Langsung ke konten utama

Golongan Manusia Karet

 Hemmm... perbincangan ini mari kita mulai dengan beberapa buah pertanyaan ringan. Ya ringan, seringan ngemil satu-dua bungkus snack yang paling kita sukai.

Jam berapa si anda bangun tidur? Duluan ayam berkokok atau anda mendahului ayam berkokok? Setelah adzan Subuh berkumandang? atau malah setelah matahari menggeliat? 

Mungkin iya, pertanyaan ini agak sedikit sensitif bagi mereka yang mendaulatkan diri sebagai pecinta begadang. Termasuk pula sebagian orang yang memang memiliki kesulitan untuk memejamkan mata hingga bandul jam benar-benar telah menunjukkan dini hari. 

Sebutkan saja golongan yang kedua itu dengan si penderita insomnia. Satu golongan yang hobinya membuat story di medsos dengan kurasi waktu di atas jam dua belas malam hingga menjelang subuh tiba. 

Entah itu golongan yang pertama ataupun kedua, secara hukum kausalitas keduanya hampir dapat dipastikan selalu ada alasan yang melatarbelakanginya. 

Golongan pecinta begadang misalnya, tak mungkin mereka terus-menerus melek tanpa  ada tindakan, maksud, target dan tujuan yang hendak dicapainya. Kalau katanya Bang Haji Rhoma Irama si, "begadang boleh saja, yang penting ada perlunya".

Dari sekian banyak contoh golongan pecinta begadang dalam realitas kehidupan, saya malah teringat dengan salah satu geng yang menisbatkan diri sebagai 'Geng Stable Devils'. Sekelompok teman-teman semasa Madrasah Aliyah yang doyan melekan, hura-hura dan kelayapan sampai dini hari.

Kecintaan mereka terhadap begadang tak jarang mengalahkan kewajiban dan tugasnya sebagai siswa. Sebagai dampaknya, mereka kerapkali masuk kelas secara terlambat, teledor terhadap aturan yang berlaku dan acuh tak acuh terhadap tugas materi yang menjadi pekerjaan rumah. 

Menyontek di saat mengerjakan sejubel tugas dan ulangan pun tak dapat terelakkan. Sementara tatkala diajak untuk mengerjakan satu perbuatan positif yang dipandang tidak membuahkan keuntungan secara pribadi, umumnya mereka selalu menunda-nunda sembari beralibi sesuka hati. Inilah, itulah, setiap ajakan itu tak digubrisnya sama sekali.

Kebiasaan tersebut pada kenyataannya membentuk masing-masing mereka menjadi pribadi yang bebal, kompromi terhadap kecerobohan dan tak peduli dengan kompetisi akademik yang mewarnai kehidupan rutinitas sekolah. 

Namun, di balik itu semua, mereka adalah geng yang solid dalam urusan jejaring sosial (termasuk persahabatan), merokok, jalan-jalan dan mengembangkan potensi seni yang ada di dalam diri. 

Dalam perkembangannya, mereka sangat menonjol dalam praktek olahraga. Entah itu bola volly, sepak bola, tenis, catur, badminton dan lain sebagainya.

Sementara sebagai contoh golongan yang kedua, saya teringat dengan kebiasaan seorang teman kos yang memiliki kegabutan (kejuhan) tingkat dewa. Alhasil, merokok dan ngopi menjadi pelabuhan terbaik menghempaskan gundah gulana.

Kegabutan hakiki yang kerapkali menghantuinya itu tak jarang harus ia luapkan dengan mengisap tiga pack rokok Surya ataupun LA. Sembari menyembulkan asap dari mulut, terkadang ia memuntahkan kata-kata seenaknya dan sesuka hatinya. Entah itu enak didengar ataupun tidak oleh orang lain, yang penting dirinya merasa nyaman dan bahagia. 

Pada saat kondisi gabut itulah penjajahan atas ruang hampa oleh kata-kata menjadi miliknya. Dia seorang adalah raja, sementara orang lain tak bukan hanya seorang pelengkap dari kehadirannya.

Pernah sekali, kegabutannya itu memuara pada pertikaian kata-kata yang saling mencibir dan memojokkan. Di antara sesama penghuni kos adu mulut, saling menuding siapa yang salah sembari menegakkan tinggi-tinggi bendera kemenangan dan kebenaran adalah milik egonya. 

Akhirnya, upaya pembelaan atas kebenaran setiap pribadi pun berujung mengorek setiap permasalahan sekecil apapun yang pernah dilakukan oleh setiap masing-masing pribadi. Mulai dari urusan perut, lingkungan, kebiasaan, pemikiran hingga cara pandang. Untungnya, percekcokan itu dapat diakhiri dengan kalimat pengakuan yang menyadarkan.

Meski demikian, umumnya kegabutan itu lebih sering dilampiaskan di warung kopi. Di mana hanya di angkringan, di kedai ataupun di cafe ia akan leluasa berbincang dengan orang baru sembari mengisap sebungkus rokok dan secangkir kopi hitam. Hal itu ia lakukan hingga larut malam, bahkan bisa pula sampai dini hari. 

Sebagai konsekuensi dari kebiasaan tersebut, tak jarang ia mengalami insomnia. Entah seberapa kuat hasrat untuk menutup mata tapi kopi hitam yang telah melintasi tenggorokannya membuat matanya bugar untuk tetap terjaga. 

Tak jarang pula, ia lebih memilih mengantisipasi insomnia tersebut dengan streaming YouTube, life story Instagram hingga video call dengan sederet perempuan yang menjadi gebetannya. 

Ah, masa remaja akhir yang mengukuhkan idealitasnya. Eh, dulu saya pun juga. Tapi rasa-rasanya tak separah itu pula saya mengumbar gundah gulana. Bagaimanapun kesendirian dan sunyi telah lama menjadi kawan setia dalam menapaki kehidupan di tanah rantauan.

Nah, di antara dua golongan tersebut pada kenyataannya masing-masing pribadi mereka kerapkali menerima konsekuensi yang sama, yakni terlambat untuk bergegas menyapa dunia. Bangun kesiangan menjadi rutinitas baru miliknya. 

Padahal, tak jarang pula mereka menumpahkan keluh-kesahnya, bahwa sebelum tidur telah terbiasa memasang alarm sebagai pengganti maki orangtuanya. Entah nada dering suara semacam apa yang telah ditetapkan sebagai mode favoritnya. Tapi ia benar-benar telah memastikan alarm itu telah tersetting mode on dalam smartphone miliknya.

Anehnya, niatan untuk bangun di dini hari itu pun selalu kandas dengan rasa kantuk yang masih ranum. Takala alarm telah bunyi bukannya langsung bergegas ke kamar mandi, yang terjadi justru sebaliknya. Salah satu tangannya selalu terbiasa mematikan bunyi alarm untuk sejenak. Selebihnya, alarm itu terus menyala hingga durasi satu-dua jam berikutnya. 

Masalahnya, kebiasaan jahil itu terus-menerus dilakukannya setiap hari. Hingga pernah untuk beberapa waktu tetangga kos muring-muring (mengeluh dan berkata-kata) karena bunyi alarm yang terus-terusan menyala. 

Sesekali pernah tetangga kos masuk ke dalam kamar dan sekaligus mematikan alarm tersebut. Terkadang pula dengan sengaja mendekatkan smartphone itu persis di samping kuping sang empunya. Anehnya lagi, sang empu tidak risih dengan bunyi alarm itu, yang terjadi justru ia pulas dalam tidurnya. 

Ah, memang benar juga bila dikatakan kalau tidur adalah latihan untuk mati. Di mana orang tidur tidak pernah sadar dan tak ingin tahu terhadap segala bentuk yang sedang terjadi. Tidur ya tidur, segala kemungkinan tatkala sedang tidur bisa saja terjadi, entah itu hal positif ataupun negatif, termasuk tak pernah bangun lagi alias mati. 

Satu waktu Gus Baha pernah bercerita; "kalau saya hendam tidur itu pasti merasa berat dan susah untuk memejamkan mata, pasalnya persiapan tidur itu layaknya kita mempersiapkan diri untuk mati. Makanya, harus meminta maaf terlebih dahulu kepada sang pencipta dan segenap makhluknya, mengkhatamkan Al-Qur'an, bermunajat pada Baginda nabi Muhammad Saw hingga harus berhaji terlebih dahulu". Nah berat kan?

Nah, masalah krusial selanjutnya, jikalau bangun tidurnya saja telah kesiangan, maka secara otomatis segala aktivitasnya akan keteteran. Antara menunda-nunda pekerjaan dan membiasakan diri terjabak dalam kemalasan. 

Jadwal rutinitasnya menjadi ruet dan muskil untuk ditata sedemikian rupa. Terlebih lagi jika diajak janjian masalah pekerjaan dengan orang lain. Alamat kandas, molornya minta ampun. Ah, itu semua si persis saya yang gemar kurang menghargai waktu.

Semoga sependek tulisan ini mampu menjadi bahan introspeksi diri masing-masing kita dan menjadi cambuk untuk lebih baik lagi. Amiiinnn.


Malang, 01 Desember 2020


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam aktiv

Deskripsi dihari Wisuda

                   Acara wisuda II IAIN Tulungagung, akhirnya telah diselenggarakan pada hari kemarin, yang lebih tepatnya pada hari Sabtu, (05/9) pagi-siang. Tempat tamu yang telah tersedia dan tertata rapi pun akhirnya mulai dipadati oleh para calon wisudawan, wisudawati dan para tamu undangan.           Acara yang telah teragendakan jauh-jauh hari oleh kampus tersebut pun Alhamdulillah berjalan dengan baik dan khidmat, (husnudzon saya). Pasalnya hal yang demikian dapat dilihat, dipahami dan dicermati dari jalannya acara tersebut yang tidak molor (memerlukan banyak waktu).        Hari itu telah menjadi saksi bisu sejarah kehidupan (baik parsial/kolektif) yang menegaskan adanya sesuatu hal yang istimewa, penting dan berharga. Tentu saja semua itu dipandang dari framework umat manusia yang lumrah.           Gejolak rasa parsial pun pastinya tidaklah lepas dari pengaruh keadaan yang sedang terjadi. Namun nampaknya rasa bahagia pun menjadi dominan dalam menyelimuti diri. Hal

Memaksimalkan Fungsi Grup WhatsApp Literasi

(Gambar download dari Twitter) Ada banyak grup WhatsApp yang dapat kita ikuti, salah satunya adalah grup literasi. Grup literasi, ya nama grup yang saya kira mewakili siapa saja para penghuni di dalamnya. Hal ini sudah menjadi rahasia umum bagi khalayak bahwa nama grup selalu merepresentasikan anggota yang terhimpun di dalamnya.  Kiranya konyol jika kemudian nama grup kontradiktif dengan anggota yang tergabung di dalamnya. Mengapa demikian? Sebab rumus yang berlaku di pasar legal per-WhatsApp-an adalah setiap orang bergabung menjadi group member selalu berdasarkan spesialisasi motif yang sama. Spesialisasi motif itu dapat diterjemahkan sebagai hobi, ketertarikan, kecenderungan dan lainnya. Sebagai contoh, grup WhatsApp jual beli mobil tentu akan memiliki nama grup yang berkorelasi dengan dunia mobil dan dihuni oleh anggota yang memiliki hobi atau pun ketertarikan yang satu suara. Tampaknya akan sangat lucu jika seseorang yang memiliki hobi memasak lantas yang diikuti secara update adal