Dokpri rapat koordinasi K3S di UPASP Kedungwaru
Hal menarik untuk diulas terkait keluarga besar K3S selanjutnya adalah perihal habitat. Agaknya sedikit aneh didengar tatkala kata habitat disandingkan kepada manusia. Yang demikian terjadi karena memang selama ini kata itu lebih masif dilekatkan dan dekat dengan ruang lingkup pembahasan biologi dan geologi. Habitat rusa, macan tutul, puma dan lain-lain misalnya tampak lebih konkret dan terdengar logis.
Padahal jika kita mau sedikit usaha membuka KBBI, di sana tercantum jelas bahwa habitat merupakan kata benda yang bermakna tempat tinggal khas bagi seseorang atau kelompok masyarakat. Itu berarti manusia termasuk objek di dalamnya. Jadi aneh atau tidak; diterima atau tidak, sah-sah saja jika kata habitat itu dilekatkan kepada manusia. Termasuk dalam konteks ini saya lekatkan kepada keluarga besar K3S.
Selaiknya akronim itu sendiri, K3S merupakan tempat bernaung sementara-selama mendapuk jabatan fungsional kepala sekolah-sekelompok pimpinan sekolah tingkat dasar. Kepala sekolah sendiri tidak memandang jenis kelamin atau pun gender. Kepala sekolah adalah profesi netral yang digapai melalui capai prestasi tertentu.
Sedangkal pengetahuan saya, ada dua cara untuk menjadi kepala sekolah: versi lembaga negeri dan swasta. Keduanya tentu berbeda. Merujuk pada kebijakan Kemendikbud terbaru kepala sekolah negeri umumnya harus memiliki 6 kualifikasi:
1. Memiliki kualifikasi akademik paling rendah S1 atau D4
2. Memiliki sertifikat pendidik
3. Memiliki sertifikat pelatihan CKS atau Guru Penggerak
4. Memiliki pangkat paling rendah penata muda tingkat I dan golongan ruang III/b bagi Guru yang berstatus PNS
5. Memiliki jenjang jabatan paling rendah Guru ahli peetama
6. Berusia kurang dari 56 tahun
pegawai negeri sipil (PNS) atau sekarang berganti dengan istilah aparatur negeri sipil (ASN).
Kualifikasi itu jumlahnya tampak sedikit akan tetapi prosesnya sangat panjang. Perlu ketelatenan, tekad dan kesadaran. Tanpa itu semua, kiranya akan sedikit orang yang menempuh proses untuk mencapai jabatan fungsional kepala sekolah. Mengapa demikian? Sebab mereka akan dibuat sibuk mengurus kelengkapan administrasi dan pelatihan pra jabatan. Itu belum ditambah dengan beban tugas mengajar yang harus mencapai minimum.
Lain halnya dengan prasyarat kepala sekolah swasta. Kebijakan yang dibakukan tidak sekaku dan seribet kepala sekolah negeri. Jika lembaga pendidikan itu di bawah naungan yayasan, maka kebijakan yang dibuat yayasan itulah yang paling shahih dan valid. Saking kuatnya, kebijakan itu dianalogikan sebagai kebenaran tunggal yang tak dapat terbantahkan mutlak. Anda terbilang beruntung, jika pihak yayasan itu bersikap resiprokal.
Lantas, apa parameter (kualifikasi) yang digunakan sekolah swasta untuk menentukan kepala sekolah? Tiga poin di antaranya yang menjadi bahan pertimbangan utama untuk mengangkat kepala sekolah yakni jenjang karir pendidikan terakhir, capaian prestasi dan rekam jejak pengalaman yang dimiliki. Terkadang, bagi lembaga yang sedikit saklek (sedikit ekstrem), dengan tegas mewajibkan pemimpin itu harus laki-laki. Sadar atau pun tidak, kebijakan tersebut lambat laun turut menutup peluang kiprah kepemimpinan perempuan di ruang publik lainnya.
Apakah demikian? Bisa jadi, karena pada akhirnya kebijakan itu akan mengkonstruksi paradigma perempuan secara personal, masif dan struktural. Sebagai dampaknya, rasa minder (insecure), tidak layak; pantas dan menyia-nyiakan kesempatan akan bercongkol kuat dalam diri masing-masing. Padahal dalam hadist disebutkan: Setiap orang itu pemimpin. Minimal pemimpin untuk dirinya sendiri. Bukankah kasus itu bisa disebut bias gender? Padahal setiap sumber daya lembaga itu selalu dituntut untuk berprestasi, berkompetensi dan daya saing tinggi. Bukankah itu sesuatu hal yang muspro?
Bukan hanya tiga poin penting di atas, karena sistemnya yang bersifat fleksibelitas bisa jadi pula kebijakan dan kualifikasi pengangkatan kepala sekolah di lembaga swasta lebih ketat. Misalnya harus memiliki syahadah hafudz, sudah sertifikasi, memiliki sertifikat guru penggerak, mininal mengabdi di lembaga berapa tahun dan lain sebagainya. Tentu semuanya itu bersifat rupa-rupa dan suka-suka pemangku kebajikan.
Kembali ke fokus utama. Secara porposional habitat keluarga K3S lebih dominan diisi oleh kaum perempuan, utamanya sekolah-sekolah negeri. Sedangkan kaum laki-laki bisa dihitung jari. Ada persepsi logis yang bergulir, kejomplangan porsi itu banyak dipengaruhi sikap ketelatenan dan multi tasking yang dimiliki oleh perempuan. Perempuan lebih tangguh dalam urusan survive di belantara dunia kerja dan mengejar karir. Beda dengan laki-laki yang terkadang tidak bisa fokus tatkala mengurus banyak hal dalam satu waktu.
Meski jumlah anggota laki-laki keluarga K3S dapat dihitung jari, akan tetapi faktanya, kesempatan survive di belantara kepemimpinan kerja itu didominasi oleh kaum laki-laki. Bahkan ketua, wakil ketua dan beberapa divisi K3S itu didapuk oleh kaum lelaki. Hanya urusan yang berkaitan dengan kejelian dan domestik: Administrasi, keuangan dan konsumsi saja yang dipegang oleh perempuan.
Kendati begitu, di lain sisi, pada dasarnya habitat keluarga besar K3S itu memiliki dampak positif. Tempat yang sangat enjoy untuk mengatasi keluh kesah, masalah dan solusi dalam menghadapi tantangan dunia pendidikan. Di keluarga ini kita bisa sharing program kerja dan unggulan di masing-masing lembaga. Konsep yang diusung ya mengubah persaingan menjadi mitra kelembagaan. Berpartner untuk saling berdaya dan kemajuan bersama.[]
Tulungagung, 10 Agustus 2024
Komentar
Posting Komentar