Langsung ke konten utama

The Secret of Creation

Dokpri Ilustrasi Pembuatan Surat Pernyataan 

Sebelum jauh melahap pembahasan, tampaknya harus ditegaskan di muka bahwa tulisan ini melanjutkan postingan sebelumnya yang berjudul Motivasi Komunal. Untuk mendapatkan alur pembahasan yang runtut, saran saya, silakan baca postingan sebelumnya. 

*****

Membuat surat pernyataan adalah tahapan yang kedua. Setelah seluruh anggota baru mengenal sosok founder komunitas yang diproyeksikan sebagai role model, tahapan yang wajib dilakukan berikutnya adalah membuat surat pernyataan. Mengapa harus surat pernyataan? Bukan surat kerjasama, kontrak, keterangan atau lain sebagainya. Sebab surat pernyataan tersebut dibuat dalam rangka memancangkan tekad dan memotivasi diri. Untuk yang kesekian kalinya, kita bersentuhan lagi dengan kekuatan kata yang menjadi marwah dalam mengontrol aksi secara disiplin.

Disiplin yang terkondisikan lebih tepatnya. Meski pada kenyataannya dengan tegas harus digarisbawahi, bahwa pola pengondisian menulis surat pernyataan tersebut bersifat instruktif dan determinatif.  Pembuatan surat pernyataan itu dikelola secara massif. Bahkan template surat pernyataan itu telah ditentukan sedemikian rupa oleh pihak pengelola. Susunan kalimat, alur dan format tata letak harus dibuat persis. Tak ada celah untuk tampil atraktif atau pun berkreasi sesuai dengan imajinasi personal.

Secara simpifikasi, isi dari surat pernyataan tersebut menandaskan bahwa penulis siap menerbitkan buku solo best seller minimal 1 buah atau pun lebih dengan tenggat waktu yang telah ditentukan. Tidak hanya itu, bahkan di dalamnya penulis juga menegaskan siap untuk tidak melakukan plagiarisme dalam bentuk apa pun. Terakhir, surat pernyataan itu dibubuhi titimangsa, foto dan tanda tangan di atas materai Rp. 10.000. Surat pernyataan formal yang begitu sakral.

Yusuf Daud (penulis; praktisi dan akademisi tasawuf; founder ShopiaCitra Institute Philosufi Center for Interfaith and Intercultural Dialogue Surabaya) menyebut sakralitas surat pernyataan tersebut sebagai the law of attraction yang berpadan makna dengan the secret of creation. Ya, hukum produktivitas atau rahasia penciptaan. Di balik kreativitas yang tampak ke permukaan senantiasa tersimpan resep rahasia yang terjaga. Seperti halnya masakan popular karena cita rasanya yang khas.

Resep rahasia yang terjaga dalam konteks  pernyataan yang termaktub di dalam surat bermakna perjanjian, sumpah atau pun kekutan kata. Alhasil, posisi dan keberadaannya dapat dipahami sebagai sumber energi positif yang mengondisikan aktualisasi diri. Aktualisasi diri dalam bentuk karya tulis yang konsistensi tentunya. Ada hegemoni persepsi yang mendarah daging, bahwa ketidakaktifan berkarya dipahami sebagai bentuk pengingkaran; penghianatan; kemunafikan; pemurtadan atas sumpah yang diikrarkan.

Konsepsi yang berorientasi menumbuhkan kesadaran dari alam bawah sadar ini tentu menjadi lampu merah; rambu-rambu yang menuntut untuk menunaikan janji yang telah dituangkan. Terlebih-lebih tampaknya sangat mustahil akan ada pribadi yang dengan senang hati dan lapang dada mengingkari janji yang telah dibuat sebelumnya. Jika pun ada maka ia adalah seseorang yang merugi, telah kehilangan kepercayaan dan menghilangkan kesempatan untuk transformasi diri besar-besaran. Saya kira, tidak ada satu orang pun yang suka disebut penghianat atas dirinya sendiri.

Dengan demikian maka satu-satunya jalan untuk berkembang; menuju perubahan adalah menempati janji. Menepati janji dalam bentuk terus bergerak dan berproses. Menggerakkan pena untuk terus menulis setiap hari. Bersebrangan dengan jalan terang-benderang itu, maka pelakunya akan dirundung kemalangan, penyesalan dan merasa bersalah karena tidak mampu menepati janji yang telah ditetapkan.

Jika meminjam istilah master Emcho dalam Writing Is Selling (2018), ditinjau dari esensinya, tentu upaya pembuatan surat pernyataan ini termasuk sebagai salah satu bentuk ungkapan pengubah yang tertulis. Perbedaan mendasar itu hanya terletak pada soal bentuk, kualitas dan kuantitas kalimat yang dituangkan saja.

Tulungagung, 30 September 2023

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam a...

Anak Penjajak Komik

Dokpri: Qadira dengan koleksi komiknya Belakangan saya dibuat takjub melihat pemandangan tak biasa di kelas 2 SDIT Baitul Quran. Takjub bukan karena huru-hara sedang meluluhlantakkan kursi dan meja. Bukan, bukan karena mereka sedang melakukan kegaduhan, bullying dan kenakalan meronta-ronta yang tampak di depan mata melainkan fenomena yang menyegarkan hati.  Bukan hanya maknyes di hati saya kira namun fenomena yang membuat hati merasa bangga: terketuk, kagum dan penasaran sekaligus menampar pipi--bagi siapa pun yang melihat. Lha, memang apa? Baca komik. Cuma baca komik? Tentu tidak. Tidak sedangkal itu kejadiannya.  Almira dan Qadira adalah dua siswi yang membuat saya takjub itu. Mereka berbeda dari siswa-siswi lain. Jika umumnya anak menjadikan semua tempat untuk bermain, bermain di semua tempat sesuka hati, bahkan anak hanya mau membaca saat kegiatan belajar mengajar belangsung maka berbeda dengan dua siswi tersebut. Almira dan Qadira lebih suka memanfaatkan waktu luang berte...

Serba yang Kedua

(Dokpri: flyer ngaji literasi edisi 4) Hemat saya angka 2 menjadi angka istimewa dalam ngaji literasi edisi keempat yang akan datang ini. Tepatnya, 3 kali angka 2 yang istimewa. Kenapa harus angka 2? Bukankah masih banyak angka lain: 1, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan seterusnya? Nah, jadi bikin penasaran kan? Pertama, angka 2 yang menegaskan bahwa di momen ngaji literasi edisi ini adalah kali kedua saya menjadi moderator setelah sebelumnya saya beserta Bang Almahry Reprepans bertukar posisi. Tentu saja, dua kali menjadi moderator dalam rangka membedah buku solo kawan-kawan anggota SPK Tulungagung, bagi saya, adalah satu kehormatan dan kesempatan yang luar biasa. Saya dapat belajar bagaimana cara berbicara di depan kamera dan public speaking. Selain itu, pada ngaji literasi edisi keempat ini menandaskan dua kali sudah saya menjadi moderator dalam membedah buku solo perdana sahabat Ekka Zahra Puspita Dewi setelah sebelumnya dipertemukan dalam acara bedah yang diusung oleh komunitas Lentera. ...