Langsung ke konten utama

Kopdar sebagai Ajang Merekatkan Ikatan Kekeluargaan

Dokpri saat mengikuti Kopdar RVL ke-3 di BBGP Jawa Timur di Batu, Malang.

Perlu ditegaskan di awal, bahwa ulasan di bawah ini adalah bagian dari tulisan yang berjudul Lima Alasan Mengapa Saya Ikut Kopdar. Semua akan saya sajikan secara terpisah. Mengingat pembahasan sedikit agak panjang. Selamat membaca!

****

Dari ulasan Penantian Kopdar kita belajar bahwa mengembangakan potensi literasi diri butuh perjuangan. Perjuangan yang menegaskan diri bahwa kita sungguh-sungguh terhadap apa yang menjadi hobi dan dicita-citakan. Sikap gigih, mau terus berproses dan resiprokal terhadap dinamika pengetahuan adalah denyut nadi perjuangan yang digelorakan. 

Tak terkecuali pengorbanan materiil, waktu dan kesempatan dihitung sebagai salah satu bentuk pengejawantahan dari perjuangan yang dilakukan. Hal ini senada dengan peribahasa: "Tidak ada proses yang membohongi hasil". Ketidaktakutan kehilangan materil-non materil inilah simbol betapa pentingnya mengupayakan diri untuk terus berproses. Sebab, optimal tidaknya dalam berproses akan berdampak pada hasil yang dituai. 

Bagi orang yang bersungguh-sungguh, proses berliku dan terjal bukan halau rintangan yang berarti sehingga kapan pun dapat diterjang asalkan mampu menempa diri. Dengan kesadaran yang utuh ia memahami bahwa begitulah proses yang harus dilewati. Dilewati sembari menikmati setiap jengkal perjalanan yang meyapa diri. 

Terus bergerak adalah pilihan yang tepat dan lebih baik daripada hanya berdiam di tempat. Bagi orang yang bertekad kuat atas sesuatu, dua kalimat tersebut adalah kunci utama menuju tangga keberhasilan. Sementara kegagalan menandakan semakin dekat untuk sampai pada tujuan. 

Satu sisi, tidak menutup kemungkinan, melakukan perjuangan secara mandiri untuk terus berproses menggeluti dunia literasi akan terasa lebih hambar dan menjenuhkan. Berbeda halnya jikalau kita menemukan orang yang sefrekuensi, perjuangan itu jelas akan jauh lebih berwarna. Di titik inilah keputusan menjadi bagian dari komunitas memiliki peranan penting. 

Bergabung menjadi bagian komunitas literasi hakikatnya menghimpun kesamaan. Kesamaan dalam menikmati proses perjuangan dan tumbuh-kembang. Ada strategi, sikap kesalingan dan sepenanggungan yang sama-sama dirasakan. Ada visi misi yang disepakati bersama untuk diwujudkan. Oleh sebab itu, kopdar di antara anggota pada dasarnya adalah agenda rutin yang harus digalakan. 

Hemat saya, setidaknya ada beberapa alasan mengapa calon penulis--termasuk amatiran seperti saya--ngotot (bahasa Sunda: kekeh), merasa butuh dan harus berpartisipatif dalam acara kopdar RVL ke-3 di Batu, Malang. Alasan, dampak dan hal positif yang dapat dituai dari menghadiri kopdar tersebut tentu bersifat subjektif. Masing-masing orang bisa saja berbeda. Akan tetapi jikalau ditelisik lebih mendalam, perbedaan itu terfokus pada beberapa hal yang akan dipaparkan sebagai berikut. 

Pertama, terlibat dalam kopdar dapat mempererat tali silaturahmi. Selama kopdar berlangsung sangat dimungkinkan terjadi silaturahmi tiga jalur: di antara sesama anggota, anggota dengan pengurus harian atau mungkin anggota dengan peserta newbie. Bahkan bisa pula membangun silaturahmi dengan tokoh tertentu yang mendapuk tugas sebagai narasumber. Semuanya serba dapat dikondisikan karena adanya kesamaan kepentingan. 

Coba anda banyangkan, sungguh tidak masuk akal khalayak orang berkumpul di satu tempat tanpa ada interaksi. Interaksi verbal menduduki level yang paling sederhana. Interaksi ini bisa saja dilakukan oleh peserta kopdar yang memang baru kenal. Atau bisa pula dilakukan oleh mereka yang sudah kenal namun belum akrab. Artinya komunikasi menjadi jembatan untuk menghempas keterasingan. 

Intensitas komunikasi akan naik level manakala dua sahabat; saudara ideologis saling merindukan untuk bersua. Tentu saja topik pembicaraan pun bukan lagi sekadar basa-basi di permukaan. Bukan komunikasi untuk menggugurkan kewajiban karena takut disebut sombong yang berujung dituding anti sosial. Bukan, bukan di level itu, melainkan interaksi yang kompleks dan holistik. Komunikasi emosional, pertautan batin dan beradu gagasan. 

Ujung-ujungnya kita tidak pernah mampu menebak pasti dampak dan hasil dari jalinan saturahmi yang sudah terbentuk. Seiring berjalannya waktu, tidak menutup kemungkinan, di masa yang akan datang, rezeki karambol penulis terjadi lantaran jalinan komunikasi yang intensif. Anda tidak percaya? Mari kita belajar besama dari kisah perjalanan Cak Inin (sapaan akrab dari pemilik nama lengkap Mukminin, M. Pd.) selaku owner penerbit Kamila Press Lamongan. 

Sebab bergabung komunitas menulis beliau bertemu dengan beragam orang. Setiap kesempatan tidak pernah beliau sia-siakan. Di sela-sela interaksi beliau senantiasa menyelipkan waktu untuk promosi penerbitan miliknya. Faktanya, keaktifan beliau mengikuti berbagai acara yang bertajuk literasi membuat jejaring. 

Tak sedikit, jejaring yang sudah terbangun itu menghidupkan kelangsungan produktivitas Kamila Press. Banyak jejaring yang akhirnya melabuhkan pilihan menerbitkan buku di penerbitan Cak Inin. Tidak hanya menerbitkan, bahkan di beberapa kesempatan beliau menjadi langganan pemberi kata pengantar buku yang akan terbit. 

Contoh lain dapat kita lihat bagaimana komunikasi gayeng antarduo Pang (antara Bu Kanjeng dengan Bu Telly D. tatkala bersua). Mereka menyebut dirinya sebagai kalangan pang. Pang yang berarti akronim dari kata pangsiunan (pensiunan abdi negara; pegawai negeri sipil yang kemudian berubah menjadi aparatur sipil negara, istilah yang familiar kita kenal sekarang). Duo Pang tersebut terus berlomba-lomba dalam fastabiqul khairot penuangan gagasan melalui berbagai karya. 

Beliau berdua membuktikan bahwa usia lanjut bukanlah penghalang untuk terus melek literasi. Bukan hanya melek tapi terus melahirkan karya tanpa henti. Mereka mendeklarasikan diri menjadi bagian tulang punggung peradaban membangun negeri. Generasi muda seharusnya malu dan tertampar keras, mengapa kita malas bahkan tak pernah sadar akan pentingnya mentradisikan literasi sebagai teman sepermainan. 

Ada pula pemandangan interaksi yang lebih intens dan membuat semua orang iri. Bagaimana interaksi-interelasi antara Bu Daswatia dengan Dr. Much. Khoiri yang awalnya tidak kenal namun karena RVL berlanjut pada pendaulatan hubungan kekeluragaan. Karena menjadi bagian komunitas literasi hubungan kekeluargaan terjalin indah. Karena satu komunitas, pertautan hati menggerakan perubahan karya yang siginifikan. 

Sebebal-bebalnya kita mungkin bisa menarik satu simpulan, bahwa silaturahmi antaranggota komunitas RVL dalam kopdar itu pada akhirnya mengkonstruk hierarki hubungan sosial. Mulai dari menjalin pertemanan, menjadi sahabat hingga mengukuhkan ikatan kekeluargaan. Maka tak ayal jikalau di masa mendatang ikatan kekeluargaan tersebut mengeketuk pintu-pintu rezeki dan kebaikan.

Keteladan itulah yang mendorong saya untuk andil mengambil bagian. Jujur, saya ingin mengenal jauh, menjalin komunikasi yang baik dan membangun silaturahmi dengan semua penulis yang menjadi anggota RVL. Tentu semua itu tidaklah mudah. Butuh proses berkesinambungan. Sebab, ada distingsi ruang dan jarak. Kendati demikian, saya kira upaya itu akan tampak lebih terbantu manakala saya berpartisipasi aktif dalam momentum kopdar. 

Melalui silaturahmi yang baik jejaring antarpenulis akan terbangun. Jejaring yang dapat dimanfaatkan untuk saling menjajak gagasan, bertransaksi pengetahuan, dan membangun support system yang sehat. Hanya menapaki jalan sunyi tersebut keterampilan, kapasitas dan kualitas diri sebagai penulis akan terus melejit. Dampak positif seperti ini hanya akan dituai manakala kita bernaung di komunitas literasi yang sehat dan hebat.

Bersambung.

Tulungagung, 12 November 2024

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam a...

Anak Penjajak Komik

Dokpri: Qadira dengan koleksi komiknya Belakangan saya dibuat takjub melihat pemandangan tak biasa di kelas 2 SDIT Baitul Quran. Takjub bukan karena huru-hara sedang meluluhlantakkan kursi dan meja. Bukan, bukan karena mereka sedang melakukan kegaduhan, bullying dan kenakalan meronta-ronta yang tampak di depan mata melainkan fenomena yang menyegarkan hati.  Bukan hanya maknyes di hati saya kira namun fenomena yang membuat hati merasa bangga: terketuk, kagum dan penasaran sekaligus menampar pipi--bagi siapa pun yang melihat. Lha, memang apa? Baca komik. Cuma baca komik? Tentu tidak. Tidak sedangkal itu kejadiannya.  Almira dan Qadira adalah dua siswi yang membuat saya takjub itu. Mereka berbeda dari siswa-siswi lain. Jika umumnya anak menjadikan semua tempat untuk bermain, bermain di semua tempat sesuka hati, bahkan anak hanya mau membaca saat kegiatan belajar mengajar belangsung maka berbeda dengan dua siswi tersebut. Almira dan Qadira lebih suka memanfaatkan waktu luang berte...

Serba yang Kedua

(Dokpri: flyer ngaji literasi edisi 4) Hemat saya angka 2 menjadi angka istimewa dalam ngaji literasi edisi keempat yang akan datang ini. Tepatnya, 3 kali angka 2 yang istimewa. Kenapa harus angka 2? Bukankah masih banyak angka lain: 1, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan seterusnya? Nah, jadi bikin penasaran kan? Pertama, angka 2 yang menegaskan bahwa di momen ngaji literasi edisi ini adalah kali kedua saya menjadi moderator setelah sebelumnya saya beserta Bang Almahry Reprepans bertukar posisi. Tentu saja, dua kali menjadi moderator dalam rangka membedah buku solo kawan-kawan anggota SPK Tulungagung, bagi saya, adalah satu kehormatan dan kesempatan yang luar biasa. Saya dapat belajar bagaimana cara berbicara di depan kamera dan public speaking. Selain itu, pada ngaji literasi edisi keempat ini menandaskan dua kali sudah saya menjadi moderator dalam membedah buku solo perdana sahabat Ekka Zahra Puspita Dewi setelah sebelumnya dipertemukan dalam acara bedah yang diusung oleh komunitas Lentera. ...