Langsung ke konten utama

Koreksi full


Pertemuan ke sembilan ini menjadi ruang khusus bagi saya. Yakni ruang untuk mengoreksi semua kekurangan yang terdapat dalam hasil tugas rancangan proposal yang dikumpulkan pada hari Rabu tersebut. Pasalnya pada pertemuan kesembilan hari Rabu kemarin, semua teman kelas saya tidak ada satupun diantara mereka yang mengumpulkan hasil tugas yang telah diinstruksikan oleh pak dosen. Akhirnya pembahasan pada hari itu hanya terfokus pada koreksi hasil tugas saya.
Pada saat perkuliahan metodologi penelitian kualitatif berlangsung pada hari  Rabu tersebut, rasa-rasanya saya seperti disekap disuatu ruangan yang kemudian sedang diintrogasi oleh pak dosen. Hati saya deredeg berdebar-debar kencang saat satu persatu kesalahan yang ada dalam tugas saya mulai dilucuti dan dibicarakan. Mungkin memang benar hari itu adalah hari pengoreksian penuh terhadap ide apa yang telah saya tuangkan dalam lembaran kertas A4 yang terangkai dalam sebuah tulisan. Disatu sisi saya merasa  kecewa, karena begitu banyak kesalahan yang terdapat dalam tulisan saya. Tapi disisi lain saya merasa jadi pahlawan kesiangan yang mampu menyelamatkan teman-teman sekelas saya yang sama sekali belum berhasil mengerjakan dan menyelesaikan tugasnya. Sehingga perhatian pak dosen pun mampu sedikit teralihkan dari omelan yang mengarah pada teman sekelas saya.
Akan tetapi rasanya tidak adil bila saya hanya menuangkan pesan dan kesan saya pada saat mengikuti perkuliahan metodologi penelitian kualitatif hari Rabu kemarin. Sebaiknya saya juga menampilkan beberapa koreksi yang telah disampaikan oleh pak dosen. Di antara koreksi yang diarahkan pada hasil tugas rancangan proposal saya ialah sebagai berikut: Pertama berkutik pada kesalahan yang terdapat dalam latar belakang. Dalam latar belakang yang saya tulis hanya memuat empat paragraf, padahal kebiasaan yang lazim dalam latar belakang proposal ialah memuat sepuluh paragraf. Kemudian pada kalimat pertama latar belakang tersebut juga seharusnya diberi catatan kaki (referensi) yang jelas, karena kalimat yang saya buat merupakan fakta sosial. Selain itu pak dosen juga memberikan saran untuk menggunakan referensi data yang up to date yang berbataskan oleh tahun, yakni selama sepuluh tahun. Kemudian saran berikutnya ialah diinstruksikan untuk banyak membaca artikel jurnal yang biasanya merupakan sinopsis penelitian. Setelah itu beliau (pak dosen) berusaha mengalihkan pembicaraan sejenak pada bagaimana standarisasi yang akan mulai diterapkan untuk pembuatan skripsi. Yakni dengan adanya kewajiban online skripsi (mengunggah bentuk skripsi menjadi bentuk pdf). Hal yang demikian tentu akan berimbas pada kualitas skripsi yang dibuat oleh mahasiswa tersebut. Apakah skripsi tersebut memang benar dibuat secara jujur atau hanya plagiasi secara pasti tanpa perubahan sedikit pun. Sehingga nantinya akan mempengaruhi gelar yang akan diterimanya, apabila memang ketahuan plagiasi maka gelar sarjananya akan dicabut. Melihat pada ketentuan tersebut seharusnya mampu menjadi acuan bagi para mahasiswa untuk berusaha berlatih menulis dengan menggunakan pikiran kita sendiri. Kemudian pembahasan dialihkan kembali pada pengoreksian hasil tugas saya. Lagi-lagi masih berkutik pada kesalahan yang terdapat dalam latar belakang. Dalam latar belakang yang saya buat ternyata memuat kata asing (bahasa daerah) yang tidak dicetak miring, seharusnya hal ini mesti dicetak miring kecuali bahasa daerah yang sudah diserap kedalam bahasa Indonesia.
Akhirnya pembahasan mulai beranjak pada permasalahan penelitian. Dalam permasalahan penelitian ternyata masih ditemukan kesalahan, yakni ketidak sesuaian dalam memilih kalimat tanya. Misal dalam pertanyaan harusnya menggunakan kalimat tanya apa, saya malah menggunakan bagaimana. Selain itu juga dalam satu pertanyaaan ditemukan dua variabel, sehingga hal tersebut nantinya akan mengalami kebingungan dalam menjelaskan persoalan tersebut. Jadi sebaiknya satu poin pertanyaan memuat satu variabel permasalahan. Kesalahan yang demikian tentu akan berimbas pada tujuan penelitian sehingga ada kalimat yang terdapat dalam tujuan yang harus dirubah.
Selanjutnya pembicaraan mengarah pada bagian metode penelitian. Lagi-lagi dalam tugas yang saya buat terdapat kesalahan yang fatal. Dari mulai judul besar yang seharusnya ditulis metode penelitian, saya malah menulis metodologi penelitian. Kemudian dalam menguraikan metodenya pun saya masih berbentuk paragraf. Padahal dalam metode penelitian ini ada banyak poin diantaranya jenis penelitian, pendekatan, pengumpulan data dan analisis data. Kebiasaan yang lazim dalam metode penelitian, yakni setiap poin haruslah di paparkan secara khusus jangan dibentuk dalam satu paragraf.
Akhirnya koreksi terhadap hasil tugas saya telah berakhir. Akan tetapi tugas dari mata kuliah metodologi penelitian kualitatif belum berakhir. Pasalnya dipertemuan ke sepuluh hari Rabu minggu depan semua mahasiswa FA 4 diinstruksikan untuk mulai mengerjakan tugasnya yang belum terselesaikan ditambah lagi dengan mencari penelitian terdahulu yang berkaitan dengan judul rancangan proposal yang dibuat oleh masing-masing individu. Suatu pesan terakhir pada pertemuan kesembilan kali ini ialah dengan diingatkan kembali oleh pak dosen bahwa semakin kita tidak mengerjakan tugas yang telah diinstruksikan maka akan semakin menumpuk pula tugas yang harus dikerjakan dan itu tentu akan mempengaruhi tingkat keengganan untuk mengerjakan.
Sesuatu yang sekiranya mesti saya sampaikan, bahwa ketika pengoreksian terhadap hasil tugas saya belangsung. Tiba-tiba saya mendapatkan inspirasi untuk menuliskan sebuah kata-kata bijak yang menurut saya patut untuk  dituangkan dalam catatan ini. Kata-kata bijak tersebut ialah “seseorang yang bijaksana adalah mereka yang membuka hati secara sukarela siap untuk dikritik dan dikoreksi tetap dihadapannya”.

Allright, demikianlah pemahaman saya terhadap apa yang telah dipaparkan pada pertemuan kesembilan kali ini.       

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam a...

Anak Penjajak Komik

Dokpri: Qadira dengan koleksi komiknya Belakangan saya dibuat takjub melihat pemandangan tak biasa di kelas 2 SDIT Baitul Quran. Takjub bukan karena huru-hara sedang meluluhlantakkan kursi dan meja. Bukan, bukan karena mereka sedang melakukan kegaduhan, bullying dan kenakalan meronta-ronta yang tampak di depan mata melainkan fenomena yang menyegarkan hati.  Bukan hanya maknyes di hati saya kira namun fenomena yang membuat hati merasa bangga: terketuk, kagum dan penasaran sekaligus menampar pipi--bagi siapa pun yang melihat. Lha, memang apa? Baca komik. Cuma baca komik? Tentu tidak. Tidak sedangkal itu kejadiannya.  Almira dan Qadira adalah dua siswi yang membuat saya takjub itu. Mereka berbeda dari siswa-siswi lain. Jika umumnya anak menjadikan semua tempat untuk bermain, bermain di semua tempat sesuka hati, bahkan anak hanya mau membaca saat kegiatan belajar mengajar belangsung maka berbeda dengan dua siswi tersebut. Almira dan Qadira lebih suka memanfaatkan waktu luang berte...

Serba yang Kedua

(Dokpri: flyer ngaji literasi edisi 4) Hemat saya angka 2 menjadi angka istimewa dalam ngaji literasi edisi keempat yang akan datang ini. Tepatnya, 3 kali angka 2 yang istimewa. Kenapa harus angka 2? Bukankah masih banyak angka lain: 1, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan seterusnya? Nah, jadi bikin penasaran kan? Pertama, angka 2 yang menegaskan bahwa di momen ngaji literasi edisi ini adalah kali kedua saya menjadi moderator setelah sebelumnya saya beserta Bang Almahry Reprepans bertukar posisi. Tentu saja, dua kali menjadi moderator dalam rangka membedah buku solo kawan-kawan anggota SPK Tulungagung, bagi saya, adalah satu kehormatan dan kesempatan yang luar biasa. Saya dapat belajar bagaimana cara berbicara di depan kamera dan public speaking. Selain itu, pada ngaji literasi edisi keempat ini menandaskan dua kali sudah saya menjadi moderator dalam membedah buku solo perdana sahabat Ekka Zahra Puspita Dewi setelah sebelumnya dipertemukan dalam acara bedah yang diusung oleh komunitas Lentera. ...