Langsung ke konten utama

Shalat Idul Fitri di Tengah Pandemi

Gema takbir terus terlantun, meluap di daun telinga hingga wujud hari kemenangan itu benar-benar tepat di depan mata. Meski demikian, gema takbir pun sempat mematung sejenak di waktu fajar, tepatnya dikala sang hamba menumpahkan kerinduannya di setiap sujud shalat subuh. Selebihnya takbiran itu kian melangit mengetuk-ngetuk pintu Rahmat dan Keridhaan Allah SWT., mulai dari terbitnya matahari sampai dengan waktu shalat Duha itu tiba. Waktu yang tepat di mana orang-orang diperbolehkan untuk menunaikan shalat Idul Fitri.

Sembari menunggu waktu duha itu tiba, khalayak orang akan dibuat sibuk dengan mempersiapkan sejubel perlengkapan shalat Idul Fitri, tak terkecuali keluarga kami. Tepat setelah menunaikan shalat subuh berjamaah, semua perlengkapan itu harus segera tersedia. 

Akhirnya kami memutuskan, masing-masing anggota keluarga pun harus saling bekerjasama. Saling bekerjasama untuk menyempurnakan  persiapan yang harus tertata dan ada di hari raya. Ibu mulai sibuk mempersiapkan urusan dapur, bagaimanapun dapur harus tetap mengepul guna mencukupi dahaga di hari raya. Bapak dan adik perempuanku bertugas membereskan rumah; menyapu, mengepel dan membereskan sudut-sudut rumah yang nampak sedikit berantakan. Aku sebagai anak tertua, bertugas mempersiapkan pakaian untuk shalat Ied; mulai dari mencari, menyetrika dan menatanya sedemikian rupa. Sementara si bungsu sibuk menata toples jamuan di meja, yang setelahnya bergegas untuk mandi.

Tatkala kami sibuk dengan pekerjaan masing-masing, sementara sang waktu tak pernah mampu bersabar dan lihai memberi kelonggaran, ia terus bergulir dengan penuh cekatan dan keterburu-buruan.  Masing-masing di antara kami pun tidak mau kecolongan, alhasil setelah pekerjaan rampung, dengan sigap harus memasuki kamar mandi secara bergantian. Bagaimanapun masing-masing kita harus menghadap-Nya dengan penuh kesucian; lahir maupun batin. Untungnya, di rumah kami tersedia dua kamar mandi, sehingga tidak butuh waktu yang lama untuk mengantri. Sungguh tidak terbayangkan, bagaimana nasib mereka yang harus mengantri begitu panjang di luar sana disebabkan tidak adanya satupun kamar mandi di rumah.

Hari kemenangan benar-benar masih seumur jagung namun telah  banyak hal yang kami persiapkan. Rasa-rasanya, kini keluarga pun nampak kompak saling bahu-membahu, disiplin dan bertanggungjawab atas satu sama lain. Setelah masing-masing kami mengenakan seragam untuk shalat Ied, kami pun memutuskan untuk bergegas menuju mesjid. 

Mesjid agung itupun tidak begitu jauh dari rumah kami. Atas dasar alasan itu pula kami bersepakat untuk berjalan kaki. 
Waktu masih menunjukkan pukul enam tiga puluh, namun kami harus berusaha mencari tempat duduk yang tepat. Terlebih lagi, apabila mengingat sholat Ied itu kini dilakukan dengan berjarak. Keadaan berjarak itu pulalah yang mendorong di antara jama'ah harus berlomba-lomba. Bagaimanapun sekat-sekat sebagai jarak itu akan banyak memangkas luasnya tempat, sehingga ada kemungkinan besar pengurangan jumlah jamaah. Ataupun berkurangnya ruang yang layak untuk menunaikan shalat Ied. Tidak heran, ini adalah protokol ketat yang berlaku sebagai jelmaan antisipasi keselamatan.

Meskipun demikian, syukur Alhamdulillah di wilayah kami masih bisa mencicipi shalat Ied berjamaah di mesjid. Meski dengan sedikit catatan, kami harus mengedepankan dan mengindahkan peraturan pemerintah, dimana dalam pelaksanaannya disesuaikan dengan protokol keamanan yang berlaku. Tetap saja, bagaimanapun ini adalah suatu keberkahan, sebab di beberapa wilayah yang ditetapkan sebagai zona merah menghelat sholat Ied berjamaah di mesjid sangat tidak diperbolehkan.

Bagi kami--kalangan beruntung-- yang masih bisa menghelat shalat Ied berjamaah di mesjid harus siaga dilengkapi atribut keamanan secara mandiri, seperti; mengenakan masker, membawa sajadah dari rumah, menjaga kebersihan diri, mencuci tangan dan jangan sampai bersentuhan. 

Rangkaian shalat Ied pun dijalankan sebagaimana rukun dan syaratnya yang berlaku. Menunaikan shalat dua raka'at;  raka'at pertama dengan tujuh takbiratul ihram sementara dua raka'at lima takbiratul ihram, seuai shalat disambung dengan mendengarkan khotbah. Isi khotbah Ied Mubarak tahun ini tidak hanya sekadar mengingatkan atas suka cita, melainkan diimbangi dengan himbauan untuk terus mawas diri dan hati-hati. Menjaga kebersihan dan kesehatan masing-masing diri adalah nasihat yang ditekankan.

Durasi dalam pelaksanaan shalat Ied dan khotbah pun lebih diringkas lagi, tidak begitu leluasa seperti tahun-tahun sebelumnya. Di akhir khotbah-shalat Ied, himbauan keras dilayangkan, masing-masing orang sangat tidak diperbolehkan untuk bermusyafahah di antara jama'ah. Alhasil, saling memaafkan pun hanya dilakukan sebatas simbol verbalis yang diwakili oleh imam. 

Sebagain besar orang menggerutu dan mengeluhkan himbauan itu sembari tersenyum saling celingukan. "Ah, di sini kan tidak ada Corona, selain itu tidak ada warga asing--yang dalam perjalanan-- singgah. Tidak ada juga warga yang sakit atau menunjukkan gejala terjangkit Corona", sergahnya. Keluh-kesah mereka hanya menguap begitu saja, lenyap seketika seiring berhamburnya keluar jemaah.

Sangat terasa, shalat Ied tahun ini yang digelar tanpa bermusyafahah dan tanpa linangan air mata yang menetes, rasa-rasanya menjadi sesuatu hal sakral yang kurang afdhal. Ah, apa daya semua protokol itu dilakukan untuk kebaikan bersama. 

Terkait dengan sesuatu hal sakral yang kurang afdhal. Apakah mungkin ini hanya benak saya semata yang terperangkap dalam seutas tali sakralitas kebudayaan?.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam a...

Anak Penjajak Komik

Dokpri: Qadira dengan koleksi komiknya Belakangan saya dibuat takjub melihat pemandangan tak biasa di kelas 2 SDIT Baitul Quran. Takjub bukan karena huru-hara sedang meluluhlantakkan kursi dan meja. Bukan, bukan karena mereka sedang melakukan kegaduhan, bullying dan kenakalan meronta-ronta yang tampak di depan mata melainkan fenomena yang menyegarkan hati.  Bukan hanya maknyes di hati saya kira namun fenomena yang membuat hati merasa bangga: terketuk, kagum dan penasaran sekaligus menampar pipi--bagi siapa pun yang melihat. Lha, memang apa? Baca komik. Cuma baca komik? Tentu tidak. Tidak sedangkal itu kejadiannya.  Almira dan Qadira adalah dua siswi yang membuat saya takjub itu. Mereka berbeda dari siswa-siswi lain. Jika umumnya anak menjadikan semua tempat untuk bermain, bermain di semua tempat sesuka hati, bahkan anak hanya mau membaca saat kegiatan belajar mengajar belangsung maka berbeda dengan dua siswi tersebut. Almira dan Qadira lebih suka memanfaatkan waktu luang berte...

Serba yang Kedua

(Dokpri: flyer ngaji literasi edisi 4) Hemat saya angka 2 menjadi angka istimewa dalam ngaji literasi edisi keempat yang akan datang ini. Tepatnya, 3 kali angka 2 yang istimewa. Kenapa harus angka 2? Bukankah masih banyak angka lain: 1, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan seterusnya? Nah, jadi bikin penasaran kan? Pertama, angka 2 yang menegaskan bahwa di momen ngaji literasi edisi ini adalah kali kedua saya menjadi moderator setelah sebelumnya saya beserta Bang Almahry Reprepans bertukar posisi. Tentu saja, dua kali menjadi moderator dalam rangka membedah buku solo kawan-kawan anggota SPK Tulungagung, bagi saya, adalah satu kehormatan dan kesempatan yang luar biasa. Saya dapat belajar bagaimana cara berbicara di depan kamera dan public speaking. Selain itu, pada ngaji literasi edisi keempat ini menandaskan dua kali sudah saya menjadi moderator dalam membedah buku solo perdana sahabat Ekka Zahra Puspita Dewi setelah sebelumnya dipertemukan dalam acara bedah yang diusung oleh komunitas Lentera. ...