Langsung ke konten utama

Inspirasi Ramadhan

Nilai Dulu Diri Pribadi Sebelum Menilai Orang Lain
Ada yang mengatakan bahwa bulan Ramadhan merupakan bulan yang mampu menyihir (merekonstruksi) semua tindakan orang yang notabenenya islam menjadi insan kamil. Bulan mubarak untuk muhasabah yaumiyah amal pribadi bagi seluruh umat islam. Bulan yang akan melatih umat islam mengerti, merenungi dan memahami akan makna kehidupan. Sehingga tidak aneh lagi bila ada sebagian orang yang menjustifikasi bahwa syaru ramadhan merupakan salah satu sarana yang menjadikan orang ‘mendadak religius’.
Tapi yang perlu kita ketahui, klarifikasi, kritisasi dan analisis secara seksama, ialah persoalan tentang benar tidaknya fenomena orang yang mendadak religius tersebut. Apakah memang benar fenomena mendadak religius tersebut hanya berlaku di bulan ramadhan? Apa mungkin fenomena mendadak religius tersebut hanya sebagai rutinitas musiman? Alias hanya menyesuaikan dengan situasi dan kondisi? Yang bila dianalogikan layaknya bunglon Atau memang hal yang demikian adalah konversi intern dalam beragama yang muncul karena adanya respon untuk mengikuti panggilan hati nurani?
Entahlah, entah mana fenomena yang mampu menjawab pertanyaan yang telah disuguhkan tadi. Yang pasti kita sebagai manusia yang "serba kepo" hanya mampu mengkategorisasikan dan menindikasikan fenomena mendadak religius di bulan suci ramadhan ini dengan tindakan yang memang dini ataupun muncul sekarang (sesuai yang sedang berlangsung) ketara dari prilaku privasi orang yang bersangkutan. Pasalnya ketika kita berani menjustifikasi seseorang mendadak religius atau yang lebih fokus lagi, yakni telah mengalami konversi dalam beragama, secara otomatis tentu kita telah mengobservasi dan benar-benar memahami bagaimana rutinitas beribadah (pengalaman beragama) seseorang yang memang wujudnya bersifat privasi (di sinilah kita perlu mengerti dan memahami aksiologi dari teori-teori sosialogi agama). Dan lagi-lagi kebanyakan di antara kita ini dengan mudah selalu terperangkap dan terjebak dalam penilaian (skoring) yang sifatnya subjektif (ekslusif) tanpa memahami betul bagaimana orang yang bersangkutan menjalaninya. Sehingga karena mudahnya diri kita yang selalu terperangkap dan terjebak dalam penilaian (skoring) yang sifatnya subjektif (ekslusif), maka tidak jarang malah menimbulkan suudzon, ghibah dan fitnah yang menjalar pada arah kebencian dan permusuhan dalam beragama yang sifatnya privasi.
Hemmm, menyadari hal yang demikian saya malah teringat dengan suatu pernyataan yang telah dikemukakan oleh Abah FUAD (sapaan akrab untuk Dekan Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah) bahwa sesungguhnya dalam diri setiap manusia pasti selalu memiliki kecenderungan negatif. Baik itu dalam memandang sesuatu yang berbeda dengan apa yang sering dilakukannya (sesuai dengan kebiasaan yang sering terjadi) atau memandang suatu fenomena yang muncul dilingkungan sekitar yang memang tidak disukai oleh dirinya (yang disebut sinisme). 
Namun kecenderungan negatif tersebut akan tercover (terkontrol) dengan baik apabila kita mampu mengarahkannya menjadi sikap kritis dalam wawasan pengetahuan (berbatas pengetahuan yang bersifat transparansi tanpa adanya justifikasi truth of claim privasi), maka yang akan terjadi kemudian ialah berusaha mengimplementasikannya menjadi orientasi dalam beragama yang lebih fokus pada humanis atau sosial. Semisal adanya pengetahuan tentang suudzon yang selalu dinegasikan jelek, tapi di sisi lain (secara epistemologi) telah melahirkan term husnudzon yang bersifat positif.

   

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam a...

Anak Penjajak Komik

Dokpri: Qadira dengan koleksi komiknya Belakangan saya dibuat takjub melihat pemandangan tak biasa di kelas 2 SDIT Baitul Quran. Takjub bukan karena huru-hara sedang meluluhlantakkan kursi dan meja. Bukan, bukan karena mereka sedang melakukan kegaduhan, bullying dan kenakalan meronta-ronta yang tampak di depan mata melainkan fenomena yang menyegarkan hati.  Bukan hanya maknyes di hati saya kira namun fenomena yang membuat hati merasa bangga: terketuk, kagum dan penasaran sekaligus menampar pipi--bagi siapa pun yang melihat. Lha, memang apa? Baca komik. Cuma baca komik? Tentu tidak. Tidak sedangkal itu kejadiannya.  Almira dan Qadira adalah dua siswi yang membuat saya takjub itu. Mereka berbeda dari siswa-siswi lain. Jika umumnya anak menjadikan semua tempat untuk bermain, bermain di semua tempat sesuka hati, bahkan anak hanya mau membaca saat kegiatan belajar mengajar belangsung maka berbeda dengan dua siswi tersebut. Almira dan Qadira lebih suka memanfaatkan waktu luang berte...

Serba yang Kedua

(Dokpri: flyer ngaji literasi edisi 4) Hemat saya angka 2 menjadi angka istimewa dalam ngaji literasi edisi keempat yang akan datang ini. Tepatnya, 3 kali angka 2 yang istimewa. Kenapa harus angka 2? Bukankah masih banyak angka lain: 1, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan seterusnya? Nah, jadi bikin penasaran kan? Pertama, angka 2 yang menegaskan bahwa di momen ngaji literasi edisi ini adalah kali kedua saya menjadi moderator setelah sebelumnya saya beserta Bang Almahry Reprepans bertukar posisi. Tentu saja, dua kali menjadi moderator dalam rangka membedah buku solo kawan-kawan anggota SPK Tulungagung, bagi saya, adalah satu kehormatan dan kesempatan yang luar biasa. Saya dapat belajar bagaimana cara berbicara di depan kamera dan public speaking. Selain itu, pada ngaji literasi edisi keempat ini menandaskan dua kali sudah saya menjadi moderator dalam membedah buku solo perdana sahabat Ekka Zahra Puspita Dewi setelah sebelumnya dipertemukan dalam acara bedah yang diusung oleh komunitas Lentera. ...