Langsung ke konten utama

Rezeki Karambol Penulis

Dokpri saat mengisi pelatihan esai di SMAN 2 Trenggalek 

Tak sempat terlintas dalam benak bahwa saya bisa bertandang ke SMAN 2 Trenggalek. Salah satu sekolah istimewa jika ditinjau dari letak geografis. Istimewa karena keberadaannya di antara hamparan sawah yang hijau dan tegaknya bukit. Asri dan indah adalah dua kata yang saya kira benar-benar mampu melukiskan keadaan lingkungan sekitar sekolah. 

Bisa bertandang ke sekolah tersebut tentu bukanlah suatu kebetulan. Bukan kebetulan karena saya murid, guru ataupun karyawan di sana melainkan dalam rangka menepati sepucuk undangan. Undangan untuk berbagi seputar esai dan editing naskah bersama segenap guru dan karyawan di lembaga tersebut. 

Perlu ditegaskan di muka, sejujurnya, undangan tersebut ditujukkan khusus untuk Prof. Naim (sapaan akrab: Prof. Dr. Ngainun Naim, M. H. I.) akan tetapi di waktu yang bersamaan beliau memiliki agenda di Jakarta. Alhasil, beliau melimpahkan kesempatan itu kepada bang Woks. Bang Woks menandaskan, bahwa proses pengalihan mandat itu dilangsungkan melalui panggilan telepon. 

Lebih lanjut dikatakan, mulanya bang Woks bimbang dan ragu akan menerima mandat yang diberikan. Rasa bimbang dan ragu bercongkol kuat di dalam hati, mengingat di waktu yang bersamaan ada tugas yang harus dijalankan di tempat kerja barunya. Baru karena memang beberapa bulan lalu baru masuk, dan kini masih dalam proses training

Namun kebimbangan dan keraguan itu seketika pupus manakala mendapat pencerahan dari Prof. Naim. Kesadarannya tersingkap: sebagai seorang santri tentu harus taat kepada sang guru. Ada keyakinan yang diaminkan dan digenggam bahwa senantiasa ada kebaikan dan keberkahan di balik amanah yang diberikan sang guru. 

Tak lama dari sana, lantas bang Woks mengirimkan saya voice note via WhatsApp. Intinya, ia mengajak (saya memahaminya sebagai sebuah tawaran) saya untuk ikut mendampinginya dalam menunaikan amanah tersebut. Itu pun sifatnya tidak memaksa. Boleh ikut atau tidak. Jika tidak berkenan ia akan berangkat sendiri, tegasnya. 

Mendapatkan kabar tersebut tentu saya tidak langung menyanggupinya. Saya berusaha mececar mengenai detail dan kejelasan terkait konsep acara tersebut. Ada diskusi panjang yang kami pintal via chatting. Saya berusaha memastikan tanggal, jadwal kegiatan dan ruang lingkup materi yang akan didedah ke muka. Yang tak kalah penting, saya harus memastikan diri untuk mendapatkan izin dari ketua yayasan di mana saya mengabdi. 

Di lain sisi saya menangkap sinyalmen bahwa momentum ini semacam--kesempatan baik--lanjutan dari program Safari Literasi SPK Tulungagung. Program menebar virus akan pentingnya menanamkan, mentradisikan dan menjadi masyakarat literat ke berbagai jenjang dunia pendidikan. Salah satu program yang dalam pelaksanaanya di (turun ke-) lapangan memang lebih kerap dinahkodai oleh saya dan bang Woks. 

Kendati begitu, dalam pandangan saya, kesempatan ini tetap ada perbedaan mendasar. Perbedaan itu tampak nyata pada partisipan atau audiensi yang hadir. Selama ini program Safari Literasi fokus menggembleng para siswa baik yang duduk di bangku sekolah menengah ataupun atas. Sedangkan partisipan edisi ini menghadirkan dewan guru dan karyawan yang luar biasa. 

Luar biasa jika ditinjau dari segi pertautan usia, pengalaman dan pengabdian boleh dibilang menjadi jurang pemisah yang menganga. Tidak mungkin kami lancang dan mampu nguyahi segara. Ibarat anak bau kencur yang berbicara lantang di depan orang tua yang telah banyak makan garam kehidupan. Bukan hanya sungkan namun kami (saya dan bang Woks) takut dicap tidak sopan, kualat dan lain sebagainya. Tentu ini adalah tembok tantangan yang harus kami taklukkan. 


Menyiapkan Materi 

Satu hari sebelum perhelatan acara kami kembali gayeng berkomunikasi terkait pembagian materi. Dalam chat disepakati, bang Woks akan mengusung materi teknik penulisan esai sedangkan masalah editing bagian saya. Saya pun memastikan perihal metode penyampaian materi di hari H. Apakah itu menggunakan teknik ceramah klasikal atau metode presentasi mengandalkan slide dalam aplikasi Power Point. Disepakatilah metode kedua. 

Seharian penuh saya fokus menyiapkan materi. Kebetulan itu adalah hari Minggu. Hari di mana para pekerja keras berlibur, bersantai ria dan menikmati setiap relung waktu bersama dengan kelurga. Sementara saya, di pagi hari itu berjumpa kembali dengan santri TPQLB Spirit Dakwah Indonesia. Rasa-rasanya rasa malu saya sudah menggunung karena sudah dua bulan lebih alfa. Terakhir, saya izin tidak masuk sebab mengikuti acara kopdar: launching, workshop dan anugerah literasi nusantara Rumah Virus Literasi di Balai Besar Guru Penggerak di Batu, Malang. 

Jika boleh jujur, sepulang dari TPQLB saya benar-benar belum menuntaskan slide materi. Namun outline materi sudah terdeskripsikan jelas dalam kepala saya. Yang demikian terjadi karena memang beberapa materi jejak kopdar RVL--utamanya terkait materi yang disampaikan Prof. Naim, Dra. Sri Sugiastuti (disapa akrab: Bu Kanjeng, Ratu Antologi) dan Dr. Didi Junaedi--masih fresh dalam ingatan saya. Belum lagi ditambah jejak bacaan dari beberapa website yang saya lakukan di malam Minggu. Alhasil, ada proyeksi konsep materi dasar meski tidak utuh. 

Meski begitu, faktanya, materi yang akan saya sampaikan tersebut pada akhirnya rampung total satu jam sebelum keberangkatan. Saya garap di sela-sela kegiatan sekolah. Laptop sekolah keluaran lama (saya tidak ingin menyebutnya jadul takut zalim) yang mulai kambuhan minta diinstal ulang window terbaru itu pun sungguh bermanfaat dan memudahkan proses persalinan materi saya. Terima kasih, Asus! 


Berpacu dengan Waktu 

Dalam undangan terpampang jelas, acara dihelat di hari Senin pukul 13.00 sampai dengan selesai. Kami mengondisikan diri untuk sampai di lokasi acara beberapa saat sebelum dimulai. Setidaknya kami butuh mengistirahatkan diri sejenak, mencari titik pasti lokasi dan memastikan diri tidak terjegal hujan. Perhitungan keberangakatan itu berusaha kami buat seideal mungkin. Yang paling pokok adalah kami berusaha menumpas kebiasaan molor yang akut. 

Teknis keberangkatan bang Woks menghampiri saya ke sekolah. Sebelum bertolak, alhamdulillah, kami menunaikam salat duhur dengan berjamaah terlebih dahulu. Sekitar pukul dua belas lebih kami mulai berpacu dengan waktu. Kala itu langit benar-benar sudah suram. 

Turunnya hujan diprediksikan tinggal menghitung menit. Karena itulah saya mengingatkan bang Woks untuk berjaga-jaga membawa mantel (jas hujan). Namun apalah daya, upaya reminder itu tidak berhasil menggubris diri. Ujung-ujungnya mantel pun tidak berhasil dibawa. Lupa lebih pintar bergelayut dalam ingatan kami berdua. 

Kami mengatur peran, bang Woks mengemudi sementara saya melihat google maps. Bagaimana pun harus diakui bersama, kalau ini adalah momen perdana kami bertandang ke SMAN 2 Trenggalek. Jadi di antara kami tidak ada yang tahu persis titik lokasi. Sebenarnya ini hanya alibi saja biar saya tidak mengambil bagian sebagai sopir. 

Kebiasaan saya memang kalau berboncengan sedikit agak malas menjadi sopir. Apalagi jika berkunjung ke tempat baru. Bukan apa-apa dan tanpa alasan, terkadang saya lebih pandai tersesat daripada sampai di tempat tujuan tepat waktu. Itu belum termasuk terkadang saya gagal membaca arah. 

Sepanjang perjalanan kami memintal obrolan. Diketahuilah bahwa satu jam sebelum keberangkatan pihak panitia mengingatkan kembali terkait kehadiran sesuai undangan. Pak Pinkan selaku panitia mengkonfirmasi bang Woks via Whatsapp. Dalam konteks ini komunikasi satu pintu memang sangatlah jitu. 

Sekitar 45 menit kami menempuh perjalanan. Di lain sisi perjalanan Tulungagung-Trenggalek itu mengingatkan saya kembali kala dulu sowan ke kediaman Prof. Naim di Parakan, curamnya jalan Ngulungkulon Munjungan dan Sawahan Watulimo saat aktif menjadi surveyor di lembaga milik Denny JA. 

Yang tak kalah membekas adalah pelesir ke pantai: Prigi, Karanggongso dan Nglampir serta pengalaman jatuh dari motor di turunan Munjungan saat perjalanan mudik Tulungagung-Ciamis jalur Trenggalek-Pacitan tahun 2020. Kilas balik yang menegaskan saya bahwa bukan pertama kali menginjakan kaki di tanah Menak Sopal itu. 


Sambutan Tuan Rumah 

Sesuai prediksi kami sampai di lokasi acara pukul satu kurang seperempat. Bak tak mau kalah, kedatangan kami pun disambut hujan deras selisih dua tiga menit. Bang Woks mengkonfirmasi kedatangan kami via WhatsApp. Lelaki berkepala empat yang disebut Pak Pinkan menyambut kami. Kami bersalaman. Beliau mengarahkan kami untuk duduk di ruang tamu. 

Setiba di ruang tamu, di sana terdapat seorang wali siswa dan dua orang guru. Tampaknya mereka sedang menyelesaikan sesuatu yang genting. Kami kembali bersalaman. Namun tak berselang lama hanya tinggal kami bertiga yang duduk di kursi ruang tamu. Percakapan dan perkenalan diri pun tidak terelakan satu sama lain. 

Pak Pinkan agak sedikit terkejut tatkala tahu kami bukan asli orang Tulungagung ataupun Trenggalek. Beliau sempat penasaran mengapa orang barat seperti kami bisa sampai di kota marmer. Pengalaman hidup, kisah kuliah hingga bergabung menjadi bagian dari beberapa komunitas literasi pun tumpah ruah di ruangan itu. Intinya, kami bertiga memiliki titik temu yang sama: kuliah di kampus yang sama dan berguru literasi kepada Prof. Naim. 

Tak berselang lama Ibu Kepala Sekolah menghampiri kami. Bu Nikmah (begitu panggilan akrab para guru dan karyawan di SMAN 2 Trenggalek) yang masih muda itu tak kalah terkejut tatkala mendengar asal dan perjalanan kami sampai di Tulungagung. Beliau sempat menandaskan bahwa pelatihan esai ini ditujukan untuk menggelorakan tradisi literasi para guru dan karyawan. Hasilnya jelas, esai yang terkumpul akan dijadikan buku antologi. 

Ini bukan kali pertama para guru membuat buku antologi. Sebab, belakangan setiap dies natalis SMAN 2 Trenggalek selalu launching buku antologi. Hanya soal genre tulisan dan tokoh yang mengisi pelatihan saja yang berganti. Khusus menyongsong dies natalis SMAN 2 Trenggalek ke-40 ini fokus hendak menerbitkan buku antologi dengan genre esai populer. Tema tulisan yang diusung pun lekat dengan rutinitas selama mengabdi di sekolah. 

Saya kira itu adalah pilihan yang tepat, mengingat menulis esai jenis cerita ataupun reflektif gampang-gampang susah. Gampang bagi mereka yang sudah memiliki jam terbang membaca dan latihan menulis. Susah bagi mereka yang alergi-tuna (maaf) membaca dan tak pernah praktik menulis. Namun semua itu akan dengan mudah terlampaui saat memanfaatkan jurus pamungkas, the power of kepepet. 

Sesaat kemudian kami digiring untuk menikmati jamuan. Sungkan bukan main, sebab prinsip kami pantang makan sebelum mengisi acara. Di meja makan sudah tersedia nasi, lodho, urap, sambal kentang dan oseng buncing. "Jenengan contohi Pak, supaya kami tidak sungkan", seloroh saya kepada Pak Pinkan. "Wah, seharusnya tamu lebih dahulu ngambil, Mas", Pak Pinkan memberikan respon. 

Piring kami tenteng ke ruang tamu. Hidangan dilahap secepat kilat. Selepas mebasahi tenggorokan kami diarahkan menuju ruang perhelatan acara. Kami berjalan di antara celah meja dewan guru. Sepanjang jalan, sesekali kami bersalaman dan membungkukkan tubuh sebagai tanda penghormatan. 


Bukan Maksud Nguyahi Segara 

Tepat di depan ruangan kami duduk. Saya dihimpit Bu Nikmah dan bang Woks. Pak Ardanu bertugas sebagai nahkoa acara. Pelatihan pun dibuka dengan sambutan dari Bu Nikmah. Dalam sambutannya disampaikan, beliau sangat mengapresiasi acara pelatihan yang menghasilkan luaran buku antologi ini. Beliau berharap, kedatangan tim SPK Tulungagung dapat memantik dan mengkonstruk budaya literasi yang mengakar rumput di SMAN 2 Trenggalek. 

Bang Woks tampil sebagai presenter pertama. Ia memulai dengan penegasan bahwa ia tidak sedang nguyahi segara. Disambung dengan menyampaikan selayang pandang tentang SPK Tulungagung. Setelah itu barulah ia mepaparkan esai secara definitif. Pada dasarnya esai merupakan tulisan yang berisi kombinasi dari fakta dan opini. Struktur esai terdiri tiga bagian, yakni pembukaan, isi dan penutup. Secara garis besar esai dapat dibedakan menjadi dua jenis: esai populer dan esai ilmiah. 

Akan tetapi jika diuraikan secara detail jenis esai sesungguhnya kompleks. Mulai dari esai cerita, esai deskriptif, esai argumentatif, esai reflektif, esai pribadi, tajuk, cukilan watak, kritik sampai dengan artikel penelitian. Masing-masing jenis memiliki bobot penggarapan yang berbeda. 

Selain teoretis dan teknis, beberapa contoh esai ditampilkan dalam slide. Dari sekian banyak esais, tulisan AS. Laksana dan Gunawan Mohammad dicuplik sebagai contoh representatif. Bang Woks  menunjukkan sekilas mengenai bagaimana bentuk struktur esai yang menarik dan memikat hati pembaca budiman. Sebagai pamungkas tak lupa ia menyampaikan motivasi dan manfaat dari kegiatan menulis. 

Waktu bergulir dengan cepat. Tibalah giliran saya presentasi. Saya membuat pernyataan di muka  bahwa slide yang saya buat merujuk pada keterangan dewan guru telah memiliki naskah. Alhasil, saya mepersepsikan dewan guru telah mafhum dengan struktur dan teknis menulis esai. Jadi slide saya fokus pada nasib tulisan yang telah jadi. 

Tulisan yang telah jadi tidak serta-merta sempurna dalam proses kelahirannya. Untuk itu sangat dibutuhkan proses editing. Sebelum melakukan editing terdapat beberapa tahapan yang harus ditempuh oleh penulis. Apa sajakah tahapan itu? Mulai dari mengendapkan naskah, membaca kembali, mengamati alur ide, memeriksa outline, mengevaluasi gaya bahasa hingga memanfaatkan system support yang ada. 

Setelah menghayati segenap tahapan itulah penulis harus memutuskan hendak mengedit naskah secara mandiri atau mengandalkan jasa editor lepas. Masing-masing memiliki kelemahan dan kelebihan tersendiri. Meski begitu alangkah baiknya proses editing itu dilakukan dengan meninjau kemampuan dan kebutuhan penulis itu sendiri. 

Apabila anda memilih untuk mengedit naskah secara mandiri maka kiranya perlu memerhatikan beberapa hal sebagai berikut: Struktur, substansi, objektif dan totalitas. Umumnya kelemahan menyunting naskah secara mandiri kerap kali memaafkan kekeliruan dan merasa benar. Yang demikian terjadi karena dangkalnya pengetahuan diri tentang seluk-beluk menyunting naskah. 

Tidak hanya itu, di lain sisi menyunting naskah secara mandiri juga memiliki kelebihan. Setidaknya ada tiga keutamaan yang akan anda tunai dari proses menyunting naskah mandiri. Ketiga poin tersebut yakni mampu meningkatkan kualitas dan wawas diri, menghemat budget dan menghemat waktu sesuai target. 

Berbeda soal tatkala anda memutuskan diri menyunting naskah mengandalkan jasa editor lepas. Hal yang perlu anda perhatikan ialah menentukan tenggat waktu penggarapan, meminta proofreading, menyebutkan jenis editing sampai dengan mengedepankan sikap profesionalitas dan objektif. Terkait dua poin terakhir, tidak menutup kemungkinan, editor lepas yang dituju adalah teman akrab (sebaya) anda sendiri. 

Setelah dirasa naskah baik dan layak terbit pilihlah penerbit terpercaya. Baik itu penerbit mayor ataupun penerbit indie. Keduanya memiliki syarat tersendiri untuk mencetak naskah menjadi buku. Ada plus minus yang melingkupi keduanya. Yang terpenting jangan sampai anda memilih penerbit abal ataupun predator. Sebab bisa jadi uang anda melayang sementara naskah buku tidak pernah naik cetak. Banyak kok kasus yang demikian. 

Sebagai penutup, saya mendedahkan manfaat dan motivasi menulis. Sebagaimana termaktub dalam buku Dari Kopdar ke Kopdar (2024) saya mengutip pandangan Prof. Naim, bahwa seseorang penulis--dalam konteks ini sudah melahirkan buku--pada akhirnya akan mendulang tiga J. Yakni Jeneng, Jenang dan Jangka. 

Jeneng maksudnya seorang penulis namanya akan populer. Namanya akan mudah dikenal khalayak umum seiring distribusi karya dalan skala luas. Bisa jadi orang akan familiar dengan namanya meski belum berjumpa dengan penulis langsung. Tidak sedikit, karena menulis status sosial seseorang naik level. 

Jenang berarti tanda rasa syukur. Karya pada dasarnya adalah jejak pemikiran, penyebaran gagasan dan peristiwa penting yang didokumetasikan melalui karya. Karya sebagai bentuk perayaan atas proses kehidupan yang dijalani penulis. Tidak menutup kemungkinan, seorang penulis akan menuai berkah yang tak terhingga dan tidak disangka-sangka dari karya yang ditulisnya. Berkah itu salah satunya dapat ditafsirkan sebagai pembuka pintu rezeki. 

Rezeki di hadapan seorang penulis beragam. Bisa royalti, jejaring di antara penulis, promosi karya hingga mengundang datangnya rentetan kesempatan. Pendek kata, rezeki penulis itu seperti karambol. Sentil kanan dan ke kiri. Kita tidak pernah bisa menebak tulisan dan karya mana yang akan mengantarkan kita menemui takdir baik. 

Begitu halnya dengan apa yang kami (saya dan bang Woks) dapatkan. Tampaknya musykil bagi kami bertandang ke SMAN 2 Trenggalek dan bersua dengan dewan guru yang luar biasa kalau bukan karena menulis. Karena menulis itulah kesempatan demi kesempatan baik itu datang dengan sendirinya ke hadapan kami. Dedikasi dan kemurnian berkhidmah Prof. Naim dalam dunia literasi adalah jembatan penghubungnya. Beliaulah mata air kebajikan dalam tarekat literasi. Sedangkan kami hanyut di dalamnya. 

Ada pun jangka adalah postulat dari jeneng dan jenang. Jangka di sini berarti melintas ruang waktu dan bentang zaman. Gagasan dan pemikiran penulis bisa saja menjadi bagian dari tulang punggung membangun peradaban. Dalam kontestasi peradaban, siapa coba yang tidak mengenal Abu Hamid Al-Ghazali, Ibn Rusyd, Ibnu Miskawaih, Al-Kindi, Mahatma Gandi, Albiruni, Aritoteles, Plato, Moh. Hatta, Ir. Soekarno, Tan Malaka dan lain sebagai. Nama mereka agung dan menyejarah. 

Sebagai seorang yang beriman, di lain sisi saya juga percaya bahwa selama apa yang ditulis adalah pengetahuan dan kebaikan niscaya akan mengejawantahkan diri sebagai investasi akhirat. Penulis senantiasa berharap, gagasan dan pemikirannya memberikan manfaat yang berarti bagi khalayak umum. Sukar untuk dicerna, apabila ada karya yang bertujuan menjerumuskan pembaca pada berbagai bentuk bencana dan kecelakaan. Jika pun ada, saya kira pembaca saja yang salah kaprah memahami dan menafsirkan maksud dipersepsikan penulis secara suka-suka. 

Tak ketinggalan, menjelang penghujung acara, Pak Pandu membuka termin tanya jawab dan sharing pengalaman. Akan tetapi Bu Nikmah usul untuk mereview beberapa esai yang telah jadi. Esai yang terhimpun di google drive pun kami buka dengan bergantian. Tentu saja tidak semua naskah kami review. Hanya satu dua naskah saja. Itu pun hanya kami review secara teknis dan struktual. Kami menggenggam kuat-kuat apa yang dikatakan Prof. Naim, bahwa naskah yang baik adalah naskah yang selesai. 

Setelah itu barulah Bu Mimin tampil menceritakan kesan selama menjadi guru. Kisah Bu Mimin sesungguhnya mampu menjadi bahan esai yang menarik. Mengemas cerita dalam bahasa yang lugas dan efektif adalah tantangan yang harus ditaklukan. Karena keberaniannya, buku Dari Kopdar ke Kopdar berhasil digenggam. 

Mengikuti jejak Bu Mimin, Bu Ambar melontarkan pertanyaan mengenai boleh tidaknya menyelipkan foto dalam tulisan. Urgensi foto dalam sebuah tulisan tergantung pada genre tulisan apa yang kita buat. Dalam esai perjalanan misalnya foto menjadi bukti nyata atas petualangan yang dilakukan. Dalam dunia jurnalistik, foto mendeskripsikan realitas sosial dan psikologis objek yang ditulis. Karena pertanyaan itu, buku Rahim Komunitas menjadi hak Bu Ambar. Sebagai cenderamata, buku Prof. Ngainun Naim Sang Inspirator diberikan kepada Ibu Kepala Sekolah. 

Perhelatan acara selesai, kami diarahkan duduk di ruang kepala sekolah. Di sanalah kami diminta untuk menandatangani beberapa lembar berkas setah sebelumnya Pak Pinkan menanyakan kepemilikan NPWP. Bang Woks menyebutkan penerimaan amplop cokelat itu menegaskan kami sebagai pengamen elit. Mungkin ceritanya akan berbeda jikalau kami menolak diberi amplop. Ah, sudahlah.


Tulungagung, 6 November 2024

Dokpri: Bang Woks sedang melakukan presentasi 

Dokpri: Dewan Guru SMAN 2 Trenggalek sigap mengikuti pelatihan menulis esai

Dokpri: Bu Mimin penerima hadiah buku Dari Kopdar ke Kopdar 

Dokpri: Bu Ambar penerima hadiah buku Rahim Komunitas 

Dokpri: Penyerahan buku cenderamata kepada Bu Nikmah (kepala sekolah SMAN 2 Trenggalek)


Dokpri: Sekolah SMAN 2 Trenggalek tampak dari depan


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam aktiv

Make a Deal

Gambar: Dokumentasi Pribadi saat bertamu di kediaman mas Novel Jauh sebelum bedah buku Tongkat Mbah Kakung digemakan sebenarnya secara pribadi saya berinisitif hendak mengundang mas Novel ke SPK Tulungagung. Inisiatif itu muncul tatkala saya mengamati bagaimana himmah dan ghirah literasi dalam dirinya yang kian meggeliat. Terlebih lagi, 2 tahun belakangan ia berhasil melahirkan dua buku solo: Tongkat Mbah Kakung: Catatan Lockdown dan Teman Ngopi (Ngolah Pikir) . Dua buku solo yang lahir dibidani oleh Nyalanesia.  Apa itu Nyalanesia? Nyalanesia merupakan star up yang fokus bergerak dalam pengembangan program literasi di sekolah secara nasional. Karena ruang lingkupnya nasional maka semua jenjang satuan pendidikan dapat mengikuti Nyalanesia. Hanya itu? Tidak. Dalam prosesnya tim Nyalanesia tidak hanya fokus memberikan pelatihan, sertifikasi kompetensi dan akses pada program yang prover,  melainkan juga memfasilitasi siswa dan guru untuk menerbitkan buku.  Konsepnya ya memberdayakan pot

Deskripsi dihari Wisuda

                   Acara wisuda II IAIN Tulungagung, akhirnya telah diselenggarakan pada hari kemarin, yang lebih tepatnya pada hari Sabtu, (05/9) pagi-siang. Tempat tamu yang telah tersedia dan tertata rapi pun akhirnya mulai dipadati oleh para calon wisudawan, wisudawati dan para tamu undangan.           Acara yang telah teragendakan jauh-jauh hari oleh kampus tersebut pun Alhamdulillah berjalan dengan baik dan khidmat, (husnudzon saya). Pasalnya hal yang demikian dapat dilihat, dipahami dan dicermati dari jalannya acara tersebut yang tidak molor (memerlukan banyak waktu).        Hari itu telah menjadi saksi bisu sejarah kehidupan (baik parsial/kolektif) yang menegaskan adanya sesuatu hal yang istimewa, penting dan berharga. Tentu saja semua itu dipandang dari framework umat manusia yang lumrah.           Gejolak rasa parsial pun pastinya tidaklah lepas dari pengaruh keadaan yang sedang terjadi. Namun nampaknya rasa bahagia pun menjadi dominan dalam menyelimuti diri. Hal