Langsung ke konten utama

Memudarnya Pengorbanan dalam Menulis

Gambar hasil save dari Facebook 

Dalam menjalani hidup di dunia manusia memang lekat akan pengorbanan. Hal yang sama juga berlaku tatkala Anda berusaha mengembangkan potensi literasi di dalam diri. Untuk meningkatkan kualitas, kapasitas dan kompetensi diri dalam dunia literasi butuh pengorbanan yang tidak mudah. Tidak hanya tidak mudah namun juga tidak murah. 

Tidak mudah karena sangat dimungkinkan prosesnya akan panjang, terjal dan jatuh bangun. Seorang yang belajar menjadi penulis akan berkali-kali gagal dalam menuangkan ide dengan tepat dan baik. Maksud hati membuat diksi "mengigit" namun tak jarang jatuhnya terjebak dalam permainan kata yang pelik. Gaya bahasanya mulekisasi dari awal hingga buntut. Andai kata tulisan itu jadi terkadang logika berpikirnya tidak runtut. Belum ditambah dengan typo di banyak tempat. 

Rentetan kegagalan itu tentu menguras energi di dalam diri, utamanya pikiran dan mental. Akan tetapi pembelajar yang baik senantiasa belajar dari setiap kesalahan. Pantang baginya terjerumus di lubang yang sama. Jika yang demikian terjadi bukan menandakan dirinya ceroboh, tetapi menunjukkan diri yang terlampau bebal. Tak sedikit, seseorang harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk bangkit dari kegagalan yang sama. Seiring berjalannya waktu, pelan-pelan Anda akan menemukan bahwa terus berproses adalah kunci utama. 

Tidak murah sebab prosesnya harus ditebus dengan pengorbanan. Pengorbanan materi, waktu dan kesempatan. Di zaman sekarang, pengorbanan itu kian memudar. Pelatihan menulis kilat kian marak. Mereka hadir dengan berbagai tagline. "Mampu menulis buku dalam hitungan detik", adalah salah satu tagline yang menghipnotis. Tarif pelatihan pun cukup terjangkau. Pemanfaatan Artificial Intellegence (AI, kecerdasan buatan) untuk kepentingan menulis adalah agenda yang digalakan. 

Inovasi fantastis namun sesungguhnya memudarkan potensi literasi alami di dalam diri. Mungkin benar melalui AI semacam Gemini, Chat GBT dan sebagainya seseorang dapat menciptakan berbagai karya dengan sistem kerja yang lebih instan namun hakikatnya yang membuat itu mesin. Mesinlah yang berusaha mengobok-ngobok dan menjahit data yang tersimpan di bank data digital hingga mejelma suatu karya. Itu artinya hak cipta karya melekat pada mesin, bukan manusia yang menjalankan mesin. 

Mesin itulah yang merangkai kata menjadi kalimat hingga mewujud naskah utuh. Jika prosesnya demikian apakah seseorang layak disebut penulis? Apakah layak karyanya didaftarkan ke HAKI atas nama orang yang menjalankan AI? Apakah karyanya layak untuk dibanggakan? Tentu masih banyak pertanyaan kesangsian lain yang tidak akan pernah habis digelontorkan ke muka. 

Dampak buruknya, seseorang yang terbiasa bergantung menggunakan AI untuk menulis akan memudarkan potensi alami dan kreativitas literasi di dalam diri. Tidak menutup kemungkinan pula sikap kritis di dalam dirinya akan melemah. Pendekatan pemecahan masalah pun akan tampak lebih kering, kehilangan touch sisi manusiawi. Berpikir instan dan membenarkan plagiarisme adalah ancaman jangka panjang yang menjadi ironi di era mutakhir kini.

Lantas, bagaimana cara menggunakan fitur AI untuk kegiatan menulis dengan bijak? Bisa saja. Misalnya menggunakan AI untuk mencari inspirasi kerangka tulisan yang baik. Mencari inspirasi kerangka naskah buku yang menarik. Atau mungkin memanfaatkannya untuk melihat contoh alur cerita yang asyik, dan sub topik pembahasan yang runtut dan logis. Bisa pula untuk meminta saran pengembangan pembahasan atas topik yang hendak digarap. Selebihnya dikerjakan secara tradisional, mengetik mandiri. 

Tulungagung, 10 November 2024


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam aktiv

Make a Deal

Gambar: Dokumentasi Pribadi saat bertamu di kediaman mas Novel Jauh sebelum bedah buku Tongkat Mbah Kakung digemakan sebenarnya secara pribadi saya berinisitif hendak mengundang mas Novel ke SPK Tulungagung. Inisiatif itu muncul tatkala saya mengamati bagaimana himmah dan ghirah literasi dalam dirinya yang kian meggeliat. Terlebih lagi, 2 tahun belakangan ia berhasil melahirkan dua buku solo: Tongkat Mbah Kakung: Catatan Lockdown dan Teman Ngopi (Ngolah Pikir) . Dua buku solo yang lahir dibidani oleh Nyalanesia.  Apa itu Nyalanesia? Nyalanesia merupakan star up yang fokus bergerak dalam pengembangan program literasi di sekolah secara nasional. Karena ruang lingkupnya nasional maka semua jenjang satuan pendidikan dapat mengikuti Nyalanesia. Hanya itu? Tidak. Dalam prosesnya tim Nyalanesia tidak hanya fokus memberikan pelatihan, sertifikasi kompetensi dan akses pada program yang prover,  melainkan juga memfasilitasi siswa dan guru untuk menerbitkan buku.  Konsepnya ya memberdayakan pot

Deskripsi dihari Wisuda

                   Acara wisuda II IAIN Tulungagung, akhirnya telah diselenggarakan pada hari kemarin, yang lebih tepatnya pada hari Sabtu, (05/9) pagi-siang. Tempat tamu yang telah tersedia dan tertata rapi pun akhirnya mulai dipadati oleh para calon wisudawan, wisudawati dan para tamu undangan.           Acara yang telah teragendakan jauh-jauh hari oleh kampus tersebut pun Alhamdulillah berjalan dengan baik dan khidmat, (husnudzon saya). Pasalnya hal yang demikian dapat dilihat, dipahami dan dicermati dari jalannya acara tersebut yang tidak molor (memerlukan banyak waktu).        Hari itu telah menjadi saksi bisu sejarah kehidupan (baik parsial/kolektif) yang menegaskan adanya sesuatu hal yang istimewa, penting dan berharga. Tentu saja semua itu dipandang dari framework umat manusia yang lumrah.           Gejolak rasa parsial pun pastinya tidaklah lepas dari pengaruh keadaan yang sedang terjadi. Namun nampaknya rasa bahagia pun menjadi dominan dalam menyelimuti diri. Hal