Rencana berhasil menemui takdirnya, Jumat pekan terakhir Juni (23/6/2023) saya bertolak ke Yogyakarta dengan menaiki kereta Kertanegara. 4 jam lebih saya melakukan perjalanan darat Tulungagung-Yogyakarta. Sebab safar itu saya alfa menunaikan salat jumat. Semoga Allah Swt mengampuni saya. Kendati begitu, saya tetap menjalankan salat dzhuhur ketika sampai di tempat tujuan.
Jujur, ini adalah kali pertama saya melakukan perjalanan Tulungagung-Yogyakarta dengan moda kereta api. Kali pertama pula kaki saya menginjakkan kaki di stasiun Lempuyangan. Alhasil, tatkala saya keluar dari stasiun sempat kebingungan harus pesan grab car di titik mana. Persis anak ayam yang kelimpungan karena kehilangan induknya, dengan harap-harap cemas saya berusaha memesan grab car sesuai arahan di grup WhatsApp RVL.
Meski telah berpengalaman penuh berkereta Tulungagung-Ciamis, namun tetap saja rasa khawatir dan takut tersesat berkecamuk kuat dalam benak, terlebih tatkala berkunjung ke tempat yang baru. Semacam perasaan purba tipikal orang introvert seperti saya. Entahlah, apakah perasaan purba ini berlaku juga untuk orang introvert secara umum atau pun tidak. Yang jelas-jelas dapat menjadi biang, fakta bahwa saya adalah anak rumahan yang sangat jarang melakukan traveling, healing atau pun survival seorang diri. Pembiasaan inilah yang kemudian menjadikan saya kikuk berpergian ke luar kota.
Yogyakarta sesungguhnya bukanlah kota yang asing bagi saya. Sebab sudah 4 kali saya berkunjung ke sana. Itu pun ditempuh dengan moda transportasi darat, bus pariwisata. 2 kali berwisata dan 2 kali mekukan kunjungan studi. Jadi yang berbeda dan asing hanya soal tempat kunjungan dan tujuan saja.
Setengah jam saya menunggu grab car pesanan datang. Ekspektasi awal, mobil itu akan menghampiri saya. Yang terjadi justru sebaliknya, saya harus menghampiri mobil avanza pesanan karena titik penjemputan di luar jangkauan. Maklum saja, kala itu jalan raya dipadati kendaraan roda empat. Alhasil, sang sopir harus pintar-pintar memilih jalan. Memilih bahu jalan yang pas untuk melakukan penjemputan penumpang.
Satu jam-an penuh saya asyik memintal obrolan dengan pak sopir. Obrolan itu mengalir tanpa beban. Sepanjang jalan diwarnai banyak cerita terkait narasi kehidupan. Menceritakan tujuan kunjungan, pengalaman hidup dan latar belakang pendidikan serta lain sebagainya yang semaksimal mungkin menghidupkan suasana dan mengisi waktu luang.
Kemanfaatan waktu itu memang bersifat subjektif. Waktu yang sama diberikan kepada orang yang berbeda tentu akan menyemai hasil yang berbeda. Tergantung aktivitas apa yang dilakukan oleh sang subjek. Waktu yang lama akan terasa singkat jika diisi dengan kegiatan yang bermanfaat dan asyik-masyhuk. Sebaliknya, waktu yang singkat terasa berkali-kali lipat lamanya manakala dijalani tanpa kegiatan yang menyibukkan.
Sesaat kemudian mobil yang saya tumpangi sampai di gedung asrama A PPPPTK Seni dan Budaya. Salah seorang panitia menyambut dan menyalami saya. Lantas ia mengarahkan saya untuk check in kamar terlebih dahulu. Nama terang dan nomor kontak saya dicatat di lembar kehadiran sebagai syarat pengambilan kunci kamar. Panitia menegaskan bahwa satu kamar diisi dua orang. Jadi jangan heran jika kemudian ada orang asing yang mengentuk pintu secara mendadak.
Kebetulan saya satu kamar dengan Pakdhe Sus (sapaan akarab untuk Pak Susanto, S. Pd.). Seorang guru sekolah dasar dan penggiat literasi asal Musi Rawas, Sumatera Selatan. Ia bercerita kalau sebenarnya berasal dari Gerobogan Jawa Tengah, namun karena nikah dengan perempuan Musi Rawas akhirnya memutuskan untuk tinggal di sana. Bahkan ia memiliki anak yang tinggal di daerah Depok. Sebelum bertolak ke Yogyakarta, menurut penuturannya ia sempat mampir menengok sang cucu ke Depok.
Kedatangan Pakdhe Sus ke kamar asrama cukup malam, sekitar pukul 20.00 WIB. Sore menuju malam terasa begitu lama, ditambah cacing-cacing di perut sudah demonstrasi meminta jatahnya dipenuhi. Rasa lapar benar-benar liar dan tak dapat dikendalikan. Bekal air habis ditenggak saat perjalanan. Tidak ada sedikit pun makanan yang dapat membungkam rasa lapar yang kian menggila. Karena kegilaan itu pula pada akhirnya saya memesan seporsi nasi goreng dan sebotol air mineral jumbo via grab food. Harganya memang sedikit agak ugal-ugalan, namun tidak apa-apa asalkan dahaga dan keroncong perut terbayar tuntas.
Harus diakui secara jujur dan sadar, tidak adanya kantin di lingkungan asrama membuat peserta kere—karena tidak ada persipan untuk survive semalam--seperti saya sedikit agak tersiksa dalam urusan konsumsi. Pikir saya, di lingkungan asrama itu ada kantin yang terjaga non stop 24 jam, namun faktanya nihil. Warung makan, tukang bakso atau ruko adanya terletak jauh di luar lingkungan asrama. Itu pun saya baru tahu belakangan setelah berkeliling ke setiap ceruk BPPMPV Seni dan Budaya esok harinya setelah melakukan senam pagi bersama.
Tulungagung, 26 Agustus 2024
Komentar
Posting Komentar