Langsung ke konten utama

Menikmati Habituasi Keluarga K3S

Dokpri Rapat Mingguan K3S di UPASP Kedungwaru 

Perlu ditegaskan di muka bahwa tulisan ini adalah seri lanjutan dari ulasan terkait K3S sebelumnya. Tidak usah tanya dan mencari apa itu arti akronim K3S dalam ulasan ini, sebab anda tidak akan menemukannya. Namun jika anda kekeh dan bersikukuh karena dipeluk rasa penasaran yang kronis, cari saja akronim itu pada ulasan sebelumnya. Lihat pada postingan blog saya yang terakhir, pasti ketemu. Dijamin penasaran anda luruh. 

Ada banyak hal yang saya amati dan pelajari semenjak bergabung menjadi keluarga K3S Kecamatan Kedungwaru. Mulai dari habituasi, habitat, fenomena hingga lanskap "untung rugi" yang dapat dikalkulasi. Semuanya itu tentu saya potret: pahami, analisis dan kritisi dalam kurun waktu singkat: dua tahun pas. Dua tahun pas, ya, tidak kurang dan lebih. Tidak bisa ditawar lagi laiknya harga empon-empon dan sayur-mayur yang dijajakan di pasar tradisional. 

Soal habituasi di keluarga K3S dapat dipetakan dari kegiatan yang berlaku di lingkungan keluarga K3S secara berkala. Baik dalam skala mingguan, bulanan atau pun momentual. Dalam skala mingguan, Jumat menjadi hari sakral, karena hari itu keluarga besar berkumpul. Kebiasaan yang berlaku, pertemuan itu selalu dimulai dengan giat olahraga pagi. Baik senam sehat atau pun jalan santai menyusuri daerah terdekat di lingkungan UPASP. 

Seperti halnya yang berlaku dalam instansi resmi lainnya, orang-orang yang berbeda tak luput dari penyeragaman. Lebih tepatnya, orang-orang yang berbeda itu dituntut (dihimbauan paksa) untuk adaptatif dengan penyeragamaan yang ditekankan. Sanksi sosial yang berbicara. Hal itu dibuktikan dengan penggunaan pakaian olahraga yang  diseragamkan. Itu pun setiap minggu berganti. 

Ah, apalah daya, kepala sekolah amatiran seperti saya kadang sedikit kikuk dengan penyeragaman itu. Yang demikian terjadi mungkin karena saya jebolan Ushuluddin yang dituntut untuk selalu tampil out of the box. Alhasil, menjadi seorang pembelot dalam hal pakaian, saya adalah jagonya. Hal itu belum sempurna, karena belum ditambah dengan kebiasaan molor tingkat kronis dan kealfaan yang menggila. 

Pembelotan dalam hal pakaian itu kiranya dapat dimaklumi karena memang saya member newbie. Banyak hal yang serba terbatas dan tidak tahu. Soal molor saya juga belajar adaptatif dengan kebiasaan yang berlaku. Mulanya saya sangat antusias, datang sregep dan on time. Akan tetapi setelah saya amati  saksama budaya molor telah mengakar rumput dalam benak para penghuni lama. 

Ada pun soal kealfaan, jauh-jauh hari secara personal saya dihimbau oleh yayasan untuk tidak over aktif datang jika dirasa kegiatan itu tidak terlalu penting. Sebagai bawahan yang baik, bukankah saya harus sami'na wa atho' na kepada atasan? Selama itu masih dalam batasan yang wajar. Ada pun jika soal tanggung jawab dan hak khalayak umat tentu saya wajib membangkang. Membangkang dengan cara yang sangat sopan. Entah seperti apa itu bentuknya. Anda bayangkan saja sendiri saya tidak ingin sama sekali. 

Kendati begitu saya juga merasa beruntung saat satu waktu tertentu dihimbau untuk memakai seragam olahraga yang kebetulan saya punya. Memang semenjak bergabung menjadi bagian dari keluarga K3S saya hanya dapat jatah 1 seragam olahraga saja. Di awal tahun pelajaran 2024/2025 ini jatah seragam olahraga yang kedua baru saya terima. 

Kedua bagi saya, ke sekian bagi penghuni lama. Rule yang berlaku memang seperti itu. Setiap tahun ada jatah seragam olahraga baru yang dibarol cuma-cuma untuk kepala sekolah. Saya tidak begitu mafhum terkait dari mana soal seluk-beluk pendanaan kaos seragam olahraga itu. Ada kemungkinan diambil dari sisa hasil usaha koperasi dan kemitraan yang dikelola oleh K3S. 

Biarkan saja hal itu menjadi rahasia umum di antara pengurus harian K3S. Lagian, sedikit pun tidak pernah ada muntahan rahasia itu sampai ke muka secara transpran. Sementara saya lebih suka bersikap masa bodoh dengan menikmati hasilnya dengan cuma-cuma. Sekarang dan seterusnya, saya hanya bisa berdoa, "Semoga halal dan penuh berkah!" 

30 menitan giat olahraga itu dihelat. Terkadang, waktu itu tidak benar-benar memicu munculnya keringat. Terlebih-lebih bagi mereka yang memilih datang untuk telat. Baju olahraganya masih kinyis-kinyis, berhias garis strika, berbau parfum satu botol. Memang, selalu begitu adanya, penyeragaman dan penundukkan itu tidak selalu berjalan mulus. Jangan pernah tanya siapa saja yang tergolong di dalamnya. Pelan-pelan saja ya, sebutkan saja itu saya. 

Setelah itu baru rapat inti dimulai. Ketua K3S tidak pernah bosan mendapuk posisi sebagai moderator jalannya acara. Entah rapat rutinan K3S atau dinas beliau selalu menjadi garda terdepan dalam urusan pembuka. Memberi sambutan sekaligus mengatrol alur pembicaraan rapat. 

Hebatnya lagi, kaum adam keluarga K3S selalu kompak dalam urusan menghormati perempuan. Perempuan selalu dijunjung tinggi dengan cara dipersilakan duduk di kursi bagian depan. Ah, msa iya posisi duduk turut mencerminkan penghormatan? Jawabannya tentu antara iya dan tidak. Relatif saja kalau menurut saya. 

Bisa jadi iya kalau kita bercermin dalam acara formal institusi pemerintahan, sermonial tertentu atau lainnya. Coba lihat tatkala perhelatan HUT Kemerdekan RI di mana gerangan para penjabat perempuan duduk. Di mana pula para perempuan hebat singgah manakala pelantikkan guru besar dan masih banyak contoh lainnya. 

Di seberang yang berbeda, bisa juga tidak. Tidak dalam artian bukan bermakna penghormatan, melainkan bentuk inlander (tidak percaya diri, menarik diri dan merasa tidak pantas) yang bersemayam dalam benak kaum adam. Mental-mental tempe kalau meminjam istilah kaum milenial. Disuruh duduk di kursi paling depan saja tidak berani gimana mau maju dalam urusan yang lain. Ini bukan berbicara di level anak-anak lho tapi selevel tetua sekolah: pemimpin lembaga di tingkat kecamatan. 

Terkadang, saya yang kerap datang terlambat dan tidak tahu aturan ini ingin menertawakan diri sendiri secara lepas. Tertawa terbahak-bahak sambil meneteskan air mata karena harus menikmati sirkel gratis namun terjebak dalam pola toxic yang akut. 

Ah, sudahlah. Jangan terlampau asyik membuka aib sendiri!

Tulungagung, 9 Agustus 2024

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam a...

Anak Penjajak Komik

Dokpri: Qadira dengan koleksi komiknya Belakangan saya dibuat takjub melihat pemandangan tak biasa di kelas 2 SDIT Baitul Quran. Takjub bukan karena huru-hara sedang meluluhlantakkan kursi dan meja. Bukan, bukan karena mereka sedang melakukan kegaduhan, bullying dan kenakalan meronta-ronta yang tampak di depan mata melainkan fenomena yang menyegarkan hati.  Bukan hanya maknyes di hati saya kira namun fenomena yang membuat hati merasa bangga: terketuk, kagum dan penasaran sekaligus menampar pipi--bagi siapa pun yang melihat. Lha, memang apa? Baca komik. Cuma baca komik? Tentu tidak. Tidak sedangkal itu kejadiannya.  Almira dan Qadira adalah dua siswi yang membuat saya takjub itu. Mereka berbeda dari siswa-siswi lain. Jika umumnya anak menjadikan semua tempat untuk bermain, bermain di semua tempat sesuka hati, bahkan anak hanya mau membaca saat kegiatan belajar mengajar belangsung maka berbeda dengan dua siswi tersebut. Almira dan Qadira lebih suka memanfaatkan waktu luang berte...

Serba yang Kedua

(Dokpri: flyer ngaji literasi edisi 4) Hemat saya angka 2 menjadi angka istimewa dalam ngaji literasi edisi keempat yang akan datang ini. Tepatnya, 3 kali angka 2 yang istimewa. Kenapa harus angka 2? Bukankah masih banyak angka lain: 1, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan seterusnya? Nah, jadi bikin penasaran kan? Pertama, angka 2 yang menegaskan bahwa di momen ngaji literasi edisi ini adalah kali kedua saya menjadi moderator setelah sebelumnya saya beserta Bang Almahry Reprepans bertukar posisi. Tentu saja, dua kali menjadi moderator dalam rangka membedah buku solo kawan-kawan anggota SPK Tulungagung, bagi saya, adalah satu kehormatan dan kesempatan yang luar biasa. Saya dapat belajar bagaimana cara berbicara di depan kamera dan public speaking. Selain itu, pada ngaji literasi edisi keempat ini menandaskan dua kali sudah saya menjadi moderator dalam membedah buku solo perdana sahabat Ekka Zahra Puspita Dewi setelah sebelumnya dipertemukan dalam acara bedah yang diusung oleh komunitas Lentera. ...