaha prepare pakaian secukupnya. Dalam benak, saya bergumam: "Empat potong pakaian (4 baju dan celana) formal cukup kiranya untuk empat hari. Selebihnya, di saat santai atau hendak tidur,  membawa dua kaos dan sebuah sarung sangatlah cukup". Urusan pakaian pengganti memang saya agak sedikit ribet. Takut kuranglah, takut tidak pantas dan lain sebagainya. Selalu ada alasan yang menjulang tinggi dan mengitari benteng kepantasan di dalam benak. 

Alhasil, setelah dipertimbangkan secara matang, dengan mantap saya pun memilih packing semua pakain itu ke dalam koper. Membawa koper jauh lebih efektif dibandingkan tas gendong yang melebihi kapasitas. Saya membayangkan dan belajar dari perjalanan ke luar kota sebelumnya, kapasitas tas pulang-pergi selalu dalam kondisi yang berbeda. 

Meski barang yang dibawa saat pergi tidak begitu banyak, tapi baju kotor yang berjejal saat pulang selalu menghabiskan ruang yang lebih banyak. Kendati itu sudah dilipat dan ditata sedemikian rupa, semimin mungkin. Kondisi itu belum termasuk beberapa buah barang baru (cendera mata) yang harus disertakan. 

Tak jarang, over kapasitas barang bawaan yang dipaksakan dalam perjalanan itu berakibat fatal terhadap tas. Tas yang mulanya prima, pulang-pulang kondisinya terkoyak di banyak sisi. Bagian tali yang koyaklah, resleting yang susah menutup dan lain sebagainya. Banyak serba-serbi lucu yang terkadang banyak menjelma ironi. Memang benar jika dikatakan, segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik. Kendati itu yang dikerjakan adalah sesuatu hal yang baik. 

Contohnya saja makan. Makan itu baik dan bisa jadi ibadah jika kerjakan dengan niat untuk menjalankan titah Tuhan dan kebaikan. Namun, jika makan itu dilakukan secara over, tetap saja akan mendatangkan madarat. Madarat dalam arti membawa keburukan dan penyakit. Penyakit untuk kesehatan fisik dan psikis. Penyakit untul kesehatan jasmani dan rohani. Hal yang sama juga berlaku pada tas. 

Packing pakaian tuntas. Laptop dan alat tulis saya taruh di tas gendong. Sungguh, barang bawaan perjalanan tersebut mengingatkan saya pada tradisi mudik tahunan yang akan tertunaikan sesegera mungkin dalam waktu dekat. Alhamdulillah, tinggal menghitung hari. Bahkan, tiket kereta api untuk pergi-pulang telah saya kantongi. Maklum saja, menjelang semarak mudik lebaran Idulfitri tiket kereta api selalu ludes jauh-jauh hari. Terlebih lagi, tiket yang harganya murah bisa terjual dalam hitungan jam. 

Keberangkatan travel tinggal menghitung jam. Sesuai jadwal, jam 08.00 WIB travel itu akan berangkat. Sebelum berangkat, tak lupa saya menyempatkan diri untuk sarapan. Sarapan pagi memang momentum yang acap kali banyak saya tinggalkan. Mengingat pekerjaan begitu asyik menanti kedatangan saya. Jam 6 kurang biasanya saya berngkat ke sekolah. Waktu ranum sebelum semua orang saling berlomba memacu kendaraannya untuk bekerja, berkuliah atau pun bersekolah. 

Beruntung sekali pagi itu saya bisa sarapan. Perjalanan dan antusias berhasil mendikte saya untuk menggugurkan sarapan. Pecel menjadi menu favorit saya semenjak menginjakkan kaki di kota marmer. Di pagi hari, banyak opsi warung pecel yang dapat dibeli. Tinggal memilih warung mana yang rasanya mampu menggoyang lidah. Tidak hanya urusan rasa, namun juga masalah selisih harga, kuantitas porsi dan dekat jauh lokasi. Banyak hal yang dapat dijadikan bahan pertimbangan. 

Lima menit menjelang jam 8 saya memutuskan diri menunggu di samping jalan raya. Sembari menunggu, saya tetap menjalin komunikasi dengan mas sopir travel. Sejurus kemudian, mas travel sampai dengan membunyikan klakson. Saya menyeberangi jalan, mas sopir membantu saya menata koper. Karena bagasi penuh, alhasil saya harus rela berbagi kursi dan tempat kaki dengan koper dan tas. Sedikit tidak nyaman memang harus duduk dengan posisi yang serba terdesak. Bergerak pun tidak leluasa. 

Selama empat jam perjalanan, saya berusaha bertahan dengan posisi yang sungguh sempit. Bahkan untuk memindahkan kaki sedikit saja justru malah menghalangi pergerakan dari persneling dan rem tangan. Perjalanan yang penuh diwarnai rasa sabar. Posisi duduk baru merasa plong--setelah koper dipindahkan ke bagasi belakan--saat salah seorang penumpang turun di daerah Kepanjen. Benar-benar plong rasanya. Kaki bebas bergerak, posisi duduk oun nikmat. 

Tak butuh waktu lama untuk mobil Avanza reborn yang kami tumpangi sampai di titik tujuan. Hotel itu ternyata satu komplek dengan stadiun Gajaya dan Mall Olympic Gajaya (MOG). Alhasil, kami pun harus mengelilingi dulu sisi bagian dari stadiun dan mall hingga akhirnya sampai di lobby hotel Aria Gajayana. Pukul 12. 02 WIB saya pun memasuki hotel dengan disambut security, pelayan dan beberapa panitia yang bertugas di meja registrasi.

Tulungagung, 7 Maret 2024

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam aktiv

Deskripsi dihari Wisuda

                   Acara wisuda II IAIN Tulungagung, akhirnya telah diselenggarakan pada hari kemarin, yang lebih tepatnya pada hari Sabtu, (05/9) pagi-siang. Tempat tamu yang telah tersedia dan tertata rapi pun akhirnya mulai dipadati oleh para calon wisudawan, wisudawati dan para tamu undangan.           Acara yang telah teragendakan jauh-jauh hari oleh kampus tersebut pun Alhamdulillah berjalan dengan baik dan khidmat, (husnudzon saya). Pasalnya hal yang demikian dapat dilihat, dipahami dan dicermati dari jalannya acara tersebut yang tidak molor (memerlukan banyak waktu).        Hari itu telah menjadi saksi bisu sejarah kehidupan (baik parsial/kolektif) yang menegaskan adanya sesuatu hal yang istimewa, penting dan berharga. Tentu saja semua itu dipandang dari framework umat manusia yang lumrah.           Gejolak rasa parsial pun pastinya tidaklah lepas dari pengaruh keadaan yang sedang terjadi. Namun nampaknya rasa bahagia pun menjadi dominan dalam menyelimuti diri. Hal

Memaksimalkan Fungsi Grup WhatsApp Literasi

(Gambar download dari Twitter) Ada banyak grup WhatsApp yang dapat kita ikuti, salah satunya adalah grup literasi. Grup literasi, ya nama grup yang saya kira mewakili siapa saja para penghuni di dalamnya. Hal ini sudah menjadi rahasia umum bagi khalayak bahwa nama grup selalu merepresentasikan anggota yang terhimpun di dalamnya.  Kiranya konyol jika kemudian nama grup kontradiktif dengan anggota yang tergabung di dalamnya. Mengapa demikian? Sebab rumus yang berlaku di pasar legal per-WhatsApp-an adalah setiap orang bergabung menjadi group member selalu berdasarkan spesialisasi motif yang sama. Spesialisasi motif itu dapat diterjemahkan sebagai hobi, ketertarikan, kecenderungan dan lainnya. Sebagai contoh, grup WhatsApp jual beli mobil tentu akan memiliki nama grup yang berkorelasi dengan dunia mobil dan dihuni oleh anggota yang memiliki hobi atau pun ketertarikan yang satu suara. Tampaknya akan sangat lucu jika seseorang yang memiliki hobi memasak lantas yang diikuti secara update adal