Langsung ke konten utama

Puisiku

Ambiguitas
Ku goreskan isyarat kasih dalam makna ambigu
Meski sedikit percik yang menjalar qalbu
Ku raba-raba pemahaman buntu
Memilah makna satu, dirimu

Ku kerahkan seluruh perhatianku
Ku fokuskan seluruh waktuku
Tuk dambakan bermuajahah denganmu

Bukankah diantara kita telah saling menahu?
Berta’aruf, dalam isyarat qalbu
Bukankah diantara kita telah menaruh kepercayaan?
Bertafahum, dalam seribu harapan

Amnesiakah?
Dirimu,
Saat kucumbu dengan pena
Ku dekap,
Ku torehkan makna personal yang kaku


Khumaira
Wahai Khumaira,
Begitu rutin, engkau menebar pesona
Menjerat goresan pena, pujangga
Merekah, manis menghias pipi dua

Sumringah...
Menyimpul erat, penuh rahasia
Menguat misteri, beribu tanya
Mencuat makna tak masuk logika

Gerangan, apa yang hendak kau tunjjukkan,
Isyaratkah?
Gerangan, apa yang hendak kau maksudkan,
Percikankah?

Wahai seserpih harapan,
Begitu rutin, engkau menatap wajahku
Tak bosankah?

Wahai sang pemberi makna,
Dengan rutin, kau menyapa wajah polosku
Tak sadarkah?

Maknawiah elokmu telah menjadi racun.
Menundukkan serigala, sang pemangsa.
Merenggut posisi sang raja rimba, singa.
Menuntun prasangka, hati sang hamba


Sang Pemilik Maha
Wahai engkau, sang pemilik rindu
Jadikanlah segumpal darah, yang disebut qalbu.
Berdebar, menebar kasih syahdu
Mengumbar manisnya rindu
Menuntun jiwa, yang lesu

Merangkai makna satu, ambigu
Yang tak cukup terpahami secara kaku
Namun, tercurah pada tujuan satu

Wahai engkau, sang pemilik kasih
Birakanlah diri ini terus bertasbih
Mengharap setetes kasih, dari luasnya samudera kasih.
Mengukir mimpi indah yang tak berlebih
Tanpa beribu kata pamrih

Wahai engkau, sang pemilik isyarat tabu
Biarkanlah diri ini terus belajar, berjimbaku
Tenggelam dalam senandung sendu
Tertatih, mengejar makna isyarat bisu


Cakrawala
Demi waktu,
Fajar, bukanlah engkau hadir
Musabab gemerlap malam, yang menghendaki
Embun, bukanlah engkau bening
Tatkala uap mengendap kuat dalam badani,
Saat mentari menyingkap dingin yang menyelimuti.

Wahai surya yang menyinari...
Hangatmu mencuat isyarat makna yang berarti
Mendekap seluruh prasangka, yang terbingkai dalam mimpi
Yang terurai dalam realita, bukan khayali

Tirai biru, terhampar luas disiang hari
Mengukir awan, si polos suci
Merayu kawan, mengharap arti
Merajut titik hitam, membasuh bumi

Senja petang, penawan mata
Penyumbang isyarat, pemberi tanda
Si gemerlap malam akan segera tiba
Menyelimuti setiap relung cakrawala


Geliat semangat
Pagi, pemilik sejuk
Pelebur letih, memupuk taktik
Pembugar jasmani yang mulai suntuk
Dalam pergumulan suci yang nyentrik

Pagi, pemilik angin yang lembut
Pembelai kasih seujung rambut
Pemberi harapan sehalus kabut
Membekas makna yang mudah luput
Kian melarut.

Siang, pemilik terik
Pembubuh rasa yang kian naik
Pecuat semangat yang kian menarik
Pasang-surut kesan, dalam lokus sempit

Siang, pemberi hangat yang mendekap
Menjalar kuat, memberi manfaat
Pelunas janji, pemberi harap
Menyulut vitalitas, semangat geliat


Syukur
Nikmat manakah yang kamu dustakan?
Bukankah setiap hentak nafasmu, begitu murah
Tak perlu kamu hargakan,
Sehatmu tak perlu digadaikan.

Bak samudera kaya raya
Memendam rahasia, harta tak terhingga
Mencuat prasangka yang meraba-raba
Mengada, bukan melata
Menuai selimut, rasa bahagia

Nikmat manakah yang kamu dustakan?
Bukankah setiap insan memiliki mahkota?
Indah tak ternilai, tak terbayar kuantitas harga,
Asalkan tetap terurai
Menjaga langgeng utuhnya singgasana

Bak anugerah yang tiada tara
Semua pengetahuan tersave dikepala
Miliaran ide-gagasan silih berganti menebar pesona
Memberi isyarat pasti, akan adanya serba maha

Bukankah tentara-Nya terus terjaga dalam jiwa?
Tak ada celah untuk ingkar akan nikmat-Nya
Bukankah kedua mata, dengan rutin melek
Melahap akan eloknya cakrawala?
Menyisir setiap relung, sini-sana
Memberi candu yang tak terhingga
Menyimpul erat, keagungan-Nya

Bukankah secara refleks, kedua tangan menyentuh setiap kerja?
Memberi hasil yang tak terduga
Namun pasti, melunas janji setiap rencana

Bukankah kedua telinga, terus terjaga?
Menguping bisik, desis suara
Al-Muttaharrik alam semesta
Bak tak ada celah untuk ingkar atas nikmat-Nya

Bukankah kedua kaki, terus melangkah?
Menghias pola, mengatur tingkah
Tertegun, mengkonsep langkah
Bak tak ada tingkah, untuk ingkar atas nikmat-Nya

Maka, nikmat manakah yang kamu dustakan?


Ya Sayyidiy
Ya Sayyidiy,
Sekuncup senyum simpul, terhempas mesra
Menggoda,
Membaur warna yang tak terhingga
Mengikat cahaya terang sang lentera
Mencuat kesan yang jelas nyata, berbeda

Membasuh segenggam dahaga, yang tersirat di dalam dada

Ya Sayyidiy,
Pemilik anugerah, sang pencerah
Nur al-Anwar, pesona hasrat yang memancar
Pemilik kasih yang tak wajar,
Perajut kasih yang menjalar
Pelebur rindu yang terumbar

Pemilik Hal-Ikhwal yang kuasa,
Sang piawai, bermain rasa

Pemilik Bashor, yang ketara nyata
Sang piawai, menyisir setiap lirik-kedipan mata

Pemilik Sami’, yang tiada tara
Sang piawai, mengulik hasrat desis halus qalbu di dalam dada
Sang pemilikserba maha yang tak mungkin sama dengan makhluk-Nya


Isyarat Kaku
Demi waktu,
Bergulirkan kesan, isyarat yang tentu
Mendekap pelipurlara yang candu
Membingkai makna, tujuan satu

Bak isyarat bumi-langit yang ambigu,
Bercengkrama mesra, tanpa simbol yang tentu
Mengumbar pengertian, memahami makna-isyarat satu

Kisruh, telah bersemayam dalam daku
Riasu telah menggores sunyi dalam qalbu

Dingin, dan kian membeku
Senyap, mulai membisu
Merayap tanpa bertumpu
Terus melata, meraba-raba lokus yang nampak menipu

Ini-itu,
Mengulas, ekor bujuk-rayu
Menembus tirai, berkias tabu
Mengintai tali, uraian nafsu


Tersadarlah
Terhampar kaku dan membisu
Berwujud lesu, berwatak semu
Tertegun, menjadi beku
Ekspresi dingin yang menipu,
Keliru,
Tabu,
Tak menentu.

Mungkinkah, karena fajar yang belum menjamu?
Mengurai hangat, yang terus merayu
Mengelak sejuk-dingin, yang terus mencumbu
Mengubris secuil kain, yang terus membelenggu

Mungkinkah, karena daku yang tak pernah mau tahu?
Menyadari panggilan suci yang telah berlalu
Memahami rangkai nada-rada sendu,
Mengumbar bujuk-rayu
Sebagai isyarat yang menyeru

Bukankah daku akan merenggut malu?
Bila mendengkur dalam lalu lalang yang terus berlalu, maju
Tak mengenal istilah waktu.

Wahai kawan, tersadarlah
Rebut cepat alas bertumpu
Sebelum lawan kian menyiku
Wahai kawan,  hadapilah
Kecupan hangat masa depan kesuksesanmu


Wa, We, Wo
Wa, we, wo.
Serangkai nada sumbang menyulut tawa
Geliat geli, tak sekadar guyon belaka
Menyumbang gairah hidup realistis, nyata.

Menjerembab, membungkam beribu derita
Membasuh sayatan dalam, goresan luka

Mengharap samudera penawar, gelak tingkah ceria
Merajut semai titik, sepercik asa
Membingkai jalinan semu, alur cerita

Wa, we, wo.
Rangkai kata, penuh makna
Mengukir kesan tiada tara
Menyimpul erat filosofi rasa, di dalamnya
Menyumpal puas, hasrat beribu tanya
Mengumbar senyum, menghapus pelipurlara
Wa, we, wo
Kelamnya malam tak cukup lihai, menelan kecupan indah sang rembulan
Mendekap simpul, sepercik cahaya bintang
Mencuat senyum kebahagiaan
Menyambut hari bebas yang telah datang

Wa, we, wo
Teriknya mentari membentang  luas dikala siang
Menjamah setiap relung, gelapnya hati seorang insan
Menuntun hati, menjadi tenang
Menjabat tangan menjadi kawan


On the Train
Jag, gijag, gijag, gijug.
Tut, tutt, tuttt.
Si roda besi bergulat liar-lincah,
Dengan sang rel yang linier, memuai
Membelai tak berkasih, saling memandu bak kekasih

Meskipun, si roda besi sang kekasih
Tak pernah tahu, jeritan kata yang meminta kasih

Terhimpit,
Tertindih,
Terkungkung, dalam jeratan.

Suara nyaring, yang mendesis
Pun besi menjadi saksi.
Kerikil pun tak berkata-kata
Cukuplah bisu, membungkam beribu kata
Memasang kuat pendengaran, meskipun tak bertelinga
Melotot-melek, meskipun tak bermilik sepasang mata

Tut, tutt, tuttt
Kereta bringas, lunglai di lajur kurus
Memecah sunyi, membelah arus
Menuju fokus, yang menjurus
Lurus...
Fatamorgana yang meringkus
Membungkam persimpangan yang kian rakus
Mencekal penumpang, menghapus haus
Menjenggal lelah yang kian pupus



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam aktiv

Deskripsi dihari Wisuda

                   Acara wisuda II IAIN Tulungagung, akhirnya telah diselenggarakan pada hari kemarin, yang lebih tepatnya pada hari Sabtu, (05/9) pagi-siang. Tempat tamu yang telah tersedia dan tertata rapi pun akhirnya mulai dipadati oleh para calon wisudawan, wisudawati dan para tamu undangan.           Acara yang telah teragendakan jauh-jauh hari oleh kampus tersebut pun Alhamdulillah berjalan dengan baik dan khidmat, (husnudzon saya). Pasalnya hal yang demikian dapat dilihat, dipahami dan dicermati dari jalannya acara tersebut yang tidak molor (memerlukan banyak waktu).        Hari itu telah menjadi saksi bisu sejarah kehidupan (baik parsial/kolektif) yang menegaskan adanya sesuatu hal yang istimewa, penting dan berharga. Tentu saja semua itu dipandang dari framework umat manusia yang lumrah.           Gejolak rasa parsial pun pastinya tidaklah lepas dari pengaruh keadaan yang sedang terjadi. Namun nampaknya rasa bahagia pun menjadi dominan dalam menyelimuti diri. Hal

Memaksimalkan Fungsi Grup WhatsApp Literasi

(Gambar download dari Twitter) Ada banyak grup WhatsApp yang dapat kita ikuti, salah satunya adalah grup literasi. Grup literasi, ya nama grup yang saya kira mewakili siapa saja para penghuni di dalamnya. Hal ini sudah menjadi rahasia umum bagi khalayak bahwa nama grup selalu merepresentasikan anggota yang terhimpun di dalamnya.  Kiranya konyol jika kemudian nama grup kontradiktif dengan anggota yang tergabung di dalamnya. Mengapa demikian? Sebab rumus yang berlaku di pasar legal per-WhatsApp-an adalah setiap orang bergabung menjadi group member selalu berdasarkan spesialisasi motif yang sama. Spesialisasi motif itu dapat diterjemahkan sebagai hobi, ketertarikan, kecenderungan dan lainnya. Sebagai contoh, grup WhatsApp jual beli mobil tentu akan memiliki nama grup yang berkorelasi dengan dunia mobil dan dihuni oleh anggota yang memiliki hobi atau pun ketertarikan yang satu suara. Tampaknya akan sangat lucu jika seseorang yang memiliki hobi memasak lantas yang diikuti secara update adal