Langsung ke konten utama

Hikmah Cenderamata Buku

Dokpri Buku Belajar Kehidupan Dari Sosok Manusia Inspiratif 

Belajar Kehidupan Dari Sosok Manusia Inspiratif, adalah salah satu dari sekian buku yang sedang saya baca. Buku terbitan Sahabat Pena Kita tahun 2018 ini Prof. Naim hadiahkan tatkala saya dan bang Woks sowan ke kediaman beliau di perumahan Permadani, Bago. Memang telah menjadi budaya, tatkala bertamu ke rumah Prof. Naim, beliau senantiasa memberikan  cenderamata berupa buku. Saya kira hal yang sama juga berlaku untuk orang lain. Siapa pun itu yang bertamu.

Cenderamata berupa buku ini bagi saya memiliki nilai yang sangat berharga dibandingkan materi lain. Keberhargaan itu tentu saja ditinjau dari ruang lingkup manfaat yang akan dituai oleh pelakunya. Mungkin benar, cenderamata dalam bentuk materiil lain dapat dinikmati secara instan guna membungkam dahaga, namun itu sifatnya sesaat. Lekas pudar dan nihil akan jejak yang benar-benar mengena. Mengena dalam arti menginjeksi transformasi diri. 

Berbeda halnya dengan buku, melalui buku sesungguhnya beliau sedang menegaskan beberapa poin penting terhadap pelaku yang menerimanya. Di antaranya yakni pentingnya merawat akal, membangun tradisi literasi, bersyukur dan mengambil  bagian dari peradaban. 

Pertama, pentingnya merawat akal. Perbedaan manusia dengan makhluk lain adalah dianugerahinya akal. Melalui akal manusia bisa memisahkan pengetahuan dan ilmu pengetahuan. Dengan memaksimalkan akal manusia mampu mengembangkan ilmu pengetahuan dan anak turunannya. Berdasarkan akal, manusia mampu membedakan baik dan buruk hingga muncullah konsep etika; jelek dan bagus memunculkan estetika; benar dan salah penilaian normativitas dalam agama. Serta pantas dan tidak yang berlaku dalam tatanan sosial kehidupan manusia.

Semuanya lahir dari upaya memaksimalkan potensi dan kemampuan akal. Hal itu akan terjadi manakala otak terus distimulasi dengan perawatan yang tepat. Perawatan itu di antaranya memberikan asupan gizi dengan banyak membaca buku, menganalisis data dan mengkritisi gagasan yang ada. Dengan demikian semakin giat kita membudayakan baca buku sejatinya kita sedang berusaha menjaga kesehatan dan ketajaman dari fungsi akal. 

Hanya akal sehat dan tajam yang akan maksimal dalam menjalankan fungsinya. Melalui akal yang terawat itulah manusia mampu berpikir secara logis, kritis dan solutif. Termasuk berpikir sistematis tatkala menghadapi tantangan era disrupsi data dengan pertimbangan kontekstualitasnya. 

Kedua, membangun tradisi literasi. Bagi orang yang sefrekuensi--yang menggeluti dunia literasi--pemberian cenderamata buku itu tidak lain adalah lecutan motivasi. Lecutan motivasi untuk apa? Lecutan motivasi untuk terus belajar, jangan pernah bosan untuk menimba ilmu dan mulai berkarya. Lecutan motivasi ini lambat laun tentu akan menjadi bahan bakar untuk menyetabilkan semangat dalam menulis. 

Seperti halnya manfaat yang akan didulang  dari menghadiri kopdar, dengan diberikannya hadiah buku baru sebenarnya juga turut memengaruhi fluktuatif semangat menulis yang mungkin (sedang; sudah) loyo. Persis seperti halnya tanaman layu yang kemudian akan kembali segar kondisinya manakala disiram air. 

Sementara bagi orang yang belum sefrekuensi (tidak menggeluti dunia literasi, bahkan mungkin memposisikan dirinya anti; alergi) mendapatkan cenderamata buku  adalah suguhan baru. Suguhan menarik yang sangat disayangkan jika diabaikan begitu saja. Awalnya mungkin saja menyepelekan namun lama-lama; pelan namun pasti; mau tidak mau terdorong untuk mencicipi bagian demi bagian dari buku. 

Dorongan yang bersifat personal dan menyentuh psikis ini tentunya akan membentuk jejaring kesadaran, hobi ataupun softskill betapa nikmatnya menggeluti dunia literasi. Pelan-pelan namun menyeruak, pola jejaring getok tular yang awalnya mencakup lokalitas--sanad persowanan-- tidak menutup kemungkinan lama-kelamaan akan menjangkiti ruang lingkup yang luas dalam skala nasional. Bahkan dunia. 

Keempat, bersyukur. Cenderamata buku dari sowan ini mengingatkan saya untuk banyak bersyukur. Bersyukur karena Allah SWT masih memberikan kesempatan dan kenikmatan yang tiada terkira. Jika tidak dikehendaki oleh Yang MahaKuasa tentu saja saya tidak akan bisa sowan, didawuhi banyak hal dan mendapatkan buku. 

Sebagai tindak lanjut, cara bersyukur lainnya yakni memanfaatkan waktu luang dengan membaca buku. Dengan membaca buku berarti kita menerima, memanfaatkan dan memfungsikan buku sebagai bentuk penghargaan kepada sang pemberi. Tidak hanya soal penghormatan dalam level horizontal namun dengan memanfaatkan kesempatan untuk membaca buku esensinya kita mengamalkan titah Iqra. Termasuk mengimplementasikan titah menuntut ilmu.

Sedangkan yang terakhir, sebagai postulat, orang yang menerima buku sudah selaiknya (idealisnya) terpantik; terpanggil untuk mengambil bagian dari peradaban melalui karya. Karya tentu tidak lahir secara ujug-ujug, melainkan selalu ada bahan bakar dan bumbu resep yang melingkupinya. Kesinambungan antara membaca dan menulis adalah amunisi jitu sebagai jawabannya.

Dalam konteks inilah cenderamata buku mendapatkan gelanggang kontestasinya. Terlebih lagi jika kita mempertimbangkan aspek keunikan yang dimiliki oleh masing-masing buku. Sebab, kita sendiri terkadang tidak mampu menentukan pada dan pilihan buku mana inspirasi-gagasan kita merasa tercerahkan. Tercerahkan dan kemudian memantik diri kita untuk melahirkan suatu karya. 

Tulungagung, 8 September 2023

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam a...

Anak Penjajak Komik

Dokpri: Qadira dengan koleksi komiknya Belakangan saya dibuat takjub melihat pemandangan tak biasa di kelas 2 SDIT Baitul Quran. Takjub bukan karena huru-hara sedang meluluhlantakkan kursi dan meja. Bukan, bukan karena mereka sedang melakukan kegaduhan, bullying dan kenakalan meronta-ronta yang tampak di depan mata melainkan fenomena yang menyegarkan hati.  Bukan hanya maknyes di hati saya kira namun fenomena yang membuat hati merasa bangga: terketuk, kagum dan penasaran sekaligus menampar pipi--bagi siapa pun yang melihat. Lha, memang apa? Baca komik. Cuma baca komik? Tentu tidak. Tidak sedangkal itu kejadiannya.  Almira dan Qadira adalah dua siswi yang membuat saya takjub itu. Mereka berbeda dari siswa-siswi lain. Jika umumnya anak menjadikan semua tempat untuk bermain, bermain di semua tempat sesuka hati, bahkan anak hanya mau membaca saat kegiatan belajar mengajar belangsung maka berbeda dengan dua siswi tersebut. Almira dan Qadira lebih suka memanfaatkan waktu luang berte...

Serba yang Kedua

(Dokpri: flyer ngaji literasi edisi 4) Hemat saya angka 2 menjadi angka istimewa dalam ngaji literasi edisi keempat yang akan datang ini. Tepatnya, 3 kali angka 2 yang istimewa. Kenapa harus angka 2? Bukankah masih banyak angka lain: 1, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan seterusnya? Nah, jadi bikin penasaran kan? Pertama, angka 2 yang menegaskan bahwa di momen ngaji literasi edisi ini adalah kali kedua saya menjadi moderator setelah sebelumnya saya beserta Bang Almahry Reprepans bertukar posisi. Tentu saja, dua kali menjadi moderator dalam rangka membedah buku solo kawan-kawan anggota SPK Tulungagung, bagi saya, adalah satu kehormatan dan kesempatan yang luar biasa. Saya dapat belajar bagaimana cara berbicara di depan kamera dan public speaking. Selain itu, pada ngaji literasi edisi keempat ini menandaskan dua kali sudah saya menjadi moderator dalam membedah buku solo perdana sahabat Ekka Zahra Puspita Dewi setelah sebelumnya dipertemukan dalam acara bedah yang diusung oleh komunitas Lentera. ...