Langsung ke konten utama

Curhatan Tentang Status

Ada yang mengatakan bahwa term jomblo itu merupakan term kasar bagi orang yang masih hidup sendirian. Sedangkan untuk term halusnya ialah single atau lajang. Entah apa yang menjadi perbedaan signifikan yang terdapat di antara term keduanya. Yang pasti hanya bahasa dan sebutan saja yang membedakannya. Tapi pada hakikatnya tetap memiliki fokus makna essensi yang sama (satu), yakni belum punya pasangan hidup (masih hidup sendirian).
Bila kita mempersoalkan hal yang demikian, tentu masih banyak orang yang berusaha mendefinisikan term tersebut sesuai dengan perspektifnya masing-masing. Entah itu pendefinisian yang dilatar belakangi oleh tingkat wawasan pengetahuannya atau pun berdasarkan pada pengalaman pribadi hidupnya.
Selain itu ketika kita mempersoalkan tentang yang demikian, masih banyak juga orang yang suka menstigmatif, mencibir dan bahkan tidak segan-segan untuk memcemooh orang yang berstatus demikian.
Entah apa yang menjadi titik permasalahan, yang pasti status ini selalu menjadi lahan empuk dan sasaran tepat untuk tema hangat pembicaraan. Baik itu untuk tema pembicaraan kaum hawa atau pun kaum adam. Baik itu tema pembicaraan yang berada dalam realita kehidupan atau pun tema pembicaraan dalam dunia maya sekali pun yang suka digembar-gemborkan dan dilebih-lebihkan.
Secara tidak langsung dan tidak sadar tenyata buah dari cibiran dan stigmatif tersebut telah merekonstruksi yang sekaligus mendekonstruksi pemikiran tentang essensi makna yang terdapat dalam term tersebut. Jika pada awalnya status single itu bukanlah suatu permasalahan yang vital, maka berbeda hal dengan realita zaman sekarang. Malahan jika pada awalnya nilai orang yang berstatus single ini positif, maka pada realita kehidupan zaman sekarang adalah sebaliknya, yakni negatif. Eeet dah bang, tenan yo...
Ya...memang demikian. Misalkan saja ketika ada seseorang yang berstatus single. Kemudian ada seorang teman yang berstatus pacaran (memiliki pasangan) mengetahui statusnya yang demikian. Bagi seorang teman yang selalu berperspektif positif tentu hal yang demikian bukanlah suatu permasalahan yang perlu fokus dipersoalkan. Akan tetapi berbeda halnya dengan seorang teman yang selalu berperspektif negatif. Mungkin dia akan mengatakan orang yang berstatus single tersebut tidak lakulah, suka sesama jenis lah, kolotlah dan lain sebagainya. Padahal pada realitanya belum tentu apa yang dilabelkannya tersebut memang benar-benar terjadi demikian.
Akan tetapi sayang, mereka yang terlalu sibuk dan hanyut dalam melabeli status single sebagai sesuatu yang negatif, sehingga lupa dengan realita kehidupan yang sedang dijalaninya. Baik lupa dengan prospek tujuan hidupnya, siapa dirinya dan kewajiban dirinya terhadap orang diluar dirinya. Dan hal yang demikian secara implisit telah mendeskripsikan bahwa masih banyak hal yang perlu dipikirkan dan dipersoalkan tentang realita kehidupan pribadinya, bukan malah mempersoalkan tentang hal yang belum jelas kebenarnnya.
Kemudian bagaimana jika sebaliknya, ternyata orang yang berstatus single tersebut memberikan respon yang mencengangkan, dan memberikan alasan yang kuat bahwa dirinya sedang sibuk menata planing dan usaha untuk kejelasan prospek tujuan hidupnya, berusaha mengenali siapa sesungguhnya dirinya (termasuk mengetahui kekurangan dan kelebihan yang ada pada dirinya) dan berusaha mentolelir dan memenuhi semua kewajiban terhadap orang lain diluar dirinya. Bukankah hal yang demikian lebih baik daripada mereka yang senangnya hanya mempermainkan kehidupan, tanpa introspeksi mengenali lebih jauh apa kelebihan dan kekurangan yang ada dalam dirinya dan belum lagi mempersoalkan tentang prospek tujuan hidupnya. Belum tentu lho..., orang yang menjadi pacar sekarang akan memjadi pendamping hidup kita. 
 Maka berlandaskan pada hal yang demikian, seharusnya kita menyadari dan memahami akan realita permasalahan yang sesungguhnya, bahwa kecenderungan kita selama ini terlalu so tahu dan terburu-buru menghakimi (melegitimasi) terhadap apa yang nampak terlalu dini.               

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam a...

Anak Penjajak Komik

Dokpri: Qadira dengan koleksi komiknya Belakangan saya dibuat takjub melihat pemandangan tak biasa di kelas 2 SDIT Baitul Quran. Takjub bukan karena huru-hara sedang meluluhlantakkan kursi dan meja. Bukan, bukan karena mereka sedang melakukan kegaduhan, bullying dan kenakalan meronta-ronta yang tampak di depan mata melainkan fenomena yang menyegarkan hati.  Bukan hanya maknyes di hati saya kira namun fenomena yang membuat hati merasa bangga: terketuk, kagum dan penasaran sekaligus menampar pipi--bagi siapa pun yang melihat. Lha, memang apa? Baca komik. Cuma baca komik? Tentu tidak. Tidak sedangkal itu kejadiannya.  Almira dan Qadira adalah dua siswi yang membuat saya takjub itu. Mereka berbeda dari siswa-siswi lain. Jika umumnya anak menjadikan semua tempat untuk bermain, bermain di semua tempat sesuka hati, bahkan anak hanya mau membaca saat kegiatan belajar mengajar belangsung maka berbeda dengan dua siswi tersebut. Almira dan Qadira lebih suka memanfaatkan waktu luang berte...

Serba yang Kedua

(Dokpri: flyer ngaji literasi edisi 4) Hemat saya angka 2 menjadi angka istimewa dalam ngaji literasi edisi keempat yang akan datang ini. Tepatnya, 3 kali angka 2 yang istimewa. Kenapa harus angka 2? Bukankah masih banyak angka lain: 1, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan seterusnya? Nah, jadi bikin penasaran kan? Pertama, angka 2 yang menegaskan bahwa di momen ngaji literasi edisi ini adalah kali kedua saya menjadi moderator setelah sebelumnya saya beserta Bang Almahry Reprepans bertukar posisi. Tentu saja, dua kali menjadi moderator dalam rangka membedah buku solo kawan-kawan anggota SPK Tulungagung, bagi saya, adalah satu kehormatan dan kesempatan yang luar biasa. Saya dapat belajar bagaimana cara berbicara di depan kamera dan public speaking. Selain itu, pada ngaji literasi edisi keempat ini menandaskan dua kali sudah saya menjadi moderator dalam membedah buku solo perdana sahabat Ekka Zahra Puspita Dewi setelah sebelumnya dipertemukan dalam acara bedah yang diusung oleh komunitas Lentera. ...