Langsung ke konten utama

Proses Menyempurnakan Media Pembelajaran TPQLB Spirit Dakwah Indonesia

Pentingnya Media Pembelajaran

Komponen penting dalam suksesnya pelaksanaan pendidikan, salah satu di antaranya adalah tersedianya media pembelajaran. Media pembelajaran adalah alat yang digunakan untuk menunjang efektivitas kegiatan belajar. Adapun bentuk fisiknya, bisa berupa apapun yang ditemukan di lingkungan sekitar kita. Misalnya buku, koran, majalah, proyektor, black atau white board dan lain sebagainya.

Sebagai perantara, alat yang digunakan sebagai media pembelajaran sudah barang tentu harus memiliki sifat konduktor terhadap materi yang disampaikan. Sebab hakikat dari penggunaan media pembelajaran tidak lain bertujuan membantu pencapaian komunikasi interaktif antara dua belah pihak yang sedang bertansaksi ilmu pengetahuan. Memudahkan tersampaikannya materi yang dipelajari: membantu pendidik dalam menyampaikan sekaligus memudahkan siswa dalam memahami.

Digital Indeks Braille Sebagai Media Pembelajaran Santri Tuna Netra

Dalam konteks kepentingan melengkapi media pembelajaran itu pula, Alhamdulillah, Minggu, 21 November 2021 TPQLB Spirit Dakwah Indonesia mendapatkan hibah empat buah Digital Indeks Braille terbitan percetakan braille CV Hira Indonesia Bandung. Usut punya usut, setelah saya menyelidiki dan mengkonfirmasi langsung kepada Mas Zakariya (selanjutnya sebut: Mas Zaka), ternyata hibah tersebut berasal dari Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Budaya atau yang kita kenal dengan akronim Kemenko PMK.

Melalui salinan chatting antara Mas Zaka dengan Pak Sinung yang dishare di grup WhatsApp Asatidz TPQLB Spirit Dakwah Indonesia, disebutkan, mulanya Bapak Hendriyanto selaku koordinator pendidikan keagamaan Kemenko PMK menghubungi Pak Sinung dengan maksud hendak menghibahkan Al-Qur'an Braille kepada para santri tuna netra. Namun sebelumnya, beliau hendak mengkonfirmasi terlebih dahulu terkait data administrasi lembaga pendidikan guna disesuaikan dengan jumlah kebutuhan yang diperlukan.

Sebelum mengutarakan maksud dan tujuannya, Bapak Hendriyanto memulai chatting itu dengan penegasan yang penuh kejujuran. Di mana Bapak Hendriyanto sendiri menyebutkan bahwa beliau mendapatkan nomor handphone Pak Sinung dari salah satu staf kementerian agama, yakni dari Bapak Waryono.

Entah kapan hibah itu dikirimkan dari Jakarta dan sampai di Tulungagung, yang jelas dan yang saya tahu, empat buah Digital Indeks Braille itu sendiri diambil oleh Mas Zaka sebelum kegiatan pembelajaran di TPQLB Spirit Dakwah Indonesia dimulai. Informasi tentang adanya hibah itu sebenarnya sudah dishare terlebih dahulu pada Jum'at, 19 November 2021 di grup WhatsApp PH TPQLB Spirit Dakwah Indonesia.

Adapun dua hal penting dari informasi itu: pertama, ultimatum untuk mendokumentasikan proses serah terima pemberian hibah. Sementara yang kedua, dilampirkannya pula foto pak Sinung dengan salah seorang temannya tatkala sedang serah terima Digital Indeks Braille di Pondok Pesantren putra Ath-Thohiriyah Mangunsari Lor Tulungagung. Semacam contoh foto yang menegaskan di mana Mas Zaka harus berfoto dan dengan latarbelakang seperti apa.

Hibah Digital Indeks Braille untuk menunjang pembelajaran para santri tuna netra di TPQLB Spirit Dakwah Indonesia tentu sangatlah penting, mengingat media pembelajaran yang ada dan tersedia di lembaga masih sangatlah minim. Sejauh yang saya amati--semenjak perpindahan kantor Yayasan Spirit Dakwah Indonesia--selama ini pembelajaran mengaji santri tuna netra lebih cenderung menggunakan audio murratal. Entah itu murratal dengan versi langgam Bayyati, Shoba, Hijaz, Nahawand, Rast, Sika dan Jiharkah. Namun, dari sekian banyak langgam murratal yang ada, yang sering digunakan adalah langgam Nahawand.

Ulil Abshar Abdalla (selanjutnya sebut: Gus Ulil) dalam artikel yang berjudul Membaca Al-Qur'an dengan Beragam Langgam, langgam murratal Al-Qur'an sendiri ada ratusan, bahkan ribuan. Belum lagi hampir setiap qari' besar yang ada di belahan dunia yang jumlahnya ratusan, bahkan ribuan, memiliki langgam yang khas saat membaca Al-Qur'an. Sementara jika dipresentasikan, langgam murratal Al-Qur'an selama ini dan sejauh yang mengerak di kepala, didominasi oleh qari' Timur Tengah, utamanya Suadi dan Mesir, (Ulil Abshar Abdalla pada kolom Al-Qur'an Alif.id, Kamis, 09 Mei 2019).

Misalnya saja telinga kita akan lebih peka menebak tatkala mendengarkan langgam murratal imam besar Masjidil Haram, Syeikh Abdurrahman Sudais, yang sudah barang tentu akan memiliki ciri khas tersendiri jika dibandingkan dengan qari' asal Suadi lainnya, seperti Faris Abbad, Mahir al-'Uqaili, atau Sa'd al-Ghamidi. Hal yang sama--ciri khas yang menjadi perbedaan--juga berlaku tatkala kita mendengarkan langgam para qari' besar yang berasal dari Mesir, seperti halnya Syeikh Mahmud Khalil al-Hushari, Syeikh Abdul Basith Abdussamad dan lainnya, (Ulil Abshar Abdalla: 2019).

Lebih lanjut, Gus Ulil mempertegas, bahwa langgam atau nagham sendiri berbeda dengan qira'ah. Langgam berarti irama nada atau lagu yang dipakai tatkala melantunkan Al-Qur'an, sementara qira'ah bermakna bacaan yang berasal dan bersanad langsung dari Kanjeng Nabi. Artinya, langgam itu tidak terbatas, sebab bisa saja mengadopsi irama nada instrumental yang ada di daerah tertentu dengan catatan harus sesuai dengan aturan yang berlaku dalam membaca Al-Qur'an: Tajwid dan Makhraj. Sebab tujuan utama dari dipakainya langgam adalah menjadikan bacaan Al-Qur'an lebih indah dan mengena.

Alhasil tidak menjadi soal apabila ada qari' asal Jawa yang melantunkan Al-Qur'an dengan langgam Jawa, seperti halnya mengadopsi nada pada laras Pelog dan Slendro yang umumnya kerap dipakai dalam instrumen gamelan. Toh upaya adaptatif dan akulturasi ini bertujuan memperkaya khazanah murratal Al-Qur'an berbasis lokalitas, Indonesia. Dan sebagai dampak positifnya, Al-Qur'an akan sampai dengan mudah dan dapat diterima oleh semua kalangan masyarakat daerah.

Mengenai tilawah Al-Qur'an versi langgam Jawa ini sempat menuai kontroversi di lapisan masyarakat Indonesia, utamanya pada kalangan masyarakat yang awan akan perbedaan antara qira'ah dan langgam. Mereka yang cenderung menolak, berargumentasi dan menafsirkan langgam itu stagnan, tidak bisa berkembang dan diadaptasikan dengan kearifan lokal. Semua yang berbau agama ya harus arabisme. Kearab-araban. Sementara pihak yang pro, telah memahami betul perbedaan mendasar antara langgam dan qira'ah, sehingga fenomena itu adalah hal yang dibolehkan adanya.

Kembali ke media pembelajaran yang biasanya digunakan di TPQLB Spirit Dakwah Indonesia bagi para santri tuna netra. Selain mendengarkan dan menirukan tilawah Al-Qur'an versi langgam Nahawand, biasanya santri juga dibimbing oleh Mas Zaka membaca surat-surat pendek juz 30, salawat dan mengenalkan beragam langgam yang berlaku dalam tilawah Al-Qur'an. Metode sorogan menjadi pilihan, dengan pertimbangan setiap santri memiliki kemampuan dan dasar suara yang berbeda-beda.

Sayangnya, metode ngaji sorogan yang bergantung dan mengandalkan kepada Mas Zaka seorang menjadikan santri tuna netra fanatisme atas kehadirannya. Dalam artian, satu-dua dari tiga santri yang ada hanya mau mengaji kalau diajari oleh Mas Zaka. Bagaimanapun caranya (dibujuk oleh orangtuanya atau pun oleh ustadz-ustadzah yang ada), para santri tuna netra lebih banyak menolak diajari oleh ustadz-ustadzah lain jikalau memang Mas Zaka berhalangan hadir di TPQLB.

Sudah barang tentu, hal yang demikian harus menjadi bahan catatan dan evaluasi tersendiri. Bagaimanapun orangtuanya akan sangat kecewa manakala sudah jauh-jauh datang untuk mengaji namun tatkala sudah sampai di tempat anaknya enggan untuk mengaji. Tentu, hal itu akan lebih banyak menyisakan keluh kesah, gerutu dan getir di dada. Sangat disayangkan bukan? Hal yang dikhawatirkan adalah orangtuanya merasa sia-sia dan putus asa.

Sebagai solusinya, ustadz-ustadzah lain juga harus mampu memiliki kecakapan dan keterampilan mengenai tilawah. Sepanjang itu mampu diusahakan dan bisa dipelajari. Namun, setidaknya dengan adanya Digital Indeks Braille ini kefanatikan dan ketergantungan itu secara pelan-pelan akan teratasi. Terlebih-lebih, semua ustadz-ustadzah berdiri di posisi yang sama: sama-sama belum mengerti dan memahami bagaimana cara menggunakan Digital Indeks Braille. Sebab, sejauh ini di antara kami juga belum ada yang mengikuti pelatihan membaca Al-Qur'an Braille manual sekalipun. Tentu, ini adalah tugas dan tanggung jawab bersama untuk mempelajarinya.

Jauh sebelum kami mendapatkan hibah Digital Indeks Braille, sebenarnya saya dan Mas Zaka sempat sama-sama saling merenungkan tentang bagaimana memaksimalkan pembelajaran melalui pendekatan sesuai dengan jenis disabilitas masing-masing santri. Tak terkecuali mencari solusi terbaik untuk media pembelajaran santri tuna netra.

Pernah satu waktu saya mengusulkan, untuk membuat Jilid, Iqra atau Tilawati secara mandiri khusus santri tuna netra. Logika yang digunakan untuk menginisiasi pembuatan semacam Jilid, Iqra atau Tilawati itu mengacu pada bagaimana mungkin indera peraba para santri akan mengenali rangkaian huruf ayat Al-Qur'an, sementara mereka tidak diajarkan mengenal huruf Hijaiyah. Padahal setiap santri tuna netra dalam proses pembelajaran mengandalkan dua potensi panca indera: peraba dan pendengar.

Namun yang menjadi kendala utama adalah, kami sendiri belum begitu paham seperti apa bentuk atau kode khusus yang digunakan Al-Qur'an Braille untuk menuliskan masing-masing huruf Hijaiyah. Baik itu dalam keadaannya yang mandiri (terpisah-pisah) ataupun sudah bergandengan antara dua huruf atau lebih. Belum lagi ditambah dengan sikap ketidakberanian secara struktural dalam mengambil terobosan terbaru.

Hemat saya, kreativitas, inovasi dan eksperimen sangat diperlukan dalam proses menopang kesuksesan pembelajaran di TPQLB Spirit Dakwah Indonesia. Sebab kita sendiri tidak pernah tahu-menahu tentang cocok atau tidaknya model dan media pembelajaran yang digunakan. Yang jelas, kita hanya mampu mengindentifikasi hasilnya dari bagaimana respon yang ditampilkan oleh para santri.
Sudah barang tentu, hal yang demikian itu harus diikuti pula dengan sikap mau dan siap menghadapi semua risiko yang harus diterima.

Terlebih lagi, dewan asatidz juga harus menyadari bahwa tidak ada satu pun latarbelakang pendidikan asatidz yang sesuai dengan pendidikan disabilitas juga sangat memengaruhi. Satu-satunya solusinya yang menurut saya sesuai dengan kasus yang dihadapi, adalah kemampuan kita untuk terus mau mencoba, tidak berhenti belajar dan beradaptasi.

Ohya, bagi siapapun yang memiliki referensi Jilid, Iqra atau Tilawati khusus yang menggunakan format Braille, mungkin bisa mehubungi saya. 

Tulungagung, 24 November 2021

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam aktiv

Deskripsi dihari Wisuda

                   Acara wisuda II IAIN Tulungagung, akhirnya telah diselenggarakan pada hari kemarin, yang lebih tepatnya pada hari Sabtu, (05/9) pagi-siang. Tempat tamu yang telah tersedia dan tertata rapi pun akhirnya mulai dipadati oleh para calon wisudawan, wisudawati dan para tamu undangan.           Acara yang telah teragendakan jauh-jauh hari oleh kampus tersebut pun Alhamdulillah berjalan dengan baik dan khidmat, (husnudzon saya). Pasalnya hal yang demikian dapat dilihat, dipahami dan dicermati dari jalannya acara tersebut yang tidak molor (memerlukan banyak waktu).        Hari itu telah menjadi saksi bisu sejarah kehidupan (baik parsial/kolektif) yang menegaskan adanya sesuatu hal yang istimewa, penting dan berharga. Tentu saja semua itu dipandang dari framework umat manusia yang lumrah.           Gejolak rasa parsial pun pastinya tidaklah lepas dari pengaruh keadaan yang sedang terjadi. Namun nampaknya rasa bahagia pun menjadi dominan dalam menyelimuti diri. Hal

Memaksimalkan Fungsi Grup WhatsApp Literasi

(Gambar download dari Twitter) Ada banyak grup WhatsApp yang dapat kita ikuti, salah satunya adalah grup literasi. Grup literasi, ya nama grup yang saya kira mewakili siapa saja para penghuni di dalamnya. Hal ini sudah menjadi rahasia umum bagi khalayak bahwa nama grup selalu merepresentasikan anggota yang terhimpun di dalamnya.  Kiranya konyol jika kemudian nama grup kontradiktif dengan anggota yang tergabung di dalamnya. Mengapa demikian? Sebab rumus yang berlaku di pasar legal per-WhatsApp-an adalah setiap orang bergabung menjadi group member selalu berdasarkan spesialisasi motif yang sama. Spesialisasi motif itu dapat diterjemahkan sebagai hobi, ketertarikan, kecenderungan dan lainnya. Sebagai contoh, grup WhatsApp jual beli mobil tentu akan memiliki nama grup yang berkorelasi dengan dunia mobil dan dihuni oleh anggota yang memiliki hobi atau pun ketertarikan yang satu suara. Tampaknya akan sangat lucu jika seseorang yang memiliki hobi memasak lantas yang diikuti secara update adal