Saya kira transaksi literasi saya dengan Qadira akan usai seiring tuntasnya koleksi komik yang dibaca namun ternyata tidak. Di luar prediksi, transaksi literasi itu terus berlangsung hingga kini. Kini dalam konteks ini berarti berlangsung hingga detik-detik akhir pelaksanaan Sumatif Akhir Semester genap.
Keberlangsungan ini, jika boleh menerka, hemat saya tak lain karena provokasi dan motivasi yang saya berikan. Tepatnya saat mengembalikan buku terakhir yang saya pinjam. "Besok, koleksi komiknya ditambah ya. Nanti ustadz pinjam lagi. Bilang sama ibu, mau beli komik lagi supaya bisa dipinjamkan ke teman-teman sekolah", seloroh saya setelah menyerahkan komik. Qadira menganggukan kepala pertanda memahami apa yang saya katakan.
Motivasi itu saya berikan bukan karena saya ketagihan membaca komik gratisan, sungguh bukan seperti itu, melainkan dalam rangka memantik geliat memiliki koleksi buku mandiri. Motifnya sederhana, dengan memiliki koleksi buku mandiri setidaknya mendorong sang pemilik aktif membaca sebelum buku dipinjamkan.
Perlu ditegaskan ulang, bahwa menanamkan kebiasaan membaca buku terhadap anak-anak itu memang harus dimulai dengan mengenal buku yang mereka suka. Anak sendiri lebih senang dengan visualisasi maka dekatkanlah mereka dengan komik, cerita pendek atau dongeng. Jika level membacanya sudah naik, kenalkan mereka dengan novel.
Tahapan ini berlaku juga bagi orang dewasa. Meski telah mengenyam pendidikan tinggi--maaf, sembilan tahun ditambah kursus bahkan kuliah--tidak ada jaminan tradisi membaca sudah mendarah daging dalam diri seseorang. Siapa pun tidak ada yang dapat menjamin. Tidak percaya? Mari kita dedah bersama.
Tidak dapat dipungkiri mayoritas kita mengenyam pendidikan sekadar untuk mendapatkan ijazah dan kepentingan pragmatis. Lupa penghayatan atas prosesnya. Entah telah berapa lama kita terus dibimbing dan diajarkan mengenal dekat dengan buku melalui membaca dan menulis namun pada akhirnya proses itu gagal. Mandek bahkan berakhir seiring lulusnya kita dari satuan pendidikan terakhir yang dienyam.
Bertahun-tahun lamanya kita duduk di bangku pendidikan namun pada kenyataannya hanya menjadikan membaca sebagai kebutuhan teknis. Itu pun terkadang terpaksa dilakukan setelah menelan pil pahit setiap hari yang diberikan guru di balik peran yang tampil garang. Di saat rasa malas mendekap diri kambuh rasanya ocehan dan hukuman dari guru adalah asupan terbaik.
Apakah setelah dihukum dan diceramahi berjilid-jilid itu kita sadar? Tidak. Yang terbenam dalam pikiran dan yang kita pahami hanya batas kewajaran dalam belajar. Belajar sebagai jalan terhindar dari hukuman. Menghindari hukuman dan mengejar nilai terbaik adalah fokus utama. Pusat dari segala usaha.
Coba saja anda hitung dan jangan ragu renungkan, seberapa besar minat dan ketertarikan kita terhadap membaca buku di kala duduk di bangku pendidikan jika nilai rapor tidak dijadikan tolok ukur. Seberapa dekat kita dengan buku jika guru tidak membimbing dan memberikan tugas membaca dan menulis. Jika demikian, sudahkah kita membaca buku atas dasar keinginan dan kesadaran diri karena butuh? Belum, saya kira jawaban yang tepat.
Jika pun ada seseorang yang sudah merasa memiliki kesadaran dan kebiasaan membaca yang baik, saya kira, hal itu terjadi karena ada dua faktor eksternal. Lingkungan sekitar yang mengkonstruksi dan tampilnya sosok yang menjadi role model. Bukan murni hadir dari dunia pendidikan semata dan kesadaran mandiri.
Adakah seseorang yang terlahir langsung menjadi penulis setelah lulus sekolah? Adakah seseorang yang menyadari bahwa membaca dan menulis itu adalah skill mendasar untuk terus berkembang? Modal penting untuk terus bertahan hidup. Saya kira hanya segilintir saja yang "ngeh". Itu pun hanya dalam batas pemahaman dan konsepsi. Belum sampai pada titik integerasi kesadaran dan aksi. Terlebih belum sampai pada tahap getok tular.
Nah, untuk memanggil kembali potensi yang sempat terasah dan tidak disadari itu kita mulai dengan mencari buku yang kita suka. Untuk membangun kebiasaan membaca di kalangan orang dewasa umumnya mereka akan dikenalkan dengan cerpen dan novel. Dua buku yang cocok dengan mereka yang sudah memiliki tool, pengalaman hidup dan perkembangan imajinasi level tinggi.
Beberapa testimoni menyebutkan dua buku tersebut dipandang ringan, mudah dipahami dan acapkali berhasil membangun kesadaran lebih cepat bahwa membaca itu asyik. Berbeda halnya jika di awal mereka diarahkan untuk membaca buku filsafat atau jurnal penelitian, mungkin kesan pertama yang terbersit dalam benak adalah pusing, jenuh dan enggan melanjutkan. Tentu langkah awal ini sangat menentukan.
Setelah membaca menjadi kegemaran barulah ia dikenalkan dengan genre lain sesuai minat. Pelan tapi pasti buku-buku yang kita baca akan membuka kran ide, membantu kita menemukan gagasan mandiri dan menuangkannya dengan gaya menulis yang khas. Demikian itu terjadi dalam kurun yang tidak sedikit. Ada proses yang harus ditebus. Tentunya tidak instan.
Tidak hanya itu, sebenarnya memiliki koleksi buku mandiri juga memberikan keuntungan lain. Membaca di waktu yang kita suka adalah keuntungan sang pemilik. Lain halnya saat kita asyik membaca buku di perpustakaan ada batasan waktu yang harus ditaati. Begitu pun ketika kita meminjam buku teman, kebebasan membaca kita dibatasi tenggat waktu pengembalian.
Memiliki koleksi buku mandiri itu analoginya seperti liburan ke pantai yang dapat kita lakukan kapan pun saat mau. Tanpa dibatasi budget. Tanpa dibatasi waktu. Lah, kok bisa begitu? Iyalah, toh, kita sendiri pemilik pulaunya. Tapi, maaf lho ya ini bukan empat pulau yang sempat membuat geger. Bukan pula pulau yang Habis keruk atau malah diperjualbelikan oknum.
Pendek kata, memiliki koleksi buku mandiri itu kita bisa leluasa memiliki waktu membaca kapan pun tanpa takut diburu-buru. Yang ditakutkan saat membaca buku palingan hanya mati lampu. Atau bahkan terjeda karena harus melakukan sesuatu hal yang diperintahkan ibu. Begitu juga dengan ayah yang terkadang memberikan titah maniak membelikan rokok Djisamsoe.
Komentar
Posting Komentar