Langsung ke konten utama

Hikmah Ngetrip Ke Surabaya

Tatkala waktu yang telah direncanakan jauh-jauh hari datang menghampiri diri, rasa bahagia, gembira ria, senang dan happy ketika itu menjadi matamorgana yang menghiasi dunia ide yang belum terjamahi. Akal pikiran yang sering dijadikan andalan pun tatkala itu berusaha merekontruksi rupa khayali terhadap tempat yang menjadi tujuan. Di mana yang menjadi tempat tujuan perjalanan yakni Ampel (yang lebih tepatnya area pemakaman Sunan Ampel), museum dan tugu surabaya. Suatu tujuan yang dianggap akan memberi banyak harapan, tujuan yang dianggap akan membawa keberkahan dalam mengarungi dunia pendidikan, dan tujuan yang dianggap akan memberi kesembuhan bagi jiwa-jiwa insan yang telah dilanda kejenuhan, kebosanan dan ketidakbetahan (bahasa jawa=kerasaan) terhadap dunia pengembaraan.
Masing-masing diri traveler yang berkenaan (mereka yang ikut traveling) tatkala itu dengan penuh kesadaraan haruslah berbenah diri, mempersiapkan semua kebutuhan untuk mengarungi perjalanan panjang yang dirasa akan melelahkan. Tidak hanya demikian, tentu peran penting dari kemapanan materil pun menjadi syarat yang harus diperhatikan dan tercukupi (perspektif subjektif).
Entah sadar atau tidak ketika itu sebuah kata mutiara “lebih baik terlambat daripada tidak” menjadi fondamen kukuh yang memotivasi, menginspirasi, dan menghegemoni masing-masing diri untuk bergagas menuju suatu tempat persimpangan kendaraan (stasiun) yang akan membawa ke tempat tujuan.
Tatkala itu menunggu dan rasa sabar pun menjadi teman setia yang menyelimuti diri. Entah disadari masing-masing diri atau tidak, yang pasti demikianlah relita yang ada. Memang secara pribadi saya mengakui bahwa menunggu adalah suatu tindakkan yang membosankan, menjenuhkan dan menyebabkan banyak waktu terbuang sia-sia. Apalagi kalau tindakan menunggu tersebut tidak dibarengi dan diisi dengan sebuah kekreatifan dan kemauan. Ya... misalnya saja memanfaatkan waktu menuggu tersebut untuk membaca buku, bediskusi dan lain sebagainya.
Dalam keadaan menunggu tersebut pun, diri saya merasa memiliki dua sisi yang kontradiksi. Entah itu hanya sebuah intuisi, prasangka pribadi ataupun apalah itu istilahnya. Yang jelas pada saat itu diri saya merasa teralienasi, terisolasi dan terintimidasi. Pasalnya para traveler tersebut berasal dari probolinggo yang didominasi oleh kaum hawa, sehingga untuk sekadar komunikasi pun masih lekat (khas) dengan bahasa tadisional daerahnya. Dengan sedikit rasa nervous dan nervously, saya pun berusaha memberanikan diri untuk memulai berkomunikasi dengan menggunakan bahasa nasional, meskipun dengan sadar saya mengakui bahwa saya sedikit sulit untuk berkomunikasi dengan kaum hawa, belum lagi ditambah dengan tidak paham dan belum bisanya berbahasa yang mereka gunakan demikian. Lengkaplah sudah kepayahan yang mengusai diri.
Bunyi kelakson yang bersumber dari kendaraan dengan roda besi tanpa kulit  pun kian memperjelas akan adanya perjalan panjang yang harus ditempuh. Tatkala itu para traveler pun dengan sigap mengatur, memfokuskan kedua langkah kaki masuk ke dalam rangkaian gerbong untuk menuju  tempat duduk yang telah tercantumkan dalam tiket masing-masing pribadi. Disepanjang perjalanan saya pun berusaha menyelimuti diri dengan rasa tenang, enjoy dan reliks  (upaya untuk menikmati keadaan).
Lagi-lagi keasingan yang mulai luntur ketika itu mulai kembali menjamah diri. Dengan sabar saya pun berusaha menghayati, memahami dan mengenali kondisi (usaha untuk peka terhadap keadaan yang sedang terjadi). Tapi entah kenapa rasa canggung pun masih tetap menghantui diri, mungkin karena tidak biasa (sudah menjadi kebiasaan atau dalam pribahasa sunda disebut dengan adat ka kurung ku iga, jadina kumeok samemeh dipacok). Ya.. mungkin demikian.
Tapi saya pun merasa dibuat tercengang tatkala itu dengan berani ada seorang perempuan yang memang memiliki ESQ (emosional and spiritul qustion) yang dapat dikategorikan tinggi (perpektif subjektif). Dengan sikap kritis yang dimilikinya, ia pun memulai perbincangan. Persoalan yang dibicarakan pun awalnya hanya sepele, tapi lama- kelamaan memiliki fokus tujuan yang jelas dan terarah. Hal yang demikian sangat ketara tatkala dalam perjalanan pulang ia mengemukakan beberapa pertanyaan yang mengarah pada diri saya. Dengan keterbatasan wawasan pengentahuan yang saya miliki, saya pun berusaha memberikan jawaban yang memuaskan. Namun sayang pembicaraan harus diakhiri tatkala jalan menuju rumah tinggal pengembaraan saya sudah didepan mata.
Sebuah pengalaman dari perjalanan yang luar biasa pun kini telah mengukir ingatan, menghiasi diri menjadi pembuka untuk semester lima ditahun ini. Motivasi, stimulus dan semangat baru untuk menuju perubahan diri pun nampak jelas tatkala pembelajaran hidup yang luar biasa terdeskripsikan dari tindakan seseorang yang baru saya kenal.

Sehingga saya pun berkeinginan untuk menyimpulkan coretan sepenggal cerita ini melalui secercah kata yang memiliki makna seperti berikut, “suatu pembelajaran luar biasa belum tentu diraih dari seseorang yang luar biasa, tapi suatu pembelajaran itu akan menjadi luar biasa tatkala kita memahami, merenungi dan menyadari bersama siapa kita berjumpa dan berbicara”.    

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam a...

Anak Penjajak Komik

Dokpri: Qadira dengan koleksi komiknya Belakangan saya dibuat takjub melihat pemandangan tak biasa di kelas 2 SDIT Baitul Quran. Takjub bukan karena huru-hara sedang meluluhlantakkan kursi dan meja. Bukan, bukan karena mereka sedang melakukan kegaduhan, bullying dan kenakalan meronta-ronta yang tampak di depan mata melainkan fenomena yang menyegarkan hati.  Bukan hanya maknyes di hati saya kira namun fenomena yang membuat hati merasa bangga: terketuk, kagum dan penasaran sekaligus menampar pipi--bagi siapa pun yang melihat. Lha, memang apa? Baca komik. Cuma baca komik? Tentu tidak. Tidak sedangkal itu kejadiannya.  Almira dan Qadira adalah dua siswi yang membuat saya takjub itu. Mereka berbeda dari siswa-siswi lain. Jika umumnya anak menjadikan semua tempat untuk bermain, bermain di semua tempat sesuka hati, bahkan anak hanya mau membaca saat kegiatan belajar mengajar belangsung maka berbeda dengan dua siswi tersebut. Almira dan Qadira lebih suka memanfaatkan waktu luang berte...

Serba yang Kedua

(Dokpri: flyer ngaji literasi edisi 4) Hemat saya angka 2 menjadi angka istimewa dalam ngaji literasi edisi keempat yang akan datang ini. Tepatnya, 3 kali angka 2 yang istimewa. Kenapa harus angka 2? Bukankah masih banyak angka lain: 1, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan seterusnya? Nah, jadi bikin penasaran kan? Pertama, angka 2 yang menegaskan bahwa di momen ngaji literasi edisi ini adalah kali kedua saya menjadi moderator setelah sebelumnya saya beserta Bang Almahry Reprepans bertukar posisi. Tentu saja, dua kali menjadi moderator dalam rangka membedah buku solo kawan-kawan anggota SPK Tulungagung, bagi saya, adalah satu kehormatan dan kesempatan yang luar biasa. Saya dapat belajar bagaimana cara berbicara di depan kamera dan public speaking. Selain itu, pada ngaji literasi edisi keempat ini menandaskan dua kali sudah saya menjadi moderator dalam membedah buku solo perdana sahabat Ekka Zahra Puspita Dewi setelah sebelumnya dipertemukan dalam acara bedah yang diusung oleh komunitas Lentera. ...