Langsung ke konten utama

Refleksi Hari Rabu

Sebuah virus yang telah menghegemoni di dalam diri. Begitulah seseorang pernah mengatakan kepada saya. Ya.. betul demikian. Virus yang secara tidak sadar telah menggerakan akal pikiran, yang kemudian menjalar pada salah satu aggota badan yang paling aktif bergerak, yakni kedua tangan. Apa daya kedua tangan ini tidak mampu menolak instruksi apa yang telah tersalurkan oleh akal pikiran. Akhirnya dengan sukarela kedua tangan pun berusaha menuangkan buah ide akal pikiran dalam sebuah tulisan. Entah itu hanya sekadar tulisan yang berusaha menyusun fonem menjadi kata, menyusun kata menjadi frasa, menyusun frasa menjadi klausa, menyusun klausa menjadi kalimat, menyusun kalimat menjadi paragraf dan lain sebgainya. Yang pasti buah ide yang telah menghampiri akal pikiran telah terluapkan dan tertuangkan dalam sebuah tulisan.
Bergantinya hari menjadikan saya harus seregap dalam membagi waktu. Aktivitas pagi pun saya jalankan sebagaimana mestinya. Tapi suatu hal yang perlu diperhatikan dan  lebih ditingkatkan ialah masalah kedisiplinan dalam memafaatkan waktu. Mengingat waktu bukan lagi berjalan tapi berputar dengan hakikatnya yang tidak bisa berhenti. Apa daya tentu hal tersebut adalah sebagai pemacu utama dalam menata diri menjadi lebih baik dalam persaingan realita kehidupan. Rasanya saya tidak perlu panjang lebar dan terlalu dalam larut membahas sekaligus membocorkan suatu resep keberhasilan yang sifatnya private. He.. betul, betul betul.
Sebagaimana biasanya, rutinitas perkuliahan yang saya jalani selalu memberi saya inspirasi untuk menuangkananya dalam sebuah tulisan. Padahal pada hakikatnya rutinitas perkuliahan yang saya jalani selalu saja sama begitu, sesuai dengan apa yang telah terjadwalkan. Sebuah kemungkinan besar yang nampak menjadi titik pembeda dari rutinitas tersebut, yakni adanya keterikatan antara ruang dan waktu yang terus berputar tanpa henti. Sehingga menyebabkan suatu keadaan yang sama tidak akan mampu terulang sama persis walaupun itu hanya sedetik, semenit apalagi sejam.
Meskipun demikian, anehnya suatu ide selalu ada menghampiri akal pikiran dan menstimulus kedua tangan saya untuk menuangkannya dalam tulisan. Memang saya sadari dan akui bahwa pada awalnya aktivitas tulis-menulis hanya sebagai pemenuhan dari tuntutan tugas perkuliahan.
Tapi secara tidak langsung ternyata saya merasa tertarik untuk membuat dunia baru. Membangun peradaban dalam dunia literatur, khususnya literatur yang memang menuliskan dan menceritakan pengalaman hidup yang telah termemorikan dalam akal pikiran.
Jika pada tulisan saya edisi kemarin sedikit mempersoalkan realita wacana yang menyankut tentang jihad. Maka pada tulisan ini saya akan sedikit berbagi pengalaman  tentang rutunitas perkuliahan, yang  lebih tepatnya pengalaman hidup yang terjadi pada hari Rabu, 27 mei 2015 kemarin.
    Mengejar waktu presentasi. Ya.. demikian sebuah gambaran awal ketika saya mendapat bagian untuk presentasi makalah kalam kontemporer. Pesiapan untuk menyempurnakan materi pembahasan pun saya lakukan satu hari sebelum hari Rabu, tepatnya pada hari selasa. Dari waktu ke waktu seakan berjalan dengan cepat, padahal belum banyak materi yang saya cantumkan dalam makalah. Luasnya pembahasan mengharuskan saya untuk pandai-pandai merangkum, mengikhtisar dan mencari inti pembahsan yang memang sesuai dengan judul makalah yang saya susun.
Meskipun demikian, makalah tetap selesai tepat waktu. Tapi sayang ada satu hal yang memang harus saya sesalkan. Ketika saya sudah mempersiapkan mental dan materi pembahasan. Eh, ternyata sang dosen pengampu mata kuliah kalam kontemporer tidak bisa hadir, mengikuti jalannya perkuliahan. Mengingat waktu yang terus berputar, saya pun tetap melakukan presentasi makalah yang telah saya susun, meskipun pada saat itu teman sekelas Filsafat Agama yang hadir baru empat orang (termasuk saya sebagai penyaji). Tapi saya pikir itu bukanlah suatu problem yang memang benar-benar akut, melainkan hanya perubahan sedikit rasa puas di dalam diri.
Seiringan dengan berjalannya penyampaian materi, teman-teman sekelas pun mulai berdatangan dan langsung menempati tempat duduk yang kosong. Beberapa menit pun akhirnya berlalu, seiring dengan selesainya penyampaian materi pembahasan. Presentasi makalah pun di lanjutkan dengan sesi tanya jawab. Penyampaian materi pembahasan saya ternyata berhasil menarik perhatian teman-teman. Sehingga memunculkan beberapa teman sekelas yang berminat untuk bertanya. Namun sayang saya hanya menerima tiga pertanyaan (membatasi pertanyaan sebagaimana presentasi makalah sebelumnya).  Diantara penanya tersebut ialah saudara Zainur Nurcholiq, Gedong maulana Kabir dan saudara Arwani Ilyas.
Satu persatu pertanyaan pun saya jawab sesuai dengan perspektif pemahaman saya terhadap materi pembahasan. Tapi tidak jarang, teman yang tidak sempat bertanya pun berusaha menyanggah dan menambahkan apa yang telah saya sampaikan. Ya... kami pun sangat menikmati jalannya perdiskusian sampai-sampai tidak terasa waktu jam perkuliahan pun telah habis terselesaikan. Maka tidak lama kemudian saya pun berusaha mengakhiri pembahasan materi, dengan menyampaikan beberapa kesimpulan.
Setelah jam ke 2 berakhir ternyata Bapak dosen mata kuliah Metodologi Penelitian Kualitatif pun ternyata tidak bisa hadir. Akhirnya saya bersama teman sekelasnya melangkahkan kaki menuju tempat standby kami berkumpul. Sembari menunggu jam keempat datang menghampiri, kami pun berbincang-bincang tentang persiapan acara ceramah ilmiah dan kebudayaan yang diadakan oleh Institut Transvaluasi dan berusaha menyelesaikan beberapa tugas yang belum terselesaikan.
Tidak terasa ternyata waktu shatat dzuhur pun telah tiba, kami pun langsung mengayunkan langkah kaki menuju mesjid kampus. Namun selayaknya shalat pada umumnya tentu tidak menghabiskan waktu begitu banyak. Beberapa saat kemudian kami pun kembali menuju ruangan, tempat yang akan dipergunakan perkuliahan.
Tidak lama kemudian sang dosen Psikologi Agama, yakni Ibu Lilik Rofiqoh pun hadir memasuki ruangan. Pada pertmuan terakhir tersebut beliau membagikan sebuah foto copyan yang membahas tentang keberagamaan seorang aktor entertaiment. Tapi sayang pembahasan tidak begitu mendalam sehingga perkuliahan pun berjalan tidak sesuai waktu yang telah ditentukan (dalam artian perkuliah selesai sebelum waktu yang telah terjadwalkan). Tidak apa-apa anggaplah bonus hehehe.
Beberapa saat kemudian kami (teman sekelas FA) pun sibuk mempersiapkan tempat dan perlengkapan untuk acara Institut Transvaluasi. Persiapan pun mulai berjalan pasca Ashar dan diakhiri tepat seiringan denga dikumandangankannya adzan Magrib.
Saat acara Institut Transvaluasi berlangsung kebetulan saya mendapat bagian  menjadi transkiptor. Orang yang berusaha menstranskip materi pembahasan yang dipaparkan menjadi status facebook. Entah apa yang akan saya tulis, mengingat saya tidak biasa menulis beriringan dengan mendengarkan sebuah materi yang dipaparkan. Sebuah aktivitas yang luar biasa sedang saya lakukan, (gumam saya dalam hati). Saya sadari dan saya akui memang sulit ketika kita berusaha melakukan sesuatu yang sama tapi dengan jalan yang berbeda ataupun dengan jalan diluar kebiasan yang sering kita lakukan.
Allright, mungkin demikian refleksi rutinitas perkuliahan yang telah saya tuangkan dalam tulisan yang tidak sempurna ini. So, semoga bermanfaat bagi anda yang sempat membaca.
             
       


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam a...

Anak Penjajak Komik

Dokpri: Qadira dengan koleksi komiknya Belakangan saya dibuat takjub melihat pemandangan tak biasa di kelas 2 SDIT Baitul Quran. Takjub bukan karena huru-hara sedang meluluhlantakkan kursi dan meja. Bukan, bukan karena mereka sedang melakukan kegaduhan, bullying dan kenakalan meronta-ronta yang tampak di depan mata melainkan fenomena yang menyegarkan hati.  Bukan hanya maknyes di hati saya kira namun fenomena yang membuat hati merasa bangga: terketuk, kagum dan penasaran sekaligus menampar pipi--bagi siapa pun yang melihat. Lha, memang apa? Baca komik. Cuma baca komik? Tentu tidak. Tidak sedangkal itu kejadiannya.  Almira dan Qadira adalah dua siswi yang membuat saya takjub itu. Mereka berbeda dari siswa-siswi lain. Jika umumnya anak menjadikan semua tempat untuk bermain, bermain di semua tempat sesuka hati, bahkan anak hanya mau membaca saat kegiatan belajar mengajar belangsung maka berbeda dengan dua siswi tersebut. Almira dan Qadira lebih suka memanfaatkan waktu luang berte...

Serba yang Kedua

(Dokpri: flyer ngaji literasi edisi 4) Hemat saya angka 2 menjadi angka istimewa dalam ngaji literasi edisi keempat yang akan datang ini. Tepatnya, 3 kali angka 2 yang istimewa. Kenapa harus angka 2? Bukankah masih banyak angka lain: 1, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan seterusnya? Nah, jadi bikin penasaran kan? Pertama, angka 2 yang menegaskan bahwa di momen ngaji literasi edisi ini adalah kali kedua saya menjadi moderator setelah sebelumnya saya beserta Bang Almahry Reprepans bertukar posisi. Tentu saja, dua kali menjadi moderator dalam rangka membedah buku solo kawan-kawan anggota SPK Tulungagung, bagi saya, adalah satu kehormatan dan kesempatan yang luar biasa. Saya dapat belajar bagaimana cara berbicara di depan kamera dan public speaking. Selain itu, pada ngaji literasi edisi keempat ini menandaskan dua kali sudah saya menjadi moderator dalam membedah buku solo perdana sahabat Ekka Zahra Puspita Dewi setelah sebelumnya dipertemukan dalam acara bedah yang diusung oleh komunitas Lentera. ...