Langsung ke konten utama

The Power of Word

Dokpri mercendise SPK Tulungagung 

Pada paragraf ketiga tulisan sebelumnya: Menerobos Keterbatasan (10/9/2023), saya sempat menegaskan sumpah sebagai modal utama transformasi diri. Tentu bukan sumpah serapah menggila dan anarkis yang dimaksud, melainkan sumpah yang berorientasi pada kebaikan. Baik itu kebaikan bagi diri secara personal atau pun lingkungan sekitar. 

Sebagaimana kita pahami bersama, secara harfiah sumpah bermakna pernyataan kesaksian kepada Tuhan; pernyataan yang menegaskan kebenaran atas sesuatu terhadap orang lain; janji atau ikrar yang teguh. Sumpah pada umumnya diucapkan sebagai bentuk penegasan atas kebenaran dan kesungguhan terhadap segala sesuatu. Entah itu perkataan, tindakan, kesaksian dan lain sebagainya. 

Meski begitu kekuatan sumpah sejatinya bukan terletak pada keindahan pernyataan yang ditegaskan. Bukan pula soal lantang landainya intonasi suara orang yang bersangkutan, melainkan tergantung pada kalimat yang ditegaskan. Ya, kalimat yang menghimpun rangkaian kata menjadi kunci utama kekuatan sumpah. The power of word benar-benar nyata adanya. 

Mungkin kita masih ingat bagaimana sang proklamator: Ir. Soekarno dengan keterampilan public speaking, pembawaan  yang meyakinkan dan kata-kata ajaibnya dapat memukau sekaligus menggerakkan massa. Bahkan memberikan perubahan orientasi bangsa Indonesia pada  status yang merdeka. Entah pengakuan kemerdekaan secara de jure atau pun de facto

Konteks kekuatan kata tersebut selanjutnya berkembang sesuai dengan kebutuhan pangsa. Di kalangan pondok pesantren yang kental mendalami bahasa arab kita akan mengenal mahfudzat. Dalam himpunan materi pelajaran bahasa Indonesia kita akan menemukan istilah kata-kata mutiara, qoute dan motto. Jika bergaul dengan kalangan para pemikir ulung, kita akan berkenalan dengan kata-kata bijak.

Sedangkan jika berbaur dengan para motivator, kita akan banyak disuguhkan motivasi. Kalangan psikolog dan psikiater menyebutnya sebagai sugesti. Adapun pada praktek perdukunan mungkin kita tidak asing lagi dengan istilah mantra. Semuanya fokus berbicara tentang kekuatan kata. Bukan omong kosong semata-mata.

Begitu pula dalam dunia literasi, kekuatan kata sangat lekat di dalamnya. Bahkan kekuatan kata menjadi marwah yang dapat menghubungkan pertautan pemikiran-psikis antara penulis dan pembaca. Semakin besar kekuatan rangkaian kata yang termuat dalam suatu buku maka akan menjadi magnet yang menarik khalayak ramai untuk berbondong-bondong membaca buku tersebut. Meskipun tidak dapat dinafikan pula, gencarnya proses marketing menjadi rahasia umum di baliknya. 

Pertanyaan mendasarnya, apakah kekuatan rangkaian kata juga menentukan kualitas buku yang bersangkutan? Saya kira, iya. Karena hanya buku yang ditulis oleh penulis yang produktif, kawakan dan memiliki jam terbang tinggi setiap susunan kalimatnya benar-benar bernyawa. Saat pembaca menikmati setiap jengkal sugguhan kata maka akan terasa tersadarkan dan tercerahkan. Terlebih-lebih tidak sempat membuat jidat pembaca berkerut. 

Dari sana, mungkin kita akan membuat simpulan mandiri secara dini, bahwa buku yang laku keras di pasaran memiliki kekuatan rangkaian kata yang begitu besar.  Sehingga khalayak ramai sangat tertarik untuk memilikinya demi menikmati suguhan kata demi kata dalam buku tersebut. Secara simplifikasi, istilah kekuatan rangkaian kata itu saya kira dalam dunia kepenulisan disebut dengan gaya tulisan. 

Gaya tulisan ini sejatinya menjadi karakter kuat pada masing-masing penulis. Karakter hanya akan terbentuk manakala seorang penulis pemula terus berlatih dan memposisikan diri sebagai pembelajar sepanjang hidup. Tentu saja disertai dengan upaya meningkatkan pengetahuan dan keterampilan (skill) tentang menulis secara serius.

Tulungagung, 11 September 2023

Komentar

  1. Balasan
    1. Terima kasih sudah mampir membaca dan meninggalkan jejak, Bah.

      Hapus
  2. Diksi Njenengan selalu luar biasa. Maknanya juga. Thank you catatannya Bang Robi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lah Halah.. mesti o. Kok eram toh. Terima kasih atas kunjungan dan komentarnya.

      Hapus
  3. Kekuatan kata, belajar sepanjang hayat. Subhanallah! Mantap pisan Pak! Htr nuhun!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe... uhun. Sami-sami Bu, Mimin. Harusnya tulisan ditutup pakai pantun. Supaya niru gaya Bu Mimin. Heheh

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam a...

Anak Penjajak Komik

Dokpri: Qadira dengan koleksi komiknya Belakangan saya dibuat takjub melihat pemandangan tak biasa di kelas 2 SDIT Baitul Quran. Takjub bukan karena huru-hara sedang meluluhlantakkan kursi dan meja. Bukan, bukan karena mereka sedang melakukan kegaduhan, bullying dan kenakalan meronta-ronta yang tampak di depan mata melainkan fenomena yang menyegarkan hati.  Bukan hanya maknyes di hati saya kira namun fenomena yang membuat hati merasa bangga: terketuk, kagum dan penasaran sekaligus menampar pipi--bagi siapa pun yang melihat. Lha, memang apa? Baca komik. Cuma baca komik? Tentu tidak. Tidak sedangkal itu kejadiannya.  Almira dan Qadira adalah dua siswi yang membuat saya takjub itu. Mereka berbeda dari siswa-siswi lain. Jika umumnya anak menjadikan semua tempat untuk bermain, bermain di semua tempat sesuka hati, bahkan anak hanya mau membaca saat kegiatan belajar mengajar belangsung maka berbeda dengan dua siswi tersebut. Almira dan Qadira lebih suka memanfaatkan waktu luang berte...

Serba yang Kedua

(Dokpri: flyer ngaji literasi edisi 4) Hemat saya angka 2 menjadi angka istimewa dalam ngaji literasi edisi keempat yang akan datang ini. Tepatnya, 3 kali angka 2 yang istimewa. Kenapa harus angka 2? Bukankah masih banyak angka lain: 1, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan seterusnya? Nah, jadi bikin penasaran kan? Pertama, angka 2 yang menegaskan bahwa di momen ngaji literasi edisi ini adalah kali kedua saya menjadi moderator setelah sebelumnya saya beserta Bang Almahry Reprepans bertukar posisi. Tentu saja, dua kali menjadi moderator dalam rangka membedah buku solo kawan-kawan anggota SPK Tulungagung, bagi saya, adalah satu kehormatan dan kesempatan yang luar biasa. Saya dapat belajar bagaimana cara berbicara di depan kamera dan public speaking. Selain itu, pada ngaji literasi edisi keempat ini menandaskan dua kali sudah saya menjadi moderator dalam membedah buku solo perdana sahabat Ekka Zahra Puspita Dewi setelah sebelumnya dipertemukan dalam acara bedah yang diusung oleh komunitas Lentera. ...