Langsung ke konten utama

Nyantri di Medsos

Merebaknya pandemi Covid-19, menjadikan khalayak penghuni lembaga pendidikan dengan terpaksa harus dirumahkan. Tidak terkecuali dengan nasib beberapa pondok pesantren yang berada di zona merah. Secara terpaksa harus mengutamakan keselamatan bersaman. Alhasil, dewan asatid lebih memilih para untuk memulangkan parapsantri kepelukan keluarganya di rumah daripada harus menanggung berat akibat fatalnya.

Sebagai dampak nyatanya, upaya tersebut pun berhasil menggoyahkan tradisi-tradisi ngaji yang berlaku di pondok pesantren, tak terkecuali ngaji pasanan di bulan suci Ramadan. Ngaji pasanan (pasaran) di pondok setiap bulan Ramadan yang biasa dijejali bejibun santri, kini pun menjadi sepi. Asrama-asrama yang mulanya setiap malam dipenuhi canda-tawa pun menjadi tak berpenghuni.

Dalam keheningan, sang dingin pun seakan-akan berseloroh sembari mengais-ngais serpih pertanyaan yang terbenam dalam diri, "Akan sampai kapankah pandemi ini terus mengebiri ruang-ruang belajar kami?". Sampaikankah kami harus berdiam diri? Lari-larian dengan ketakutan yang kian hari terus menggentayangi.

Alhasil, sampai di sini nampaknya kita benar-benar membutuhkan inisiatif untuk kembali menghidupkan kedisiplinan dan melestarikan tradisi, meskipun harus berusaha keras mendekatkan perbedaan jarak dan distingsi ruang.

Salah satu solusinya, ialah dengan memanfaatkan gadget. Gadget canggih yang mampu digunakan untuk bertasamuh melalui media sosial. Melalui media sosial inilah yang memungkinkan semua pecinta ilmu pengetahuan dapat sedikit mengobati dahaga kerinduan. Sebutkan saja itu dengan nyantri di medsos.

Nyantri di medsos (media sosial) kayanya akan menjadi tren baru. Apalagi kalau yang ngisi memiliki nasabiyah yang sharih. Bermula dari rahim nasabiyah keilmuan agama yang tidak diragukan lagi. Kredibilitasnya tidak perlu ditanyakan kembali.

Bagaimanapun, inisiatif ini adalah wujud usaha untuk menuju pada kemaslahatan. Kemaslahatan memangkas matarantai kebebalan yang eksklusif. Kemaslahatan guna meningkatkan kualitas peradaban umat manusia.

Selain itu, di satu sisi, setidaknya akan banyak bermunculan dan bertumbuh-kembang para YouTuber dan webinar baru yang akan berusaha mengimbangi kekuatan-kekuatan kapitalis yang merebak. Para pembisnis webinar dan YouTuber yang fokus ngshare kehidupan glamornya, persaingan hidup hedonis ala sultan semoga tidak gelapakan.

Dalam konteks ini, harapan panjangnya kegiatan-kegiatan pembelajaran di institusi pendidikan dapat dilakukan via daring online di medsos. Sehingga sangat memungkinkan tidak ada lagi alasan untuk tidak sama sekali belajar. Belajar apapun itu diwujudkan di rumah masing-masing.

Pada tahapan yang menyinggung perihal profesi, identitas dan karir, nantinya sangat dimungkinkan apabila seorang guru, dosen, ustadz ataupun Kiyai juga sekaligus memiliki peran sebagai YouTuber dan webinar.

Warganet yang Budiman, seharusnya sudah mulai melek sekarang, sebab bagaimanapun telah merebak konten-konten dan channel medsos yang mampu mencerahkan. Setidaknya, dengan hal itu mampu meluruskan pemahaman dan pandangannya akan hidup.

Tapi, hal itupun sebenarnya tergantung dan kembali kepada diri masing-masing. Apakah mau beralih haluan menjadi warganet yang budiman atau malah menjadi bumerang yang terus digemakan.

Semua itu tergantung anda. Ah, ini mah hanya nasehat untuk diri saya sendiri. Bukan untuk kepentingan meningkatkan rating. Pertanyaannya cuma satu, gimana mau naikin rating? Kalau ternyata akun YouTube aja kagak punya kok. Ah, dasar si Aku.

Tertanda,
Di ujung tanduk sahur akhir Ramadan,
Ciamis, 23 Mei 2020, diedit ulang di Tulungagung, 13 Juni 2020.


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam a...

Anak Penjajak Komik

Dokpri: Qadira dengan koleksi komiknya Belakangan saya dibuat takjub melihat pemandangan tak biasa di kelas 2 SDIT Baitul Quran. Takjub bukan karena huru-hara sedang meluluhlantakkan kursi dan meja. Bukan, bukan karena mereka sedang melakukan kegaduhan, bullying dan kenakalan meronta-ronta yang tampak di depan mata melainkan fenomena yang menyegarkan hati.  Bukan hanya maknyes di hati saya kira namun fenomena yang membuat hati merasa bangga: terketuk, kagum dan penasaran sekaligus menampar pipi--bagi siapa pun yang melihat. Lha, memang apa? Baca komik. Cuma baca komik? Tentu tidak. Tidak sedangkal itu kejadiannya.  Almira dan Qadira adalah dua siswi yang membuat saya takjub itu. Mereka berbeda dari siswa-siswi lain. Jika umumnya anak menjadikan semua tempat untuk bermain, bermain di semua tempat sesuka hati, bahkan anak hanya mau membaca saat kegiatan belajar mengajar belangsung maka berbeda dengan dua siswi tersebut. Almira dan Qadira lebih suka memanfaatkan waktu luang berte...

Serba yang Kedua

(Dokpri: flyer ngaji literasi edisi 4) Hemat saya angka 2 menjadi angka istimewa dalam ngaji literasi edisi keempat yang akan datang ini. Tepatnya, 3 kali angka 2 yang istimewa. Kenapa harus angka 2? Bukankah masih banyak angka lain: 1, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan seterusnya? Nah, jadi bikin penasaran kan? Pertama, angka 2 yang menegaskan bahwa di momen ngaji literasi edisi ini adalah kali kedua saya menjadi moderator setelah sebelumnya saya beserta Bang Almahry Reprepans bertukar posisi. Tentu saja, dua kali menjadi moderator dalam rangka membedah buku solo kawan-kawan anggota SPK Tulungagung, bagi saya, adalah satu kehormatan dan kesempatan yang luar biasa. Saya dapat belajar bagaimana cara berbicara di depan kamera dan public speaking. Selain itu, pada ngaji literasi edisi keempat ini menandaskan dua kali sudah saya menjadi moderator dalam membedah buku solo perdana sahabat Ekka Zahra Puspita Dewi setelah sebelumnya dipertemukan dalam acara bedah yang diusung oleh komunitas Lentera. ...