Langsung ke konten utama

Semuanya Bermula dari 'Yang Satu'

Tulisan keren prof. Yusuf Daud selalu menginspirasi saya untuk berusaha mengikuti jejak beliau. Berwawasan luas dan bersahaja. Tak terkecuali dengan postingan beliau kali ini di aku Facebook yang berjudul, "Science is Religion and Religion ia Science".

Saya setuju dengan penjelasan panjenengan tentang semua upaya manusia yang tak pernah mampu dipisahkan dari Yang Ahad (Tuhan, 'Alim). Termasuk pula di dalamnya mengenai perjalanan panjang upaya manusia memfurifikasi ilmu dari agama.

Dalam konteks dunia kefilsafatan misalnya, upaya pemisahan itu, justru hanya menunjukkan proses panjang dari keterbatasan manusia.

Pendekatan epistema yang bermuara pada penggunaan rasio dan empiris ataupun wujud sintesis dari keduanya sekalipun, hanya berpijak pada sudut pandang yang fleksibelitas.

Toh, selalu ada deretan panjang hipotesis, tesis-anti tesis, yang justru menampakan falsibilitas dalam cara pandang manusia yang sempit terhadap 'perkembangan ilmu'.

Alih-alih manusia hendak menunjukkan kemampuannya guna kemapan ilmu, sejatinya di sisi yang lain menunjukkan manusia yang papa. Mampunya justru hanya melihat 'sesuatu' dari satu sudut pandang yang disesuaikan dengan kapasitas dan kapabilitas keilmuan dirinya pribadi.

Sementara faktanya, 'sesuatu' yang dikaji dengan menggunakan sudut pandang (epistema) yang berbeda dari sebelumnya, hasilnya juga akan berbeda pula.

Hal ini menunjukkan bahwa manusia dalam setiap proses kehadirannya di dunia selalu ingin menjadi figur utama dalam mengambil peran. Sehingga apapun harus sesuai dengan kehendak pribadinya yang leluasa. Segala yang dibutuhkan manusia harus tunduk dan mengitarinya.

Hadirnya eksistensialisme yang dipuja-puja, justru hanya menunjukkan sisi kerapuhan 'emosional spiritual' di dalam diri manusia. Menjadikan eksistensialisme sebagai epistema tidak menghentikan Tuhan menunjukkan kekuasaan-Nya.

Buktinya, banyak ilmuwan-ilmuwan sains (sainstis) yang kewalahan tatkala menghadapi (mengkaji) suatu persoalan yang tidak dapat dipecahkan melalui pendekatan rasional dan empiris. 'Sesuatu yang tidak mungkin adanya menjadi mungkin atas kehendak-Nya'.

Dalam hal ini, Tuhan tetap sebagai 'alim yang terus mengalirkan pengetahuan yang sama sekali baru bagi manusia. Perkembangan ilmu itu menunjukkan keberlangsungan hidup ilmu itu sendiri dalam pandangan manusia, sembari mendiskreditkan kausalitas di dalamnya. Selanjutnya manusia mengklaim proses itu sebagai temuannya.

Ah, menjadi sangat rumit tatkala mempersoalkan segala sesuatu itu apabila dituntut oleh segenap kepentingan dan sistematisasi yang dikukuhkan dalam keterbatasan manusia. Saya mulai curiga jangan-jangan peradaban ilmu itupun berlangsung atas dasar mengukuhkan kekuasaan yang berkepentingan dan kepongah an manusia semata.

Dalam konteks ini, saya memahami gambaran ilmu Tuhan itu bekerja layaknya terkisahkan dalam karangan Ibnu Tufail, Hayy Ibnu Yaqdzon. Layaknya Hayy Ibnu Yaqdzon yang tinggal di dalam hutan dan terasingkan dari peradaban. Namun, 'ketekunan dari kesadaran dirinya yang papa' mengantarkan pengetahuan hakikat hidup meresap ke dalam akal dan sanubarinya.

Saya menyanksikan sama sekali, kalau dalam kehidupan Hayy Ibnu Yaqdzon terdapat sistematisasi ilmu sebagaimana yang telah ditetapkan oleh ilmuwan yang berlaku di abad ini. Sebaliknya, namun saya percaya ilmu itu hidup dan sampai pada dirinya melalui pendekatan observasi kausalitas yang menebus pengetahuan 'alim yang hakiki dan jauh dari kepongahan manusia.

Mungkin ada benarnya apa kata Jacques Derrida, "mari mulai dari yang tidak mungkin". Sejatinya hanya menunjukkan manusia yang papa dan penuh keterbatasan, tanpa kehendak-Nya yang meliputi keselamatan hidup. Termasuk pula saya, yang diliputi ketidaktahuan dan keterbatasan dalam menumpahkan butir-butir kata ini menjadi kalimat yang jauh dari kata sempurna.

Wallahu A'lamu bisshawwab...
Tulungagung, 14 Juni 2020.
Tertanda manusia yang papa.
-Dewar Alhafiz-



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam a...

Anak Penjajak Komik

Dokpri: Qadira dengan koleksi komiknya Belakangan saya dibuat takjub melihat pemandangan tak biasa di kelas 2 SDIT Baitul Quran. Takjub bukan karena huru-hara sedang meluluhlantakkan kursi dan meja. Bukan, bukan karena mereka sedang melakukan kegaduhan, bullying dan kenakalan meronta-ronta yang tampak di depan mata melainkan fenomena yang menyegarkan hati.  Bukan hanya maknyes di hati saya kira namun fenomena yang membuat hati merasa bangga: terketuk, kagum dan penasaran sekaligus menampar pipi--bagi siapa pun yang melihat. Lha, memang apa? Baca komik. Cuma baca komik? Tentu tidak. Tidak sedangkal itu kejadiannya.  Almira dan Qadira adalah dua siswi yang membuat saya takjub itu. Mereka berbeda dari siswa-siswi lain. Jika umumnya anak menjadikan semua tempat untuk bermain, bermain di semua tempat sesuka hati, bahkan anak hanya mau membaca saat kegiatan belajar mengajar belangsung maka berbeda dengan dua siswi tersebut. Almira dan Qadira lebih suka memanfaatkan waktu luang berte...

Serba yang Kedua

(Dokpri: flyer ngaji literasi edisi 4) Hemat saya angka 2 menjadi angka istimewa dalam ngaji literasi edisi keempat yang akan datang ini. Tepatnya, 3 kali angka 2 yang istimewa. Kenapa harus angka 2? Bukankah masih banyak angka lain: 1, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan seterusnya? Nah, jadi bikin penasaran kan? Pertama, angka 2 yang menegaskan bahwa di momen ngaji literasi edisi ini adalah kali kedua saya menjadi moderator setelah sebelumnya saya beserta Bang Almahry Reprepans bertukar posisi. Tentu saja, dua kali menjadi moderator dalam rangka membedah buku solo kawan-kawan anggota SPK Tulungagung, bagi saya, adalah satu kehormatan dan kesempatan yang luar biasa. Saya dapat belajar bagaimana cara berbicara di depan kamera dan public speaking. Selain itu, pada ngaji literasi edisi keempat ini menandaskan dua kali sudah saya menjadi moderator dalam membedah buku solo perdana sahabat Ekka Zahra Puspita Dewi setelah sebelumnya dipertemukan dalam acara bedah yang diusung oleh komunitas Lentera. ...