Langsung ke konten utama

Perjalanan Pulang Selepas Pelatihan Epistem

Gerak linier enam roda suatu kendaraan yang menyisir relung koridor perjalanan menjadi tanda telah usainya camp pelatihan. Setiap materil (fisik) yang nampak statis (rigorous) tatkala itu nampak menjadi dinamis, harmonis dan realistis. Kecuali tumpukan tas, sandal dan sebuah terval yang menjadi alas tempat duduk, masih tetap dalam kerigorousannya. Hembusan angin yang fluktuatif dan menyejukkan menjadi penghias disepanjang perjalanan. Langit biru yang menjadi atap pun tatkala itu menjadi kawan setia dalam perjalanan. Keadaan terik panas mentari pun seakan-akan sirna, tersembunyikan dalam keadaan yang teralihkan. Gemuruh kenadraan yang ada disekitar pun menjadi musik pengiring perjalanan. Raut muka (mimik) yang menganalogikan kelelahan pun mulai terenggut, tercerabut dengan perbincangan dan guyonan yang membalut keadaan. Tanpa sungkan dan memperhatikan asas kemaluan, ekspresi tawa yang menyimbolkan kegirangan pun tumpah menghiasi keadaan.
Dalam keadaan ramai yang demikian, diri saya pun larut carut marut dalam situasi asyik yang menghanyutkan. Perjalanan yang sedang berlangsung tatkala itu pun tidak seperti yang dibayangkan, (negatif thinking dan prasangka awal yang terhujam dalam benak saya). Namun, lebih fantasi dan mengasyikan diluar dugaan.
Dalam keadaan hanyut yang demikian, diri saya pun mulai kembali teralihkan, fokus merenungi beberapa agenda kegiatan apa yang telah terjadi dibulan awal perkuliahan semester ini. Tatkala itu, diri saya pun menyadari diri yang sedang merenung. Memikirkan kausalitas dan hikmah (pelajaran hidup) yang semestinya menjadi warna dan makna dalam kehidupan. Yang menjadi tema fokus perenungan saya pun tidak sebatas masa lalu yang terlewatkan. Tapi juga beraneka hal (tindak) yang sedang dan akan terjadi. Namun meskipun demikian, diri saya pun masih menyadari diri yang sedang ada dalam perjalanan menuju pulang. (apa yang saya lakukan tentu berbeda dengan metode kesangsian Rene Descartes yang menghasilkan Co gito Ergo Sum).
 Secara spontan, fokus pikiran saya mulai teralihkan dengan sebuah rutinitas yang terejawantahkan dalam tindak kekonsistenan. Namun tatkala itu pun saya menyadari betapa naifnya diri terhadap kelengahan dan kelalaian tentang apa yang telah dikomitmenkan. Dengan penuh kesadaran, diri ini pun harus menanggung sedikit rasa penyesalan dan berusaha merekonstruksi rutinitas baik yang telah terdestrosikan.        


              

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam a...

Anak Penjajak Komik

Dokpri: Qadira dengan koleksi komiknya Belakangan saya dibuat takjub melihat pemandangan tak biasa di kelas 2 SDIT Baitul Quran. Takjub bukan karena huru-hara sedang meluluhlantakkan kursi dan meja. Bukan, bukan karena mereka sedang melakukan kegaduhan, bullying dan kenakalan meronta-ronta yang tampak di depan mata melainkan fenomena yang menyegarkan hati.  Bukan hanya maknyes di hati saya kira namun fenomena yang membuat hati merasa bangga: terketuk, kagum dan penasaran sekaligus menampar pipi--bagi siapa pun yang melihat. Lha, memang apa? Baca komik. Cuma baca komik? Tentu tidak. Tidak sedangkal itu kejadiannya.  Almira dan Qadira adalah dua siswi yang membuat saya takjub itu. Mereka berbeda dari siswa-siswi lain. Jika umumnya anak menjadikan semua tempat untuk bermain, bermain di semua tempat sesuka hati, bahkan anak hanya mau membaca saat kegiatan belajar mengajar belangsung maka berbeda dengan dua siswi tersebut. Almira dan Qadira lebih suka memanfaatkan waktu luang berte...

Serba yang Kedua

(Dokpri: flyer ngaji literasi edisi 4) Hemat saya angka 2 menjadi angka istimewa dalam ngaji literasi edisi keempat yang akan datang ini. Tepatnya, 3 kali angka 2 yang istimewa. Kenapa harus angka 2? Bukankah masih banyak angka lain: 1, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan seterusnya? Nah, jadi bikin penasaran kan? Pertama, angka 2 yang menegaskan bahwa di momen ngaji literasi edisi ini adalah kali kedua saya menjadi moderator setelah sebelumnya saya beserta Bang Almahry Reprepans bertukar posisi. Tentu saja, dua kali menjadi moderator dalam rangka membedah buku solo kawan-kawan anggota SPK Tulungagung, bagi saya, adalah satu kehormatan dan kesempatan yang luar biasa. Saya dapat belajar bagaimana cara berbicara di depan kamera dan public speaking. Selain itu, pada ngaji literasi edisi keempat ini menandaskan dua kali sudah saya menjadi moderator dalam membedah buku solo perdana sahabat Ekka Zahra Puspita Dewi setelah sebelumnya dipertemukan dalam acara bedah yang diusung oleh komunitas Lentera. ...