Langsung ke konten utama

Antologi Sebagai Batu Loncatan

(Dokpri Cover Buku Goes to Yogya karya siswa MTs YKUI Maskumambang Gresik)

Sekolah adalah tempat belajar yang lekat dengan teori dan praktek. Adapun kecakapan literasi menjadi modal utama untuk menyelami teori, mengkonstruksi pengetahuan dan mentransmisikan pemahaman menjadi aksi. Bahkan produktivitas dalam menunaikan tugas sekolah mayoritas mengandalkan kecakapan literasi. 

Meski begitu tidak sedikit dari kalangan pembelajar yang memahami kecakapan literasi sekadar berorientasi menggugurkan tugas akhir sekolah semata-mata. Tidak memandang kecakapan literasi sebagai soft skill, passion atau bahkan kesadaran interpersonal sebagai hayyawan al-natiq seorang hamba. Lantas tak heran jika kemudian hasrat belajar dan kemampuan literasi seseorang semakin bebal bahkan tumpul seiring tertanggalnya status pembelajar setelah lulus dari lembaga pendidikan tertentu. 

Buku Goes to Yogya Study Tour Penuh Warna (Beragam Cerita Asyik di Kegiatan Study Tour yang Menggugah Jiwa) yang merupakan buku antologi catatan perjalanan karya Annida'ul Fitri dkk. berusaha mengetaskan paradigma kecakapan literasi di dunia pendidikan menengah pertama sebagai formalitas belaka. Mereka berusaha membuktikan bahwa literasi itu penting untuk menghadapi tantangan era disrupsi data dan informasi. Ingar-bingar teknologi informasi sudah selaiknya mengalami fase filterisasi. Filterisasi itu linier dengan kecakapan, budaya dan upaya membumikan literasi.

Upaya membumikan literasi sebagai kesadaran personal itu dimulai dengan menuliskan apa yang kita lakukan: pengalaman, rutinitas hingga akhirnya mampu melangkah pada kontestasi hasil karya yang lebih serius lagi. Buku solo, prosiding atau bahkan mendokumentasikan hasil penelitian dalam bentuk artikel jurnal berputasi yang berskala Scopus. Untuk sampai tahapan ini, seorang pembelajar tentu membutuhkan proses yang tidak instan. Kuncinya adalah jam terbang dan keseimbangan: Menjadi pembaca yang rakus dan gila akan latihan. 

42 catatan perjalanan yang dihidangkan dalam buku Goes to Yogya berusaha memotret lima destinasi wisata yang populer di Yogyakarta. Mulai dari momunen Jogjakarta Kembali (Monjali), pabrik bakpia pathok, Omah kaos oblong, Taman Pintar dan Malioboro. Uniknya, semua tulisan dibingkai secara natural dan reflektif: menggunakan bahasa sederhana dan cara pandang yang bersifat subjektif. Lantas tak heran jika kemudian pembaca seakan-akan sedang diajak mencecap latar tempat yang dideskripsikan oleh sang penulis. 

Ragam sudut pandang dalam tulisan yang disodorkan kepada pembaca menjadi ciri khas yang bersifat opsional. Dari halaman berapa pun pembaca memutuskan untuk mulai membaca akan tetap merasakan kenikmatan kesan dan pesan betapa asyiknya berwisata sekaligus belajar di out class. Pendek kata, mereka tidak hanya sedang menceritakan jejak implementasi kurikulum merdeka namun juga  mendedahkan hasil yang diperoleh secara konkret.

Inspiratif dan syarat akan kesan, adalah kata yang tepat untuk merepresentasikan keseluruhan karya yang termuat di dalamnya. Apa yang mereka tuangkan dalam buku ini layak untuk diapresiasi secara saksama. Sebab mereka telah berani tampil beda dan keluar dari "zona nyaman" dengan mengabdikan sebagian jejak petualang hidup melalui aktivitas menulis. Aktivitas istimewa yang tidak sedikit khalayak mempersepsikan sebagai sesuatu hal yang sulit. Sebaliknya, kehadiran buku ini secara tidak langsung mereka membuktikan bahwa menulis itu mudah. 

Selanjutnya, tentu saja buku ini sangat cocok untuk menjadi rujukan dalam upaya membangun tradisi literasi di lembaga pendidikan, utamanya tingkat menengah pertama. Semua kegiatan yang dilakukan di sekolah pada dasarnya dapat menjadi inspirasi, motivasi dan latar belakang kenapa setiap orang yang berkecimpung dalam dunia pendidikan harus menyandang status long life learner di sepanjang hidupnya. 

Selamat atas terbitnya buku antologi Goes to Yogya. Semoga ini merupakan jalan terbaik untuk regenerasi penulis buku best seller sekaligus menjadi penyambung golden age peradaban. 

Tulungagung, 31 Juli 2023


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam a...

Anak Penjajak Komik

Dokpri: Qadira dengan koleksi komiknya Belakangan saya dibuat takjub melihat pemandangan tak biasa di kelas 2 SDIT Baitul Quran. Takjub bukan karena huru-hara sedang meluluhlantakkan kursi dan meja. Bukan, bukan karena mereka sedang melakukan kegaduhan, bullying dan kenakalan meronta-ronta yang tampak di depan mata melainkan fenomena yang menyegarkan hati.  Bukan hanya maknyes di hati saya kira namun fenomena yang membuat hati merasa bangga: terketuk, kagum dan penasaran sekaligus menampar pipi--bagi siapa pun yang melihat. Lha, memang apa? Baca komik. Cuma baca komik? Tentu tidak. Tidak sedangkal itu kejadiannya.  Almira dan Qadira adalah dua siswi yang membuat saya takjub itu. Mereka berbeda dari siswa-siswi lain. Jika umumnya anak menjadikan semua tempat untuk bermain, bermain di semua tempat sesuka hati, bahkan anak hanya mau membaca saat kegiatan belajar mengajar belangsung maka berbeda dengan dua siswi tersebut. Almira dan Qadira lebih suka memanfaatkan waktu luang berte...

Koleksi Buku sebagai Pemantik

Dokpri buku solo ke-10 Saya kira transaksi literasi saya dengan Qadira akan usai seiring tuntasnya koleksi komik yang dibaca namun ternyata tidak. Di luar prediksi, transaksi literasi itu terus berlangsung hingga kini. Kini dalam konteks ini berarti berlangsung hingga detik-detik akhir pelaksanaan Sumatif Akhir Semester genap.  Keberlangsungan ini, jika boleh menerka, hemat saya tak lain karena provokasi dan motivasi yang saya berikan. Tepatnya saat mengembalikan buku terakhir yang saya pinjam. "Besok, koleksi komiknya ditambah ya. Nanti ustadz pinjam lagi. Bilang sama ibu, mau beli komik lagi supaya bisa dipinjamkan ke teman-teman sekolah", seloroh saya setelah menyerahkan komik. Qadira menganggukan kepala pertanda memahami apa yang saya katakan.  Motivasi itu saya berikan bukan karena saya ketagihan membaca komik gratisan, sungguh bukan seperti itu, melainkan dalam rangka memantik geliat memiliki koleksi buku mandiri. Motifnya sederhana, dengan memiliki koleksi buku mandiri...