Langsung ke konten utama

Motivasi Komunal

 

Gambar Unduhan Akun Facebook Bintang Pustaka

Dalam tulisan sebelumnya yang berjudul Motivasi Menulis saya menyebutkan bahwa pola aktivasi motivasi menulis dimulai dari menata mindset. Menta mindset: membulatkan niat-tekad, membuat kalimat penggugah diri, dan kekuatan kata menjadi racun yang akan menjangkiti cara berpikir untuk berkarya secara konsistensi. Pola aktivasi personal yang terkondisikan sedemikian rupa. 

Pola pengondisian tersebut saya kira lumrah terjadi di kalangan khalayak ramai. Sehingga dapat dipandang sebagai sistem kerja yang biasa-biasa saja. Sistem kerja yang dapat diproyeksikan oleh setiap orang yang mau melakukannya. Mengapa demikian? Sebab cara kerjanya persis seperti mesin ATM. ATM yang dimaksud dalam konteks ini tentu bukan akronim dari anjungan tunai mandiri. Istilah yang melekat pada sirkulasi pengelolaan keuangan di bank, melainkan amati, tiru dan modifikasi. 

Berlambar pada kenyataan itu, di lain sisi, maka sangat dimungkinkan motivasi menulis muncul dari kran, kanal dan media massa. Lebih tepatnya melalui otoritas event organizer kelas-kelas menulis gratisan atau pun berbayar. Berkaitan dengan hal itu maka pertanyaan selanjutnya adalah mungkinkah pola aktivasi motivasi menulis itu dikelola secara profesional atau pun komunal? Jawaban yang tepat, saya kira, tentu saja bisa. Sangat mungkin terjadi, bahkan dapat menjadi media yang jauh lebih efektif, jika ditinjau dari ruang lingkup pengaruh dalam skala besar. 

Sedangkal observasi partisipatif--terhadap Kelas Menulis Online (KMO) dan komunitas lainnya di 2021--yang saya lakukan, pengondisian motivasi menulis secara komunal melalui media sosial justru memiliki antusiasme massa dan pangsa pasar yang sangat besar. Kegiatan tersebut bahkan dapat dihelat berjilid-jilid. Dari batch satu sampai dengan tak terhingga. Terlebih-lebih, label gratisan menjadi amunisi terbaik yang dilelang di setiap pembukaan kelas. Lantas bagaimana pola yang berlaku dalam aktivasi motivasi menulis secara komunal tersebut?

Pola pengondisian motivasi menulis secara komunal itu dilakukan melalui beberapa tahap. Tahapan tersebut yakni menampilkan role model, membuat surat pernyataan, penyisipan materi dasar, pembentukan kelompok dan pendisiplinan. Tahapan tersebut satu sama lain saling berkorelasi erat, sehingga jika tidak diikuti secara runtut (terlewatkan satu tahapan saja) maka akan berdampak pada tahapan selanjutnya. Bahkan jika kealfaan seorang anggota melampaui batas toleransi yang ditentukan maka dapat dikenakan diskualifikasi. Dikeluarkan dari grup. 

Pertama, menampilkan role model. Role model yang diproyeksikan sebagai teladan umumnya adalah founder dari komunitas literasi itu sendiri. Meski pada kenyataannya yang bersangkutan itu hanya memiliki produktivitas karya tulis yang dapat dihitung jari. Jikalau tidak demikian, maka komunitas tersebut akan menampilkan role model lain yang masih memiliki relasi kental jika ditinjau dari persahabatan. Rekam jejak intelektual dan karya solo yang berlabel best seller tentu menjadi bahan pertimbangan akuratnya.

Ada persepsi akut yang berkeliaran di setiap batch: ditanam dan mengakar rumput di setiap kelas, bahwa apa yang menjadi gagasan dan support system yang telah ditetapkan oleh founder adalah aturan yang harus ditaati secara saksama. Sami'na wa atho'na kepada founder adalah kewajiban setiap anggota komunitas yang tergabung di dalamnya. Sosok founder ibarat oase di padang pasir. Kehadirannya adalah sosok yang dielu-elukan. Bak sebongkah lentera dalam kegelapan. 

Sugesti komunal itu lambat laun mengondisikan dan mendikte semua anggota komunitas untuk mengikuti role playing. Role playing atas setiap aktivitas dan rentetan tugas yang harus dikerjakan dalam tenggat waktu yang terbatas. Penekanan atas role playing dalam benak personal ini hanya salah satu indikator yang tampak selain fanatisme buta, branding personal dan membangun citra positif melalui objektivitas sistem secara struktural. 

Yang demikian itu dibuktikan dengan adanya kewajiban follow akun media sosial sang founder. Pasal pertama bagi setiap anggota baru yang bergabung dengan komunitas. Tidak hanya sampai di sana, bahkan manakala mengerjakan tugas, mendapatkan sangsi dan di beberapa kegiatan lain secara massif anggota wajib menandai (tag) akun media sosial sang founder. Upaya tanda-menandai dan follow akun media sosial ini tentu sangat berhubungan dengan melejitkan popularitas dan elektabilitas personal yang bersangkutan di dunia maya. 

Ekspektasinya tentu popularitas itu akan terejawantah sebagai paradigma konkret di ruang publik. Alhasil, disadari atau tidak; mempertimbangkan kualitas atau tidak; melintas setiap batch atau pun sepanjang masa; maka citra positif terhadap founder akan ter-update secara otomatis. Nama dan rekam jejaknya akan melambung tinggi sekaligus melekat dalam setiap kepala. Namanya akan mudah dikenal massa. Tidak asing lagi jika berdengung di banyak telinga. 

Mengenal dan mengikuti akun media sosial sang founder memang bagian vital; rukun komunitas baku bagi setiap anggota. Tidak bisa diganggu gugat. Ibarat hendak menaiki kendaraan umum maka kita harus tahu siapa sopir, bagaimana sepak terjang dan kualitas yang bersangkutan. Serta yang paling penting memahami betul rute perjalanan menuju ke arah mana. Begitu pun skema kerja yang diberlakukan dalam komunitas online tersebut. Kendati intensitas dan produktivitas karya masih patut dipertanyakan lagi. 

Perbedaan mendasar itu tentu sangat kentara manakala kita membuat indikator perbandingan dengan komunitas literasi lain. Misalnya saja ditinjau dari menampilkan role model yang tanpa batas dan tidak memaksakan kehendak anggota untuk mengkultuskan sang founder. Kebebasan menjaring inspirasi, menentukan idola dan mencari lanskap teoretis terkait literasi di kamar atau kanal media lain sangat dianjurkan. Penempaan skill, pembentukan karakter dan pemberdayaan aktualisasi diri menjadi target buruan setiap personal.

Bersambung...

Tulungagung, 28 September 2023

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam a...

Anak Penjajak Komik

Dokpri: Qadira dengan koleksi komiknya Belakangan saya dibuat takjub melihat pemandangan tak biasa di kelas 2 SDIT Baitul Quran. Takjub bukan karena huru-hara sedang meluluhlantakkan kursi dan meja. Bukan, bukan karena mereka sedang melakukan kegaduhan, bullying dan kenakalan meronta-ronta yang tampak di depan mata melainkan fenomena yang menyegarkan hati.  Bukan hanya maknyes di hati saya kira namun fenomena yang membuat hati merasa bangga: terketuk, kagum dan penasaran sekaligus menampar pipi--bagi siapa pun yang melihat. Lha, memang apa? Baca komik. Cuma baca komik? Tentu tidak. Tidak sedangkal itu kejadiannya.  Almira dan Qadira adalah dua siswi yang membuat saya takjub itu. Mereka berbeda dari siswa-siswi lain. Jika umumnya anak menjadikan semua tempat untuk bermain, bermain di semua tempat sesuka hati, bahkan anak hanya mau membaca saat kegiatan belajar mengajar belangsung maka berbeda dengan dua siswi tersebut. Almira dan Qadira lebih suka memanfaatkan waktu luang berte...

Serba yang Kedua

(Dokpri: flyer ngaji literasi edisi 4) Hemat saya angka 2 menjadi angka istimewa dalam ngaji literasi edisi keempat yang akan datang ini. Tepatnya, 3 kali angka 2 yang istimewa. Kenapa harus angka 2? Bukankah masih banyak angka lain: 1, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan seterusnya? Nah, jadi bikin penasaran kan? Pertama, angka 2 yang menegaskan bahwa di momen ngaji literasi edisi ini adalah kali kedua saya menjadi moderator setelah sebelumnya saya beserta Bang Almahry Reprepans bertukar posisi. Tentu saja, dua kali menjadi moderator dalam rangka membedah buku solo kawan-kawan anggota SPK Tulungagung, bagi saya, adalah satu kehormatan dan kesempatan yang luar biasa. Saya dapat belajar bagaimana cara berbicara di depan kamera dan public speaking. Selain itu, pada ngaji literasi edisi keempat ini menandaskan dua kali sudah saya menjadi moderator dalam membedah buku solo perdana sahabat Ekka Zahra Puspita Dewi setelah sebelumnya dipertemukan dalam acara bedah yang diusung oleh komunitas Lentera. ...