"Sadar ataupun tidak, salah satu hal yang banyak mengundang keprihatinan diri di hari yang fitri adalah ketidakmampuan kita keluar dari tradisi tajassus dan gibah yang terus mengakar dan menghegemoni. Tidak pandang bulu, siapapun itu seakan-akan pantas untuk dikutuk dan dikuliti", Dewar Alhafiz.
Seperti halnya koin yang memiliki dua sisi. Pemberlakuan aturan larangan mudik lebaran Idulfitri itu pun pada kenyataannya tidak hanya menampilkan tekanan psikis dan kerapuhan rasa yang bersemayam dalam benak masing-masing kita, melainkan berpotensi juga sebagai ajang untuk memanjatkan syukur.
Lah, bersyukur di tengah himpitan bencana dari segala aspek kehidupan memang bisa? Jikapun itu bisa, syukur seperti apa? Apakah syukur itu seperti halnya orang yang merokok? Meskipun terhitung sudah habis satu batang namun tetap saja menguntungkan. Masih saja menyisakan puntung rokok. Bagian filter yang tidak terbakar.
Atau mungkin, syukur itu mirip dengan etika yang menjadi falsafah hidup masyarakat Jawa tatkala menjamu tamu. Menyodorkan segala menu meski sang tuan rumah belum sempat mencicipi menu tersebut. Sehingga dalam proses perjamuan itu bersikap ramah tamah, penuh sopan santun dan dibalut penghormatan dengan mendahulukan tamu, meski di sana ada kesan mengesampingkan hasrat sang tuan rumah.
Itu semua dilakukan tidak terlepas dari adanya persepsi bahwa menghidangkan dan menyantap makanan dengan mendahulukan tamu adalah satu etika yang melambangkan kebijaksanaan hidup, satu bentuk penghormatan yang harus dilanggengkan dan pada akhirnya akan membawa satu keberuntungan di hari kemudian, (Franz Magnis Suseno, 1984: 12-13).
Tidak hanya demikian, bahkan jika diamati secara mendalam dalam proses perjamuan tamu itu juga menyelipkan tradisi abang-abang lambe (red; perkataan yang diucapkan sebagai pemanis; ucapan sekadar untuk memantaskan posisi diri) yang nampak meluap ke permukaan.
Dalam konteks yang tidak jauh berbeda dengan itu pula syukur di balik larangan mudik lebaran menghadirkan senyuman manja dalam benak sebagian orang. (Mengucap hamdalah seraya mengelus dada). Senyuman manja yang hadir dalam benak masing-masing kita karena terhindar dari tradisi penghakiman dan tajassus yang tidak kepalang. Itu semua direpresentasikan melalui berondongan peluru tanya yang tidak dapat dikendalikan caranya tatkala menikam mangsa.
Lantas, apa ada hubungannya antara euforia kemenangan dengan berondong pertanyaan di hari raya? Terlebih lagi, berondong pertanyaan semacam apa gerangan yang membuat sebagian di antara kita terhiyak hingga hampir mati dalam tertegun? Seakan-akan dalam kondisi layamuutu wala yahya.
Ah, jadi malah penasaran bukan? Seperti apa bentuk, alur dan pola keterkaitan antara euforia kemenangan dengan berondong pertanyaan di hari raya. Untuk itu mari kita cari tahu bersama di mana letak muara keterkaitan di antara keduanya. Ada tiga pola untuk sampai pada keterkaitan tersebut di antaranya ialah sebagai berikut:
Bersambung...
Selanjutnya silakan baca di Kompasiana.com terimakasih 🙏
Komentar
Posting Komentar