Langsung ke konten utama

Renungan Pagi

Dinginya air yang membasuh muka menyadarkan diri yang masih terbalut dengan kepolosan. Bayang-bayang tentang aktivitas yang telah dijalankan mulai terrepresentasikan dalam memori ingatan. Entah itu bayangan dari aktivitas keseluruhan ataupun bayangan yang tersikap sebagian.
Kemungkinan besar hal yang demikian disebabkan karena jiwa yang berakal belum terpanggil untuk beraktivitas sebagaimana rutinitas, yakni berpikir. Entah itu sekadar berpikir tentang apa yang sedang dilakukan ataupun tentang apa yang akan dilakukan. Yang ada hanya masih berbentuk niat (rencana) yang belum terrealisasikan. Sehingga proses yang terjadi adalah pikiran berusaha merepresentasikan apa yang telah dijalankan.
Akan tetapi sesuai dengan bergeraknya badan, berjalannya kaki, meleknya mata menjadikan akal yang belum beraktivitas tersebut semakin terfokuskan terhadap apa yang telah dilakukan dan apa yang  akan dilakukan.
Ya..., betul demikian. Besesuaian dengan hal itu pikiran saya pun mulai merenungkan terhadap apa yang telah terjadi pada hari kemarin. Aktivitas yang sering dijalankan hingga menjadi suatu rutinitas (kebiasaan), ternyata mempunyai peran penting dalam membentuk kehidupan seseorang. Entah itu ketika seseorang tersebut berbicara, berpikir dan bertindak sebgaimana kebiasaan yang sering ia lakukan. Bila dipandang dari perspektif psikologi, tentu hal ini bersesuaian dengan teori behavioris. Dalam pandangan behavioris, perilaku itu dapat dibiasakan karena adanya proses pembiasaan. Diantara bentuk real yang terdapat dalam perilaku kebiasaan mahasiswa misalnya selalu membiasakan telat (molor dalam bahasa jawa) yang pada akhirnya mengkonstruk sifat malas dalam hal mengerjakan tugas. Entah itu telat dalam mengikuti jalannya rutunitas perkuliahan ataupun telat dalam mengumpulkan tugas yang menjadi tanggungjawabnya.
Sehingga hal yang terjadi adalah menggantungkan hasil tugasnya pada usaha memanfaatkan kemampuan dirinya yang terakhir, yakni the power of kepepet. Melalui the power of kepepet tersebut setidaknya dalam benak mereka yang terdeskripsikan adalah adanya usaha yang sempat dilakukan. Entah merasa puas atau tidak yang pasti orang yang bersangkutan tidak sempat mempertimbangkan kualitas hasil dari tugasnya tersebut.
Selain itu kebiasaan telat pun mulai mebabi buta. Pembiasaan yang awalnya bermula dari diri pribadi (yang bersifat individu), kini telah menjadi kebiasaan yang ketara dalam semua aspek kehidupan. Baik itu ketika mengadakan event, menjalankan ritual keagamaan, ataupun bentuk interaksi sosial yang membentuk telat waktu. Mungkin salah satu bentuk solusi yang mesti dilakukan adalah dengan mulai membiasakan diri untuk berpacu dengan waktu (jangan menunda-nunda tugas yang mesti dikerjakan).    

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam a...

Anak Penjajak Komik

Dokpri: Qadira dengan koleksi komiknya Belakangan saya dibuat takjub melihat pemandangan tak biasa di kelas 2 SDIT Baitul Quran. Takjub bukan karena huru-hara sedang meluluhlantakkan kursi dan meja. Bukan, bukan karena mereka sedang melakukan kegaduhan, bullying dan kenakalan meronta-ronta yang tampak di depan mata melainkan fenomena yang menyegarkan hati.  Bukan hanya maknyes di hati saya kira namun fenomena yang membuat hati merasa bangga: terketuk, kagum dan penasaran sekaligus menampar pipi--bagi siapa pun yang melihat. Lha, memang apa? Baca komik. Cuma baca komik? Tentu tidak. Tidak sedangkal itu kejadiannya.  Almira dan Qadira adalah dua siswi yang membuat saya takjub itu. Mereka berbeda dari siswa-siswi lain. Jika umumnya anak menjadikan semua tempat untuk bermain, bermain di semua tempat sesuka hati, bahkan anak hanya mau membaca saat kegiatan belajar mengajar belangsung maka berbeda dengan dua siswi tersebut. Almira dan Qadira lebih suka memanfaatkan waktu luang berte...

Serba yang Kedua

(Dokpri: flyer ngaji literasi edisi 4) Hemat saya angka 2 menjadi angka istimewa dalam ngaji literasi edisi keempat yang akan datang ini. Tepatnya, 3 kali angka 2 yang istimewa. Kenapa harus angka 2? Bukankah masih banyak angka lain: 1, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan seterusnya? Nah, jadi bikin penasaran kan? Pertama, angka 2 yang menegaskan bahwa di momen ngaji literasi edisi ini adalah kali kedua saya menjadi moderator setelah sebelumnya saya beserta Bang Almahry Reprepans bertukar posisi. Tentu saja, dua kali menjadi moderator dalam rangka membedah buku solo kawan-kawan anggota SPK Tulungagung, bagi saya, adalah satu kehormatan dan kesempatan yang luar biasa. Saya dapat belajar bagaimana cara berbicara di depan kamera dan public speaking. Selain itu, pada ngaji literasi edisi keempat ini menandaskan dua kali sudah saya menjadi moderator dalam membedah buku solo perdana sahabat Ekka Zahra Puspita Dewi setelah sebelumnya dipertemukan dalam acara bedah yang diusung oleh komunitas Lentera. ...