Dokpri: Cover Buku Tentang Mengapa
Siapa gerangan yang menganggap serius pertanyaan anak kecil selain kedua orang tuanya? Saya kira tidak ada. Tidak ada seorang pun yang memandang serius semua celetukkan anak kecil. Pertanyaan mendasar tentang suatu objek yang ada di sekitar tak lebih dipahami sebagai bentuk penasaran sesaat. Pertanyaan tentang perbedaan warna dan makhluk yang baru ditemuinya tak ubah sebatas bentuk ketertarikan.
Ketertarikan yang akan sirna seiring kelelahan menimpa diri. Ketertarikan sesaat yang dilupakan seiring berjalannya waktu. Bahkan ada asumsi liar yang diyakini akut: Jika hal yang sama dipertanyakan berkali-kali dimaknai sebagai ocehan semata. Karena ocehan maka boleh dijawab ataupun tidak. Rentetan pertanyaan random si kecil yang tumpah ruah ke muka itu tak lebih hiburan bagi siapa pun yang berada di dekatnya.
Tak cukup hanya bertanya dalam tataran ontologis, kian beranjak usia anak pertanyaan itu pun semakin kritis dan mendalam. Bisa dikatakan pertanyaannya naik level; dari ontologis ke epistemologis. Menanyakan tentang Tuhan, fungsi kerja indera, alasan logis mengapa ia menangis, mengapa ia bisa sakit gigi dan masih banyak lainnya.
Pada level ini pertanyaan anak menuntut alasan logis, jawaban runtut (mekanisme, teknis dan sistemis) yang mampu diterima akal dan memuaskan dahaga bertanya lebih lanjut. Pertanyaan yang sama sekali tak cukup dibungkam dengan jawaban normatif. Jawaban takdir Tuhan benar-benar tak cukup memuaskan sang anak.
Kendati niat awalnya baik, yakni berusaha mengenalkan sisi normatif (an sich) kepada sang anak secara dini namun jika hal itu dipaksakan terus-menerus, bahkan sudah membudaya, berarti orang tua (siapa pun orang terdekat yang menjawab) turut andil mengerdilkan cara berpikir sistemis, logis dan dapat dipertanggungjawabkan oleh sang anak.
Pendek kata, jawaban yang diberikan oleh orang dewasa sekitar tak ubahnya transfer pengetahuan bagi sang anak. Tak hanya transfer pengetahuan namun mengkonstruk sekaligus merangsang perkembangan cara berpikir, mengajarkan cara bersikap dan merespon berbagai masalah yang dihadapinya kelak.
Sungguh, di sinilah titik pijak pentingnya memberikan jawaban bijak, respon dan cara bersikap yang baik terhadap anak. Bukankah anak yang tumbuh di lingkungan positif akan jauh lebih baik daripada anak yang tumbuh-kembang dalam asuhan pergaulan sosial yang rusak? Sebagai orang berakal dan dewasa tentu anda mengerti perbandingan hingga dampaknya di kemudian hari.
Dalam konteks inilah Martine Laffon Hortense de Chabanex dengan buku Le Livre Des Pourquoi (yang dialihbahasakan Rini Nurul Badriah menjadi Buku Tentang Mengapa) hadir. Buku besutan PT Elex Media Komputindo keluaran tahun 2012 ini berusaha mengajarkan cara menjawab pertanyaan random seorang anak secara baik, logis dan ilmiah. Bahkan jawaban itu dibangun menggunakan pendekatan sains, psikologi dan biologi serta sosiologi.
Uniknya, Martine berusaha memaparkan jawaban secara singkat. Cukup dijabarkan dengan lima paragraf. Hampir semua jawaban dikemas dengan panjang yang sama. Gaya bahasa yang tertuang dalam buku itu pun mudah dicerna, khas anak-anak. Tak ketinggalan Martine pun memberikan sentuhan mind mapping antarparagraf. Polarisasi yang membuat semakin menarik dan memberi kesan buku itu hidup. Buku sama sekali tidak membosankan bagi sang pembaca.
Tak hanya itu, pembubuhan gambar yang relevan dengan topik pembahasan memudahkan pembaca untuk berimajinasi. Berimajinasi bagaimana proses sesuatu itu terjadi dalam realitas kehidupan. Jaques Azam selaku ilustrator paham betul bahwa dunia anak sangat lekat dengan imajinasi dan fantasi. Sehingga sangat cocok jika deret tulisan itu dikombinasikan dengan gambar yang representatif. Tanpa penyelipan gambar mungkin buku akan jauh lebih tampak kering dan menjenuhkan bagi anak.
Pembedaan warna dasar (background) pada setiap halaman sesuai topik pembahasan menjadikan anak nyaman saat membaca. Seakan-akan ilusatrator mafhum, bahwa anak-anak menyukai warna pelangi yang bervariatif. Satu alasan yang sama mengapa anak-anak suka kembang gula yang berwarna-warni.
Dalam perspektif saya pribadi, bentuk dan konten buku yang demikian secara khusus menjadi nilai plus tersendiri untuk memikat hati setiap anak. Buku anak memang harus dibedakan dengan buku orang dewasa. Cara seorang anak tertarik, membeli dan mau menjadikan buku sebagai koleksi tentu berbeda dengan orang dewasa.
Tulungagung, 7 November 2024
Komentar
Posting Komentar