Langsung ke konten utama

Persaudaraan Utang dan Janji

 "Seperti halnya rindu yang harus tuntas terluapkan, utang pun tak akan pernah lunas sekadar ditebus dengan janji imajinatif melainkan hanya butuh cukup bukti yang konkret. Ajining diri soko lathi. Ajining janji soko ati lan driji", Dewar Alhafiz.


Mengurai Bongkah Kesangsian

Kenapa setiap orang lebih gemar mengobral janji manis di kala membutuhkan pinjaman uang atau materi? Kenapa manusia rela hati menghabiskan waktu dengan basa-basi hanya untuk mengutarakan satu maksud yang dikehendaki? Mengapa dengan sengaja manusia mempertaruhkan harga kata hanya untuk merajut sepenggal kalimat janji supaya orang lain mau menaruh simpati?

Pertanyaan-pertanyaan itu terus saja menampakkan batang hidungnya dalam klise kusut pikiran saya. Hingga akhirnya berhasil menarik rasa penasaran saya yang kian membuncah di pucuk ubun. Pendek kata, pertanyaan itu justru menjerumuskan saya pada kehendak mengurai kembali persinggungan benang merah di antara keduanya; keterlibatan antara utang dan janji itu terletak di mana.

Keterlibatan di antara keduanya tentu bukan sekadar asumsi khalayak belaka yang kemudian menyeruak dan mengerak begitu saja di banyak kepala. Atas dasar itu pula maka saya meyakini akan adanya indikasi-indikasi yang mampu menunjukkan bagaimana polarisasi dan proses interkoneksi antara utang dan janji itu terbentuk. Bahkan, lumrahnya orang menganggap keterlibatan di antara keduanya adalah hal yang biasa saja. Sehingga persoalannya tidak sangatlah penting untuk dibicarakan ataupun diuraikan kembali di hadapan orang banyak. 

Ah, meskipun khalayak ramai sedemikian permisif mempersepsikan tak ada keterlibatan di antara keduanya namun izinkanlah saya mencoba "menarik ulur" kembali kebiasaan, kelumrahan dan kebudayaan kita yang mempersepsikan keterlibatan di antara utang dan janji yang tak ada gunanya. Atau mungkin justru bisa saja upaya ini dipandang sebagai satu hal yang sia-sia belaka. Betapapun demikian, namun sungguh tak apa, apapun itu yang keluar dari benak Anda, saya menerimanya dengan lapang dada.


Indikasi Keterlibatan Antara Utang dan Janji

Secara umum, kita bisa mengetahui keberadaan indikasi-indikasi dalam keterlibatan antara utang dan janji dari bagaimana pola kebiasaan itu terjadi. Itu artinya tahapan-tahapan, cara dan proses atau bahkan strategi dalam konteks urusan utang-mengutangi menjadi bahan pertimbangan yang mesti dikaji. Tidak sekadar cukup diobservasi melainkan diperlukan pula menganalisis dan menggali bagian-bagian kecil yang berlaku dalam proses negosiasi yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang terlibat.

Dalam proses negosiasi utang-mengutangi yang dilakukan oleh kedua belah pihak terkait sudah barang tentu akan mengandalkan pada struktur bahasa yang digunakan, keadaan psikis personal, cara pandang dan adanya kepercayaan antara satu sama lain. 

Pertama, penggunaan struktur bahasa yang tepat. Seperti halnya yang kerap kali kita lihat, orang-orang yang hendak berutang pada seseorang yang lain akan berusaha begitu ramah dan sangat berhati-hati dalam bertutur kata. Bahkan jikalau perlu dideskripsikan secara detail, seseorang (red; pengutang) akan dengan sengaja meluangkan waktu khusus sekadar untuk memilah-milah kata. Mematangkan struktur bahasa itu telah tepat atau tidak. Sekadar memastikan apakah susunan kalimat itu sudah sesuai dengan tatakrama (kode etik, adab) dalam berbicara atau belum. 

Dalam pemantapan bahasa yang hendak digunakan itu umumnya kita lebih banyak tidak memandang latarbelakang usia dan status sosial sang subjek yang menjadi target (red; pemberi utang atau orang yang hendak mengutangi), melainkan selalu fokus memposisikan target dalam keadaan yang agung dan terhormat. Entah itu target yang bersifat personal ataupun lembaga yang keberadaannya legal. Alhasil, struktur bahasa yang digunakan penuh dengan sopan santun, syarat akan bujukan, menyodorkan harapan di atas bayang-bayang kepastian dan menyelipkan kalimat yang menyentuh hati nurani. 

Tidak hanya demikian, kealotan negosiasi dalam utang-mengutangi bahkan tidak hanya persoalan mengambil keputusan, menekankan pada permainan dan hiperbol bahasa melainkan diperlicin pula oleh sokongan bahasa tubuh yang tampak natural tanpa dibuat-buat; mimik, gestur dan sorot mata yang benar-benar hidup tatkala sedang melakukan negosiasi. Dua manusia yang sama-sama sedang bergulat dengan pemahaman, saling menerka arti dan pengertian atas satu kondisi yang dihadapi.

Sepintas, penggunaan struktur bahasa yang penuh akan syarat sekaligus disertai bahasa tubuh dalam negosiasi itu hampir mirip dengan bagaimana alur dialog interaktif (face to face) antara Gusti dan hamba yang sering ditampilkan dalam adegan kisah raja-raja di masa lampau. Satu analogi yang dipakai tatkala seseorang bernegosiasi urusan utang-piutang dengan target yang sifatnya personal, bukan berbasis kelembagaan. Tanpa adanya perhitungan bunga yang dilipatgandakan.

Sementara kontrasnya sangat nyata di sisi lain, di mana jika saya boleh meminjam istilah Karl Marx, target selaku pemberi utang lebih nampak seperti Borjuis yang oportunis. Memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Memberi umpan, selebihnya mengeksploitasi habis sumber daya yang dimiliki korban bahkan berkali-kali lipat daripada umpan.  Posisi pengutang di sini tak lebih mengambil peran sebagai proletar yang terdesak kebutuhan namun lambat-laun malah terperangkap dalam candu jangka panjang. Terlanjur lacur dalam  sistem yang melenakan.

Mirisnya, setiap orang lebih menyukai posisi sebagai proletar yang terperangkap candu dengan hobi memelas di banyak daun pintu yang usang. Setiap orang selalu berkompetisi dalam menumpuk utang. Tanpa sadar, setiap orang mendadak latah meniru gaya bahasa yang digunakan berulang-ulang. Bukankah sangatlah mudah orang-orang terperdaya oleh sihir bahasa yang terstruktur rapi, menyayat hati dan memaruh peduli?

Mungkin karena alasan ini pula, mengapa di periode keemasan perkreditan ini banyak sekali transaksi jual-beli dan penyewaan tumbuh subur di belahan bumi tanpa dikotomi. Perusahaan-perusahaan yang mengusung konsep kredit kian menjamur di pasaran. Bahkan konsep perkreditan ini sampai menyentuh pada sektor perusahaan penyedia layanan jasa sekalipun. 

Utamanya, di masa pandemi Covid-19 yang mengharuskan masing-masing manusia taat pada protokol PSBB yang telah ditetapkan oleh pemerintah sekaligus membatasi ruang geraknya di segala ruang, alhasil hampir-hampir semua kebutuhan hidupnya ditopang dengan penggunaan kartu kredit. Terlebih lagi, penggunaan layanan kartu kredit kian melintang bebas dengan bertebarannya aplikasi gadget yang tak terhitung jumlahnya.

Cara kerjanya yang sangat instan menjadi andalan mengapa khalayak ramai lebih tertarik untuk menggunakan dan menyukainya. Cukup dengan menyentuh layar smartphone Android-nya seakan-akan dunia berada di ujung kendali jari-jemarinya. Dengan sekejap mampu menjadi tuan yang sesungguhnya asalkan materiil itu dapat membungkam dalih dan dahaga para pelayan atas semua jasa yang diberikan kepadanya.

Ironi inilah yang kemudian menjadi jembatan penghubung menuju keterkaitan antara bahasa dan psikis personal pada persoalan selanjutnya. Ya, keadaan psikis personal inilah yang menjadi persoalan kedua. Penggunaan dua bahasa yang tepat secara bersamaan ada kemungkinan besar mampu menghanyutkan keadaan psikis sang subjek yang mendengar cerita yang disuguhkan. 

Sadar ataupun tidak keadaan psikis kita yang tidak stabil turut menentukan setiap respon yang harus diberikan atas apa yang ada di hadapan. Baik itu respon dalam artian; menerima, mengabaikan atau memang menolaknya dengan terang-terangan. Entah itu respon yang diwakilkan oleh ekspresi wajah, gaya bahasa yang penuh satire dan majas, gestur atau malah dengan mendiamkannya tanpa pikir panjang. Terlebih lagi kalau ada catatan orang yang hendak berutang itu memiliki rekam jejak yang tidak baik terhadap orang yang hendak diutangi.

Keadaan psikis yang demikian itu secara implisit memang hendak menunjukkan bahwa stabilitas mood sangat mempengaruhi dalam hal utang-mengutangi. Atas dasar itu pula maka hal yang pertama kali harus dilakukan oleh seseorang yang hendak berutang adalah menyentuh hati. Berusaha memberikan pengertian terkait bagaimana kecamuk rasa di dalam hati kita yang bermasalah adalah kunci. Kunci utama yang mungkin saja menggamit responden yang mau berbelas kasih, penuh pengertian dan keterpanggilan hati atas nama perikemanusiaan yang tinggi.

Alhasil, sebagai upaya menyentuh keadaan psikis seseorang, tampaknya tidak menjadi satu masalah yang berarti jika kita mendramatisir cerita kehidupan sehari-hari kita yang mustad'afin: fakir, kalut-marut, penuh onak dan pelik. Secara tidak sadar, di sinilah kita sedang berusaha keras meyakinkan sembari sibuk memanipulasi tipis-tipis. Seolah-olah kita sedang sibuk mengidentifikasi diri sendiri dengan masyuk tanpa ada yang ditutup-tutupi.  Toh, kepentingan kita adalah menarik empati supaya orang lain memberikan pinjaman materi. 

Namun di sisi lain, semakin kita mempertegas keterkaitan antara bahasa dan keadaan psikis personal dengan menampilkan segunung alasan yang dramatis justru di sanalah tanpa sadar kita sedang menunjukkan sisi terdalam dari diri kita sendiri. Artinya, di sana kita tidak bisa menapikan sekaligus menahan hadirnya cara pandang yang sengaja ditumpahkan. 

Persoalan cara pandang inilah yang menjadi poin penting selanjutnya, ketiga. Cara pandang tentang bagaimana kita memposisikan utang-piutang melalui alasan yang disuguhkan dan rekam jejak itulah yang dijadikan salah satu bahan pertimbangan. Satu pertimbangan yang sengaja dikuliti untuk membaca pola pikir, sudut pandang dan diabstraksikan oleh seseorang yang hendak mengutangi tersebut. 

Masalahnya kenapa cara pandang kita terhadap utang-piutang itu tampak begitu penting? Sebab, hampir dapat dipastikan bahwa kebanyakan orang  akan bergerak (red; memposisikan sesuatu hal)-bagaimana ia berpikir, bertindak dan menilai- berdasarkan cara pandang terhadap sesuatu hal tersebut. Tanpa terkecuali, hal ini berlaku pula dalam konteks utang-piutang.

Cara pandang yang berlaku dalam konteks utang-piutang di sini maksudnya paham atas sifat mendasar utang dan janji. Sifat mendasar utang sendiri adalah mengalihkan pemanfaatan barang yang bukan milik kita. Artinya, kita meminjam penggunaan barang yang asalnya berada di tangan (red; milik) orang lain namun atas izinnya kita pun mengambil kemanfaatan darinya. Atas dasar itu pula maka dalam pengambilalihan penggunaan atas suatu barang tersebut diperlukan adanya kesadaran untuk pengembalian yang pasti dan sesegara mungkin. 

Adanya kesadaran untuk pengembalian yang pasti dan sesegara mungkin inilah selanjutnya dituntut untuk membuat sebuah janji. Perjanjian yang menunjukkan kesepakatan dan kesepahaman di antara pihak yang terlibat. 

Berkaitan dengan hal itu, dalam satu ceramahnya Gus Miftah pernah menegaskan; "Tergesa-gesa itu tidak baik. Tapi ada empat tergesa-gesa yang harus dilakukan; segerakan menjamu tamu, segerakan mengurus jenazah, segerakan membayar utang dan segerakan dalam ibadah (salat)". Lebih lanjut beliau juga menuturkan, bahwa ada dua sebab kenapa siksa kubur menjadi sangat pedih; karena tidak membayar utang dan karena tidak memperhatikan istinja'.

Sebagai manusia betapa sangat tidak tahu diri jika kita hanya bersemangat dalam meminjam barang atau mengutang namun lalai dalam urusan piutang dan menepati janji. Sebab, bisa saja orang yang mengutangi tersebut di waktu yang lain sangat membutuhkan barang yang dipinjamkan itu untuk segera kembali. 

Tak usahlah kita membuat drama nyeleneh ala warga plus enam dua, yang terkadang merasa hina di kala ditanggih utang pagi hari. Tak usahlah marah-marah bukan kepalang hingga berbuntut panjang satu perkara yang tidak dikehendaki kala yang meminjamkan uang mengingatkan kita di saban hari. Justru, itulah upaya ampuh untuk menyelamatkan kita dari kealpaan dan kelalaian diri. Terkadang, diri kitanya saja yang terlalu tinggi dalam merasa dan tidak tahu balas budi, sehingga dengan mudah bertinggi hati. 

Masihkah itu menjadi sikap kita? Jika masih saja demikian, mungkin kita telah tersesat jauh hingga sampai lupa dengan prinsip dalam menjalankan hidup. Hadits riwayat Imam Ahmad menyebutkan; "Khoirunnas angfa'uhum Linnas, (sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia yang lain)".

Sementara poin yang terakhir, yakni adanya kepercayaan antara satu sama lain. Kepercayaan dalam urusan utang-piutang menjadi landasan sikap yang penting. Sebab, logisnya seseorang atau lembaga tidak akan pernah memberikan pinjaman tatkala tidak mengenal subjek yang dimaksud. Bahkan jika pun ada kasus pengutang gelap justru itu adalah ketidakmungkinan besar yang harus diungkap. 

Adanya kepercayaan antara dua belah pihak dalam konteks keterkaitan antara utang dan janji tidak bergitu saja hadir, melainkan ada proses yang sengaja dikonstruk dan dikonfirmasi langsung oleh pihak yang dimaksud. Proses pembentukan dan konfirmasi itu banyak bertumpu pada pertimbangan yang mencakup persoalan sebelumnya yang telah dibahas. Utamanya, kepercayaan itu banyak dinilai dari segi rekam jejak; kebenaran dalam setiap perkataan, keamanahan, keselaran antara perkataan dan tindakan termasuk di dalamnya kesesuaian dalam menepati setiap janji yang telah dibuat.

Jika seseorang telah berhasil menaruh kepercayaan terhadap orang lain, maka besar kemungkinan proses utang-mengutangi itu akan lancar. Tidak akan ada kecurigaan dan kekhawatiran yang timbul pada diri masing-masing pihak yang terlibat. Bonusnya, kepercayaan itu akan terus berlanjut sepanjang hayat, dengan catatan masing-masing di antara mereka saling memelihara dan tidak menciderai pemberian kepercayaan itu. 

Dalam pandangan Islam, adanya kepercayaan dalam setiap pribadi sangatlah penting. Bahkan saking pentingnya, sikap kepercayaan dijadikan sebagai sikap yang wajib adanya dalam diri setiap utusan Allah SWT., Nabi dan Rasul. Tidak hanya sekadar stagnasi dalam pengkultusan dan seremonial religiusitas melainkan kepercayaan itu harus diimplementasikan pula dalam kontinuitas kehidupan para umatnya. Sampai di sini, mungkin kita pun paham betul kenapa Nabi Muhammad Saw menyandang gelar Al-Amin. 

Begitu juga sebaliknya, tidak adanya kepercayaan dari orang lain dalam urusan utang-piutang ada kemungkinan besar memang kerapuhan dan kelaliman yang ada di dalam diri kita begitu lumrah diumbar terlalu mudah terendus, sampai-sampai orang lain pun begitu sukar menakar. Sebutkan saja kerapuhan dan kelaliman yang ada di dalam diri sendiri itu dengan munafik. 

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, disebutkan; "Rasulullah SAW bersabda; tanda orang munafik ada tiga; apabila berkata ia berbohong, apabila berjanji mengingkari dan bila dipercaya mengkhianati". Sementara dalam kitab Riyadhus Sholihin menegaskan; "Dari Abdullah Bin 'Amr Bin 'Ash Radhiyallahu 'Anhu, bahwa Rasulullah SAW telah bersabda; "Ada empat perkara, jika seseorang memiliki empat perkara ini, maka ia disebut munafik tulen. Dan barang siapa memiliki salah satu tandanya, maka dalam dirinya ada tanda kemunafikan sampai ia meninggalkan perilaku tersebut, yaitu: jika diberi amanat, khianat; jika berbicara dusta; jika membuat janji, mengingkari; jika berselisih, dia akan berbuat zalim", (H. R. Bukhari dan Muslim).

Dari penjelasan matan hadist di atas kita dapat mengambil simpulan bahwa kepercayaan itu tak lain mencerminkan kepribadian seseorang. Mengapa demikian? Sebab dalam kepercayaan itu mencakup perkataan, tindakan, keputusan dan cara pandang yang ditampilkan oleh seseorang. Itu artinya, tidak akan mungkin seseorang menaruh kepercayaan di ruang yang kosong, melainkan sikap itu selalu tumbuh dan berkembang atas dasar setting alasan. 

Sialnya, di zaman edan ini semua orang pandai berkamuflase di mana dan kapan saja. Bahkan sering menjadikan kepercayaan itu sebagai bahan taruhan dengan seenaknya. Pikirnya, harga kepercayaan itu lebih murah daripada bongkahan batu mulia, yang sifatnya mudah diobral begitu saja, lantas menjadikan kepercayaan itu sebagai jaminan ampuh untuk berutang ria. Tidak peduli kalau-kalau ia mengingkari janji dan menyengaja lupa untuk tidak membayar barang yang dipinjamnya. 

Padahal sekali saja seseorang mencederai kepercayaan orang lain terhadap dirinya tamat sudah riwayatnya. Sepanjang pekik nafas penghidupannya itu pula kesempatan yang diberikan oleh orang lain tidak akan pernah lagi menghampiri dirinya. Kecuali ia mengalihkan modus operasi jahatnya kepada target yang sama sekali belum pernah dikenalnya. 


Kesangsian Pamungkas

Tapi, apakah dapat dibenarkan tatkala kita menaruh citra kemunafikan demi tercukupinya kebutuhan mendesak? Apakah dapat dibenarkan tatkala kita hendak mencapai satu tujuan lantas dimulai dengan kebohongan sebagai kalimat sambutan? Apakah dapat dibenarkan melakukan pengelabuan dalam upaya mengikat rasa kepercayaan? Apakah dapat dibenarkan memanfaatkankan kepolosan belas kasih orang lain atas nama kebutuhan hidup? Dan masih banyak lagi pertanyaan lain yang tak mungkin habis ditumpahkan di sini.

Deretan pertanyaan itu tak lain adalah jelmaan realitas era kontemporer ini yang sedikit demi sedikit sedang mengindikasikan bahwa manusia telah menjadikan roda kehidupan tak lebih sibuk daripada menaruh kepercayaan satu sama lain. Saling menaruh kepedulian terhadap sesama manusia yang memiliki kepentingan ini dan itu. Sementara kehadiran orang lain adalah inventaris alamiah yang tak akan pernah habis untuk dikuras. Itu pun akan terpahami jika kita sadar betul kenapa Tuhan menciptakan adanya perbedaan di muka bumi. 

Sialnya lagi, terkadang kita sebagai manusia lebih banyak terjebak dalam belenggu; tidak merasa malu, tidak tahu diri dan pandai mencurangi. Mengaku banyak teman tapi setiap kedatangnya hanya karena kebutuhan pribadi. Memiliki kawan setia kalaupun dia banyak meminjami. Ini-itu semuanya selalu saja dan ingin melulu diberi, bukan selalu ada untuk berbagi. Bahkan tak ada sedikitpun inisiatif untuk mendahulukan saling memberi. 

Termasuk di dalamnya urusan kunjung-mengunjungi hanya formalitas kebutuhan materi. Awalnya sekadar cipika-cipiki, ngobrol ngarol-ngidul, ketawa berselang kernyitan dahi hingga akhirnya lambat-laun, manusia pun tidak segan-segan menjadikan silaturahmi sebagai alibi. Alibi pengalihan dua modus, dari modus optatif menuju modus operasi. Sarkasnya, kadang kita sibuk mencari teman, hanya untuk menjadikannya sebagai tempat mengutang dan membuat janji. Tanpa pikir panjang apa saja akibat yang akan mengitari diri. 

Entah sejak kapan, manusia lebih suka mengerdilkan hakikat kehidupan sosial dalam hiruk-pikuk hidup dengan sangat berapi-api. Sangat doyan menggali lobang di sana-sini. Mengobral janji manis bak kandidat kuat anti korupsi. Hingga akhirnya manusia memproklamirkan janji dan utang adalah saudara kandung yang tak pernah dapat terpisahkan, diurai kembali ataupun dikotomi. Kedekatan di antara keduanya bak seromantis telunjuk dan jari tengah di tangan kita. 

Laiknya keumuman yang terjadi di sana-sini, pagelebuk (Covid-19) yang urung genap mati musabab vaksinasi pada kenyataannya telah mengoyak keadaan ekonomi masyarakat, sembari menaruh pandangan dan semangat baru. Satu semangat yang menegaskan bahwa di zaman kiwari, harga kepercayaan begitu murah dibandingkan rasa gengsi. Alhasil, hidup tanpa utang adalah nihilitas belaka. Rumusnya dapat diterka; utang ditambah gengsi sama dengan citra diri. 

Ah, sebagai pengakhiran, izinkan saya mengaminkan qoute of days dari akun Instagram Ketoprak_jowo; "bisnis yang menjanjikan adalah bisnis utang. Coba utangi seseorang, maka dia akan terus berjanji kapan bayar. Menjanjikan, bukan?". Shit man! Stop mendistorsi elektabilitas diri dengan melacurkan kepercayaan dan mengobral janji tanpa pernah ditepati. Mari merawat kepercayaan dan disiplin dalam memenuhi janji yang telah disepakati.  Termasuk melunasi utang terhadap komitmen yang telah kita buat sendiri. 


Tertanda tukang ngutang.

Tulungagung, 12 April 2021.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam aktiv

Deskripsi dihari Wisuda

                   Acara wisuda II IAIN Tulungagung, akhirnya telah diselenggarakan pada hari kemarin, yang lebih tepatnya pada hari Sabtu, (05/9) pagi-siang. Tempat tamu yang telah tersedia dan tertata rapi pun akhirnya mulai dipadati oleh para calon wisudawan, wisudawati dan para tamu undangan.           Acara yang telah teragendakan jauh-jauh hari oleh kampus tersebut pun Alhamdulillah berjalan dengan baik dan khidmat, (husnudzon saya). Pasalnya hal yang demikian dapat dilihat, dipahami dan dicermati dari jalannya acara tersebut yang tidak molor (memerlukan banyak waktu).        Hari itu telah menjadi saksi bisu sejarah kehidupan (baik parsial/kolektif) yang menegaskan adanya sesuatu hal yang istimewa, penting dan berharga. Tentu saja semua itu dipandang dari framework umat manusia yang lumrah.           Gejolak rasa parsial pun pastinya tidaklah lepas dari pengaruh keadaan yang sedang terjadi. Namun nampaknya rasa bahagia pun menjadi dominan dalam menyelimuti diri. Hal

Memaksimalkan Fungsi Grup WhatsApp Literasi

(Gambar download dari Twitter) Ada banyak grup WhatsApp yang dapat kita ikuti, salah satunya adalah grup literasi. Grup literasi, ya nama grup yang saya kira mewakili siapa saja para penghuni di dalamnya. Hal ini sudah menjadi rahasia umum bagi khalayak bahwa nama grup selalu merepresentasikan anggota yang terhimpun di dalamnya.  Kiranya konyol jika kemudian nama grup kontradiktif dengan anggota yang tergabung di dalamnya. Mengapa demikian? Sebab rumus yang berlaku di pasar legal per-WhatsApp-an adalah setiap orang bergabung menjadi group member selalu berdasarkan spesialisasi motif yang sama. Spesialisasi motif itu dapat diterjemahkan sebagai hobi, ketertarikan, kecenderungan dan lainnya. Sebagai contoh, grup WhatsApp jual beli mobil tentu akan memiliki nama grup yang berkorelasi dengan dunia mobil dan dihuni oleh anggota yang memiliki hobi atau pun ketertarikan yang satu suara. Tampaknya akan sangat lucu jika seseorang yang memiliki hobi memasak lantas yang diikuti secara update adal