Langsung ke konten utama

Terjebak Dalam kebiasaan

Mentari yang telah terbit mulai memancarkan cahayanya yang silau dan terik. Suhu pagi yang dingin pun secara perlahan mulai berganti menjadi penuh kehangatan. Burung-burung tetangga pun mulai berkicau riang sebagai pertanda bahagia menyambut kehangatan. Eet dahh, bang, bang burung tetangga yang mana tuh? Entahlah, tahu ah gelap. He
Keadaan yang demikian secara eksplisit telah menjadi stimulus dan motivasi hidup tersendiri dalam menjalani rutinitas perkuliahan. Selain itu, juga sekaligus menjadi motivasi pribadi untuk berusaha konsisten dalam menuangkan sebuah tulisan yang memuat pengalaman hidup dan ide-ide yang sempat menghampiri akal pikiran.  Waduh, jangan terlalu banyak basa-basi deh. Oke, oke.., mari kita fokus pada tulisan saya yang berikutnya.
Terkadang kita tidak mampu melakukan sesuatu diluar kemampuan kita. Misalkan saja kita analogikan sesuatu itu adalah tugas perkuliahan. Rasa enggan untuk mulai mengerjakan suatu tugas perkuliahan yang nampak sulit itu pun terus membalut diri. Akal pikiran yang terbiasa berpikir pun seakan-akan menolak untuk memikirkan tugas yang sulit tersebut. Pada akhirnya ketidak aktifan akal pikiran pun menyalurkan dampak negatif pada anggota badan yang paling aktif dan sangat sensitif, yakni kedua tangan. Kedua tangan yang pada hakikatnya selalu bergerak aktif, secara spontan merespon enggan bergerak secara aktif, seakan-akan beku dalam dinginnya benua Antartika. Jurus terakhir yang menjadi andalan pun dikerahkan, yakni  The power of kepepet. Namun apa daya ternyata jurus andalan tidak berlaku untuk menundukan, melakukan dan menyelesaikan suatu tugas perkuliahan itu.
Bila mengetahui hal yang demikian, maka hilanglah salah satu label yang sering disandarkan pada seorang filosof, yakni sikap kritis. Sikap kritis pun kini telah berganti menjadi ironis. Entah kenapa menjadi demikian. Apa mungkin karena tugas itu memang benar-benar sulit untuk dikerjakan atau karena memang tugas itu dikerjakan dengan menggunakan jalan yang berbeda (diluar kebiasaan yang sering dilakukan). Entahlah mengapa demikian, yang pasti hal itu adalah sebuah ironi yang perlu ditindaklanjuti oleh masing-masing diri pribadi.
Mungkin benar apa yang telah dicetuskan oleh salah satu teori Psikologi. Yang lebih tepatnya yakni teori Behavioris. Teori Behavioris memaparkan bahwa tindakan itu bisa dibiasakan karena adanya pembiasaan. Ya..., benar demikian. Mungkin selama ini kita terlalu hanyut dalam arus dan terus menikmati suatu kebiasaan yang sering terjadi, begitu pun ketika kita mengerjakan sesuatu tugas perkuliahan dengan jalan yang sudah biasa. Suatu jalan yang sudah biasa dipakai pada umumnya dalam mengerjakan tugas, sehingga yang timbul adalah rasa enggan untuk menggunakan, menerapkan dan mengaplikasikan akal pikiran untuk mencari jalan baru dalam menyelesaikannya. Dengan seketika saya pun teringat dan menyadari bahwa yang dinamakan luar biasa itu bukanlah karena sesuatu itu memang benar-benar belum pernah terjadi atau dilakukan. Akan tetapi sesuatu yang luar biasa itu memang pada dasarnya adalah biasa tapi menjadi luar biasa ketika kita mengerjakan sesuatu itu dengan jalan yang berbeda. Ya..., kemungkinan besar itu yang diinginkan oleh salah seorang dosen yang telah memberikan tugas tersebut. Mengerjakan suatu tugas biasa tetapi dengan jalan yang berbeda dan hasil yang luar biasa.

Kemungkin besar lagi-lagi teori psikologi ada benarnya juga. Yang lebih tepatnya teori psikologi tentang sebuah metode katarsis yang dicetuskan oleh Sigmund Freud. Sebuah metode yang berusaha memabngunkan kesadaran seseorang. Mungkin selama ini kita telah terjebak dengan mengerjakan suatu tugas melalui jalan yang biasa. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam a...

Anak Penjajak Komik

Dokpri: Qadira dengan koleksi komiknya Belakangan saya dibuat takjub melihat pemandangan tak biasa di kelas 2 SDIT Baitul Quran. Takjub bukan karena huru-hara sedang meluluhlantakkan kursi dan meja. Bukan, bukan karena mereka sedang melakukan kegaduhan, bullying dan kenakalan meronta-ronta yang tampak di depan mata melainkan fenomena yang menyegarkan hati.  Bukan hanya maknyes di hati saya kira namun fenomena yang membuat hati merasa bangga: terketuk, kagum dan penasaran sekaligus menampar pipi--bagi siapa pun yang melihat. Lha, memang apa? Baca komik. Cuma baca komik? Tentu tidak. Tidak sedangkal itu kejadiannya.  Almira dan Qadira adalah dua siswi yang membuat saya takjub itu. Mereka berbeda dari siswa-siswi lain. Jika umumnya anak menjadikan semua tempat untuk bermain, bermain di semua tempat sesuka hati, bahkan anak hanya mau membaca saat kegiatan belajar mengajar belangsung maka berbeda dengan dua siswi tersebut. Almira dan Qadira lebih suka memanfaatkan waktu luang berte...

Serba yang Kedua

(Dokpri: flyer ngaji literasi edisi 4) Hemat saya angka 2 menjadi angka istimewa dalam ngaji literasi edisi keempat yang akan datang ini. Tepatnya, 3 kali angka 2 yang istimewa. Kenapa harus angka 2? Bukankah masih banyak angka lain: 1, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan seterusnya? Nah, jadi bikin penasaran kan? Pertama, angka 2 yang menegaskan bahwa di momen ngaji literasi edisi ini adalah kali kedua saya menjadi moderator setelah sebelumnya saya beserta Bang Almahry Reprepans bertukar posisi. Tentu saja, dua kali menjadi moderator dalam rangka membedah buku solo kawan-kawan anggota SPK Tulungagung, bagi saya, adalah satu kehormatan dan kesempatan yang luar biasa. Saya dapat belajar bagaimana cara berbicara di depan kamera dan public speaking. Selain itu, pada ngaji literasi edisi keempat ini menandaskan dua kali sudah saya menjadi moderator dalam membedah buku solo perdana sahabat Ekka Zahra Puspita Dewi setelah sebelumnya dipertemukan dalam acara bedah yang diusung oleh komunitas Lentera. ...