Sang
Darwis yang Syak
Buku ini merupakan hasil dari karya tulis yang
berbentuk sebuah novel. yang mana penulisnya memberi judul buku ini “Sebuah
Novel Sufistik Ibrahim Ibn Adham Sang Pangeran Pengembara Tanpa Alas Kaki”.
Penulis Asli buku ini ialah Ahmad Bahjat, yang kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh Zainul Muttaqin Yusufi. Selanjutnya, penerbit asli dari
buku ini awalnya adalah Darul Huda, yang bertempat di Kairo, Mesir pada tahun
1996. Yang kemudian diterbitkan kembali dalam versi bahasa Indonesia oleh Zaman,
yang bertempat di Jakarta pada tahun 2012 (cetakan I). Adapun tebal dari buku
ini ialah 164 halaman termasuk jilid + cover. Serta harganya juga relatif murah
yakni sekisar Rp. 5000 (kebetulan lagi obral).
Selayaknya pada setiap karya pastinya mempunyai
alasan yang mendasar, mengapa dan apa tujuan dari dibuatnya suatu karya
tersebut. Begitu juga dengan (karya tulis) buku ini memiliki suatu alasan yang
tentunya logis dan rasional. Dimana penulis dari buku ini beralasan bahwa dalam
dirinya ada suatu dorongan inspirasi dari suatu history legenda yang misterius
yang terjadi pada masa Dinasti Mamalik. Yang lebih tepatnya lagi ialah mengenai
suatu kisah seorang pangeran yang menjadi penguasa dari kerajaan tujuh kota,
yakni Ibrahim ibn Adham.
Penulis memaparkan
bahwa Pangeran Ibrahim Ibn Adham pada awalnya merupakan seorang yang zhalim,
hedonis, materialis dan tidak pernah berbuat adil terhadap rakyatnya. Suatu
latar kehidupan yang seakan-akan lebih mewah dan enak daripada suatu kehidupan yang
real disekitarnya, ataupun sesuatu yang kontradiksi dengan keadaan ekonomi dan
sosialnya. Sehingga menyebabkan strata sosial yang melegitimasi kedudukan dan
eksistensi dirinya. Akan tetapi suatu keadaan yang awalnya kontradiksi dengan
dirinya kemudian menjadi suatu jalan hidup yang mesti ia tempuh. Dimana hal ini
berawal dari ketertarikannya pangeran kepada seorang darwis (sufi pengembara)
yang muncul secara tiba-tiba dalam kesenangan hidupnya. Yang lebih tepatnya
pada suatu malam disaat ia sedang enak-enaknya berpesta pora dengan para
penjabat kerajaan. Sehingga sang pangeran pun yang pada awalnya sangat terkenal
menjadi seorang yang tidak dikenal. Seorang yang sebelumnya sangat materialis
bahkan pakainya pun seharga seribu dinar berganti menjadi pakaian yang lusuh,
usang dan bahkan ia harus menambal sendiri pakainya ketika sobek. Demikianlah
sebuah resiko yang harus pangeran tanggung, atas dasar kesukarelaannya mengikuti
sang darwis yang mampu mengetahui semua rahasia batin orang-orang yang ada di dalam
kerajaanya termasuk dirinya pribadi.
Penulis juga memaparkan bahwa pangeran mempunyai seorang
anak yakni Hasan yang kelak menjadi pewaris dari tahta dan sikap kezhalimannya
tersebut, saat pangeran telah menjadi seorang darwis. Saat pangeran menjadi seorang
darwis, ia mulai menjalankan serangkaian tahapan maqamat serta ihwal (hal).
Yang mana dalam setiap tahapan tersebut terdapat cobaan yang mesti ia lalui,
dan ketika puncak dari tahapan maqamat sudah di depan mata, sang pangeran mulai
syak dengan apa yang sedang ia lakukan. Yang akhirnya rasa syak itulah yang
menjadi penuntun bagi pangeran untuk kembali ke Istananya. Dan ketika sampai di
Istananya ternyata benarlah bahwa anaknya tidak mengenali pangeran dan menjadi
penguasa yang zhalim seperti dirinya dulu. Bahkan sang Anak yang telah menjadi
pangeran memutuskan sebuah hukuman untuk membunuh ayahnya (Ibrahim Ibn Adham)
tersebut. Akan tetapi berkat bantuan seorang pelayan yang setia pada pangeran
(Ibrahim Ibn Adham) akhirnya ia bebas dan mampu kembali menjadi darwis hingga
dikisahkan bahwa ia berjalan menuju mekkah sesuai perintah dari syekh yang
menjadi gurunya.
Adapun sesuatu yang menarik dalam buku ini ialah ada
beberapa pertanyaan filsafat yang dijawab dengan pendekatan sufistik. Selain
itu juga ada beberapa pelajaran (hikmah) yang dapat kita ambil dari novel
tersebut, diantaranya ialah janganlah syak atas keputusan yang harus dan telah diambil
melalui pemikiran yang matang dan janganlah malu untuk berkonsultasi atas
permasalahan yang dihadapi kepada yang lebih mengetahui (memahami), hanya
keseimbangan antara ilmu dunia dan dan akhiratlah yang membawa dan menuntun
pada keselamatan.
Sedangkan sesuatu hal yang mesti dikoreksi kembali
dalam buku tesebut ialah mengenai bagaimana menggunakan bahasa secara baik dan
benar sesuai dengan EYD bahasa Indonesia. Serta latar history pada klimaksnya
tidak terarahkan secara jelas, sehingga ending dari novel tersebut serasa tidak
fokus.
Komentar
Posting Komentar