Bukan hanya bersama Qadira, namun dengan beberapa temannya dan seorang guru yang mendapuk diri sebagai wali kelas dua. Lagian tidak hanya itu, toh, saya juga membuat beberapa catatan review tentang buku yang dibaca.
Tidak percaya? Silakan baca postingan Anak Penjajak Komik di blog pribadi saya: www.dewaralhafiz.blogspot.com. Baca pula artikel Komik Next G Besutan Muffin yang telah saya unggah di blog keroyokan Kompasiana. Sedangkan lanjutannya, ya, ini yang sedang anda baca. Jadi tampaknya sudah tepat jika saya kekeh ingin menyebutnya dengan transaksi literasi.
Ada proses dan tahapan yang ditempuh. Mulai dari peminjaman buku, proses baca, review, pengembalian buku hingga sharing hasil bacaan yang dicerna. Tentu sharing sesuai dengan versi (baca: pemahaman, cara menuangkan ide dan mengemas) saya. Tak masalah jikalau ada orang yang menganggapnya remeh-temeh. Yang terpenting saya sudah melakukan apa yang saya suka.
Disadari ataupun tidak, memang dalam beberapa hal kita harus bersifat kekeh dan bertahan terhadap apa yang kita suka. Dengan catatan, hal itu tidak melanggar hukum, merugikan dan mengusik orang lain. Toh, dalam banyak kasus melakukan kesukaan adalah obat ampuh menyembuhkan diri dari berbagai luka. Kayak to ditolak cintanya sama si dia. Ehhh, malah curhat. Stop!
Kembali ke topik. Satu hari berselang, saya kembali menyambangi kelas dua. Sudah tahu kan siapa yang saya cari? Qadira. Ya, saya ingin meminjam kembali dua buku komik yang tersisa. "Tadz, tadz, ini komik yang kemarin belum dibaca", seloroh Qadira sembari menyodorkan dua komik kepada saya. Ia tahu betul maksud dan tujuan saya.
Sebagai pamungkas percakapan ia kembali mengingatkan saya, "Kalau sudah selesai segera dikembalikan ya tadz. Maksimal sebelum pulang sekolah ya". " Baik. Tenang. Gak akan lama kok", tegas saya. Saya kembali ke kantor dengan menenteng dua buku komik.
Dua buku komik terakhir yang saya baca, seingat saya, berjudul Belajar Mandiri dan Seharian Tanpa Ponsel. Dua judul yang menyiratkan bahwa muatan konten komik bersifat edukatif. Dua edukasi penting di zaman serba materiil dan praktis gegap gempita ini.
Buku Belajar Mandiri beberapa di antaranya berisi cerita anak yang berusaha mandiri saat ditinggalkan orangtua sendirian di rumah. Anak yang memiliki perkembangan kecerdasan emosional yang baik akan mengerti apa yang harus dikerjakan tanpa dilihat dan diperintah orangtua. Ia mulai memiliki kepekaan dan empati terhadap kebutuhan diri dan lingkungan sekitar.
Merapikan tempat tidur, menjaga kebersihan rumah, mengerjakan tugas sekolah sampai dengan bagaimana mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari telah disadari sebagai tanggung jawab. Anak sudah bisa membedakan antara tanggung jawab dan hak sesuai peran di lingkungan-keterlibatan sosial. Di mana pun ia berada dapat beradaptasi dengan cepat.
Dikotomi tanggung jawab dan hak selama di rumah, di sekolah dan di masyarakat sudah tergambar jelas dalam benak. Bahkan dalam satu topik tertentu diceritakan, saat anak merasakan lapar, ia berinisiatif untuk memasak nasi goreng.
Bermodalkan rasa nekat dan sok tahu yang kelewatanbatas, sembarangan rempah dan bahan-bahan disiapkan. Sembari mengingat-ingat komposisi menu nasi goreng buatan sang ibu ia mulai bereksperimen. Wajan dipanaskan. Minyak goreng dituangkan sedikit. Bawang merah digoreng sebentar lantas nasi dimasukkan. Nah, bagian memasukan bumbu-bumbu yang rancu. Ia tidak tahu persis takaran pas.
Taraaa... Hasilnya, ya sudah dapat ditebak. Rasanya gak karuan bahkan cenderung asin banget. Padahal dari segi tampilan sudah sangat menjanjikan. Menjanjikan kayak buatan ibu. Ada benarnya kata buku SiDu, "don't judge by cover". Untung, sang ibu datang tepat waktu. Sembari meminta maaf karena belanja tak bilang-bilang sang ibu tertawa kecil melihat kelakukan perempuan kecilnya. "Sini biar ibu masakan saja ya", tandas ibu.
Sementara buku Seharian Tanpa Ponsel mendedah bagaimana mendidik anak menjalani rutinitas tanpa ketergantungan hp. Ada banyak tawaran yang disodorkan penulis. Mulai dari membuat jadwal yang ketat penggunaan hp, tidak membelikan hp mandiri anak hingga Mengajak-mengarahkan anak untuk bermain mainan tradisional bersama teman di taman.
Kebetulan permainan yang dicontohkan di komik adalah kucing-kucingan. Saling mengejar teman sampai semuanya tertangkap. Permainan ini mengasah tiga aspek: kognitif, afektif dan psikomotorik pada diri sang anak sekaligus. Disadari ataupun tidak, saat anak bermain kucing-kucingan otot kaki dilatih, pikiran menyusun strategi dengan cepat dan saat tangan berhasil menangkap teman rasa bahagia pecah.
Entah mengapa penulis memilih permainan kucing-kucingan, padahal begitu banyak permainan tradisional tempo dulu. Engrang, congklak, petak umpet, gobak sodor, lompat tali, gundu, bentengan dan lain sebagainya. Nah, jadi tahu kan kalau saya sudah berumur. Upsss.
Topik ini sangat relevan dengan kondisi hiruk-pikuk generasi stroberi saat ini. Di mana anak-anak sangat bergantung pada gadget. Ruang kebebasan bereksperimen dan berekspresi mereka teralihkan dengan berselancar di media digital internet.
Internet memang menyuguhkan big data namun mendidik anak untuk tak mau ribet berpikir. Butuh apa pun pikirnya cukup copy paste tanpa mengcroscek kebenaran data informasi pada sumber langsung. Piranti interkonektivitas itu menjadikan anak lebih suka velocity daripada belajar ngaji. Media sosial itu meracuni anak untuk mengikuti yang sedang viral daripada petuah ibu.
Akhirnya, dengan berani harus ditegaskan bahwa kedua komik itu sejatinya sedang membangun kesadaran dari dalam diri anak dengan lemah lembut. Tapi di lain sisi juga sedang menampar pipi orangtua dan dewasa untuk lebih mawas diri dalam mendidik anak. Mengontrol bukan berarti menolak perkembangan teknologi yang kian pesat jauh lebih baik.
Mari kita sama-sama berdoa, memberi contoh dan mengupayakan perbaikan generasi penerus bangsa di lingkungan sekitar menjadi lebih baik. Cara perbaikan itu alangkah baiknya dimulai dari lingkungan terdekat, keluarga masing-masing. Bukahkah perubahan yang luar biasa selalu dimuali dari langkah kecil?
Komentar
Posting Komentar