Langsung ke konten utama

Memorial Ngaji

Membaca buah tangan Ibu Zulfa NH, "Pura-pura Bodoh (Tajahul): Mutiara Pagi dari Kelas Ngaji Kitab Adabul 'Alim wal Muta'alim (Etika Guru dan Murid)", yang diposting pada laman akun Facebook pribadi, nyatanya berhasil mengingatkan saya kembali pada memori rutinitas ngaji di kampung halaman nun jauh di sana.

(Oh, iya sedikit memperkenalkan, beliau-Ibu Zulfa NH-, adalah salah seorang dosen di kampus IAIN Tulungagung yang kapabelitas dalam bidang hukum. Dulu, tatkala saya berada di semester empat starata satu, beliau pengampu matakuliah feminisme. Beliau seorang pribadi yang sangat disiplin, tegas dan bijaksana. Dan saya merasa beruntung sekali telah diajarkan tentang feminisme oleh beliau).

Sore dan malam hari selalu menjadi waktu yang tepat untuk berlari menuju madrasah. Meskipun terkadang hujan deras lebih sering menjegal langkah dan mengurunkan niat saya. Dan akhirnya kealpaan pun tidak dapat disembunyikan dan terelakan.

Walaupun sebenarnya, terkadang malu lebih lihai memainkan peran dalam diri saya. Apalagi tatkala mengingat jarak yang terhitung dekat. Kalau bertemu dengan ustadz-ustadzah-nya malunya bukan kepalang.

Ah, jadi menyesalkan hal yang telah berlalu dan sayangnya baru memiliki kesadaran atas kejadian itu sekarang.

Ada satu hal yang sampai sekarang menjadi kenangan yang mendalam dan tak dapat terlupakan. Dimana lutut sebelah kanan saya harus mencium bibir batu yang lancip di pinggir jalan.

Semuanya itu bermula dari kebiasaan molor saya yang keterlaluan, sehingga mengharuskan saya berlari untuk sampai di tempat tujuan (red: madrasah). Belum lagi, tatkala itu, gerombolan rintik hujan mulai berhamburan. Sempurna sudah, alasan saya untuk berlari kencang.

Pada kenyataannya ketergesa-gesaan itu justru membuat saya malah tersandung. Tanpa menghiraukan bagian apa yang sakit, saya pun melanjutkan perjalan, meskipun telah telat teramat banyak waktu.

Hikmahnya; manajemen dalam hidup itu penting. Mulailah pandai memprioritaskan dan mempersiapkan agenda-agenda dan jadwal apa saja yang menjadi rutinitas keseharian. Jangan lupa alokasi waktunya juga diperhitungkan dengan matang.

Tidak apa-apa apabila harus berakit-rakit dahulu berenang-renang kemudian. Semuanya bermula dari proses panjang pembelajaran yang dibiasakan.

Termasuk membiasakan diri untuk senantiasa takdzim pada sang guru. Sebab bagaimanapun dan sepanjang masa pun  tidak ada yang namanya bekas guru.

Salam takdzim, 🙏. Teruntuk para asatid yang pernah membimbing dan mengarahkan saya pada cahaya ilmu, Allah ya Rahman. Semoga Ridho Allah SWT senantiasa dalam setiap tetes peluh perjuanganmu.

Tertanda, fakiru ilallah.

Tulungagung, 15 Juni 2020.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam a...

Anak Penjajak Komik

Dokpri: Qadira dengan koleksi komiknya Belakangan saya dibuat takjub melihat pemandangan tak biasa di kelas 2 SDIT Baitul Quran. Takjub bukan karena huru-hara sedang meluluhlantakkan kursi dan meja. Bukan, bukan karena mereka sedang melakukan kegaduhan, bullying dan kenakalan meronta-ronta yang tampak di depan mata melainkan fenomena yang menyegarkan hati.  Bukan hanya maknyes di hati saya kira namun fenomena yang membuat hati merasa bangga: terketuk, kagum dan penasaran sekaligus menampar pipi--bagi siapa pun yang melihat. Lha, memang apa? Baca komik. Cuma baca komik? Tentu tidak. Tidak sedangkal itu kejadiannya.  Almira dan Qadira adalah dua siswi yang membuat saya takjub itu. Mereka berbeda dari siswa-siswi lain. Jika umumnya anak menjadikan semua tempat untuk bermain, bermain di semua tempat sesuka hati, bahkan anak hanya mau membaca saat kegiatan belajar mengajar belangsung maka berbeda dengan dua siswi tersebut. Almira dan Qadira lebih suka memanfaatkan waktu luang berte...

Serba yang Kedua

(Dokpri: flyer ngaji literasi edisi 4) Hemat saya angka 2 menjadi angka istimewa dalam ngaji literasi edisi keempat yang akan datang ini. Tepatnya, 3 kali angka 2 yang istimewa. Kenapa harus angka 2? Bukankah masih banyak angka lain: 1, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan seterusnya? Nah, jadi bikin penasaran kan? Pertama, angka 2 yang menegaskan bahwa di momen ngaji literasi edisi ini adalah kali kedua saya menjadi moderator setelah sebelumnya saya beserta Bang Almahry Reprepans bertukar posisi. Tentu saja, dua kali menjadi moderator dalam rangka membedah buku solo kawan-kawan anggota SPK Tulungagung, bagi saya, adalah satu kehormatan dan kesempatan yang luar biasa. Saya dapat belajar bagaimana cara berbicara di depan kamera dan public speaking. Selain itu, pada ngaji literasi edisi keempat ini menandaskan dua kali sudah saya menjadi moderator dalam membedah buku solo perdana sahabat Ekka Zahra Puspita Dewi setelah sebelumnya dipertemukan dalam acara bedah yang diusung oleh komunitas Lentera. ...