Langsung ke konten utama

Antologi Pertama Sahabat Pena Kita Tulungagung

Tepat Kamis, 4 Februari 2021 buku antologi perdana Sahabat Pena Kita Tulungagung (SPK-TA) yang berjudul Membumikan Literasi Secuil Kontribusi untuk Memajukan Negeri telah berhasil dicetak. Semenjak tadi siang buku-buku tersebut telah nangkring di kantor LP2M IAIN Tulungagung. Selanjutnya, buku-buku tersebut akan menemukan tuannya masing-masing. Selebihnya, baik-buruk nasib mereka kurang-lebih bergantung pada perlakuan tuannya.

Tentu ini adalah kabar gembira bagi kami semua selaku orang tua yang berhasil memperjuangkannya. Ucapan terima kasih tak terhingga kami sampaikan kepada Prof. Naim yang telah menjadi "nahkoda" kami, pula kepada pihak Sahabat Pena Kita Pusat yang telah menjadi "dokter" dalam proses persalinan "anak pertama" (red; buku antologi perdana) kami ini. Dari mulai mendesain cover, mendaftarkan nomor ISBN hingga mencetaknya menjadi satuan eksemplar buku yang berupa dan berwujud.

Meski demikian, saya yakin bahwa euforia kelahiran anak pertama ini tidak hanya disambut dengan suka cita oleh semua anggota SPK semata melainkan disambut baik pula oleh para pecinta. Maksud para pecinta di sini yakni pecinta buku, penggiat literasi sampai dengan khalayak ramai yang telah bersedia mengapresiasi; membeli dan mengoleksi. 

Besar harapan saya, tentu apresiasi terhadap anak pertama kami ini tidak sekadar berhenti pada level membeli dan mengoleksi melainkan terus belanjut hingga ada beberapa orang yang berusaha membedahnya (mereview) guna memberikan masukan dan mengkritisi. Setidaknya, jalan itu mampu menjadi barometer tersendiri dalam beberapa hal; 

Pertama, dengan mereview buku tersebut kita bisa mengetahui di mana letak celah-celah kekurang itu bersembunyi. Adakalanya kesalahan tetap ada meskipun naskah itu telah ditinjau berpuluh-puluh kali oleh ribuan mata. Utamanya bila mengingat, penulis ataupun editor bisa saja keseleo jari dan kurang teliti. Sehingga tidak menutup kemungkinan akan ditemukannya kekurangtepatan dalam menulis karakter abjad, ejaan kata, kesesuaian dengan KBBI, cara mengutip sampai dengan bagaimana memperlakukan bahasa asing. Sudah barang tentu ini adalah PR bersama yang harus dibenahi. 

Bagi saya, celah-celah kekurang dalam suatu karya itu tentu sangatlah wajar. Kewajaran yang mungkin tidak pernah bisa dilepaskan dari hakikat manusia yang mahlul khota' wa nisyan. Maka atas dasar itu pula niscaya tidak ada karya manusia yang luput dari ketidaksempurnaan. Karena bagaimanapun justru karya itu lahir dari tangan-tangan terampil yang berusaha mengatasi kekurangan itu sendiri. 

Kedua, masukan dan kritikan itu tidak lain adalah amunisi untuk mengukur kualitas diri. Terlebih lagi, syukur-syukur kalau ternyata itu menjadi catatan tersendiri bagi para penulis yang berkontribusi. Satu upaya yang diharapkan untuk mengevaluasi kemampuan dan keterampilan yang dimiliki. Tahapan evaluasi dan koreksi ini sangat penting dilakukan untuk meninjau sejauh mana perkembangan potensi, sehingga di lain waktu catatan ini menjadi bekal untuk meningkatkan kualitas diri.

Kualitas diri dalam berliterasi ini tentu harus ditempa dan dipacu setiap waktu. Tidak cukup jika hanya mengandalkan analisa dan evaluasi yang dilakukan oleh diri sendiri sebagai penulisnya. Keterlibatan sudut padang orang lain untuk menilai, mengoreksi, mengkritik dan memberi saran menjadi ruang lingkup tahapan evaluasi dalam upaya meningkatkan kemampuan. Terlebih lagi, jika orang lain itu adalah mereka yang paham akan seluk-beluk perihal dunia literasi. 

Ketiga, kritikan yang tajam atas rentetan kekurang itu setidaknya akan membangun mentalitas kita untuk benar-benar menjadi seorang penulis. Dari sekian banyak sikap yang menunjukkan seperti apa mentalitas seorang penulis, bersikap legowo (terbuka) adalah salah satu contoh cerminan mentalitas yang harus dimiliki oleh seorang penulis. 

Legowo dalam hal apa? Legowo dalam hal siap menerima kritikan pedas dari berbagai pihak dan sumber apa pun. Melalui kritikan pedas itu setidaknya kita bisa mengetahui bagaimana respon orang lain atas pembacaan karya kita. Kritikan itu muncul bukan tanpa alasan, justru dibangun atas dasar adanya perhatian penuh dan kesadaran. Satu jembatan yang kemudian turut menerjemahkan di mana cara berpikir dan sudut pandang kita berpijak. 

Tidak hanya itu, justru karena adanya mentalitas legowo ini pula yang menjadikan ilmu pengetahuan berkembang. Jika saya menganalogikannya dengan meminjam istilah Karl Raimund Poper, "falsifikasi " atas pengetahuan itu menghasilkan tesis-antitesis-sintesis.

Sebagai contoh, seperti halnya yang telah kita ketahui, tradisi saling mengkritisi ini bahkan telah dicontohkan oleh imam Al-Ghazali melalui karya kontroversial berjudul Tahafut al-Falasifah yang berusaha mengkritik tajam hasil pemikiran filsuf muslim, khususnya Ibnu Sina dan Farabi tentang teologi atau Kalam. Namun, tak lama kemudian Ibnu Rusyd dengan karyanya Tahafut at-Tahafut muncul berusaha menjadi pahlawan dari pihak kelompok filsuf muslim.

Itu berarti beliau berdua sedang masyuk memberi contoh literasi yang baik kepada kita, bahwa kritikan itu perlu adanya. Dialektika kritikan yang dilakukan Imam Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd itu bukan semata-mata bentuk pengabaian melainkan justru timbul atas dasar pengalaman yang panjang, pembacaan yang kompleks dan proses perenungan yang mendalam. 

Secara implisit beliau berdua menegaskan, bahwa hanya dengan tulisan-karya tulis dibalas dengan karya tulis-apa yang disebut kontroversi itu mampu diredam, mampu memberi kemanfaatan. Satu upaya dewasa dalam menyikapi perbedaan sudut pandang, pemikiran dan falsafah hidup. Tentu semua itu berpijak karena adanya mentalitas legowo dan kebijaksanaan. Kualitas diri menjadi pustulat cermin tauladan.

Keempat, adapun sejumput pujian yang diberikan jangan sampai menjadi anggur yang memabukkan. Jangan sampai karena pujian yang disebut sebagai pencapaian dan keistimewaan atas penilaian karya lantas kita berhenti di ujung lena. Merasa cukup dengan apa yang telah dihasilkan. 

Mengapa demikian? Karena bagaimanapun anak pertama ini masih anak tangga awal dari sekian banyak yang harus kita pijak. Jika kita sudah merasa puas di awal maka belum juga sampai menuju pucak sudah dipastikan akan lunglai. Lalai dengan target-target yang harusnya kita capai. 

Dapat dikatakan, adakalanya pujian-pujian itu adalah bumerang akut yang menakutkan untuk perkembangan dan perubahan. Terlebih lagi, kita masih bertitel sebagai penulis pemula. Alangkah baiknya, jangan terlena dengan segala rasa yang timbul dari deret pujian yang diberikan. Masukan saja pujian itu ke dalam catatan evaluasi yang harus ditinjau ulang sehingga menjadi salah satu potensi yang harus kita asah terus-menerus.

Keempat barometer di atas tentu hanya sebagian kecil dari segudang catatan yang harus diperhatikan oleh kita yang baru saja resmi menjadi ayah-ibu atas anak pertamanya yang telah lahir. Tentu anak pertama ini masih ranum sehingga tidak dapat dijadikan tolak ukur untuk menyebutkan masing-masing diri kami sebagai seorang penulis. 

Untuk melangkah lebih jauh ke depan, tentu kami harus berani berpegangan tangan, merekatkan komitmen jauh di lubuk hati yang mendalam, membutuhkan sandaran dan tentunya mengharapkan tuntunan dari sang nahkoda literasi yang kami sebut sebagai suri tauladan. 

Sampai di sini, akhirnya saya mewanti-wanti diri pribadi supaya terus berproses dan produktif menulis untuk satu kebaikan di masa depan. Satu upaya untuk membebaskan diri dari kebebalan yang tak terbantahkan. 

Demikianlah welcome speech saya untuk menyambut kelahiran anak pertama ini. Semoga saja buku antologi ini menjadi virus yang mematikan sehingga memancing timbulnya kesadaran literasi banyak pihak dan kembali membangkitkan geliat literasi yang pernah pudar tanpa semangat.


Tertanda ayah baru yang tak kunjung beristeri.

Tulungagung, 4 Februari 2021


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam aktiv

Deskripsi dihari Wisuda

                   Acara wisuda II IAIN Tulungagung, akhirnya telah diselenggarakan pada hari kemarin, yang lebih tepatnya pada hari Sabtu, (05/9) pagi-siang. Tempat tamu yang telah tersedia dan tertata rapi pun akhirnya mulai dipadati oleh para calon wisudawan, wisudawati dan para tamu undangan.           Acara yang telah teragendakan jauh-jauh hari oleh kampus tersebut pun Alhamdulillah berjalan dengan baik dan khidmat, (husnudzon saya). Pasalnya hal yang demikian dapat dilihat, dipahami dan dicermati dari jalannya acara tersebut yang tidak molor (memerlukan banyak waktu).        Hari itu telah menjadi saksi bisu sejarah kehidupan (baik parsial/kolektif) yang menegaskan adanya sesuatu hal yang istimewa, penting dan berharga. Tentu saja semua itu dipandang dari framework umat manusia yang lumrah.           Gejolak rasa parsial pun pastinya tidaklah lepas dari pengaruh keadaan yang sedang terjadi. Namun nampaknya rasa bahagia pun menjadi dominan dalam menyelimuti diri. Hal

Memaksimalkan Fungsi Grup WhatsApp Literasi

(Gambar download dari Twitter) Ada banyak grup WhatsApp yang dapat kita ikuti, salah satunya adalah grup literasi. Grup literasi, ya nama grup yang saya kira mewakili siapa saja para penghuni di dalamnya. Hal ini sudah menjadi rahasia umum bagi khalayak bahwa nama grup selalu merepresentasikan anggota yang terhimpun di dalamnya.  Kiranya konyol jika kemudian nama grup kontradiktif dengan anggota yang tergabung di dalamnya. Mengapa demikian? Sebab rumus yang berlaku di pasar legal per-WhatsApp-an adalah setiap orang bergabung menjadi group member selalu berdasarkan spesialisasi motif yang sama. Spesialisasi motif itu dapat diterjemahkan sebagai hobi, ketertarikan, kecenderungan dan lainnya. Sebagai contoh, grup WhatsApp jual beli mobil tentu akan memiliki nama grup yang berkorelasi dengan dunia mobil dan dihuni oleh anggota yang memiliki hobi atau pun ketertarikan yang satu suara. Tampaknya akan sangat lucu jika seseorang yang memiliki hobi memasak lantas yang diikuti secara update adal