Langsung ke konten utama

Analogi Paradigma Dalam Nuansa Nan Fitri

Iftitah
Sebelum akal pikiran fokus pada spesifikasi suatu pembahasan, yang mengisyaratkan akan adanya tindak lanjut yang lumrah disebut dengan term ‘melangkah lebih jauh’, alangkah baiknya kita terlebih dahulu mengetahui, mengenali, memahami dan mengerti terhadap judul yang telah terpampang di atas tadi.
Secara sadar dan transparansi haruslah kita mengakui bahwa apabila memang ada term yang belum terkupas dalam arti murni asali yang hakiki, sehingga menyebabkan adanya suatu arti yang sempat terisolasi, teralienasi dan tersembunyi dalam sanubari. Maka marilah kita secara seksama meninjau kembali terhadap judul yang telah terpampang di atas tadi.
Sebuah kemungkinan besar (praduga penulis) term yang belum terpahami dalam judul di atas tadi, yakni term ‘analogi’ dan ‘paradigma’. Dengan demikian mari kita pahami bersama akan arti kedua term tersebut baik itu secara etimologi ataupun secara sederhana sekalipun. Secara simple term ‘analogi’ dapat diartikan sebagai suatu penggambaran, pemberian contoh atau pendeskripsian. Sedangkan makna term ‘paradigma’ secara simple diartikan sebagai suatu pola ataupun cara berpikir.
Allrigth, setelah memahami akan judul yang telah terpampang di atas tadi, maka langkah selanjutnya yang perlu kita kritisi, pahami dan mengerti ialah analogi paradigma dalam nuansa nan fitri seperti apa yang dipersoalkan? Apakah akan berkorelasi dengan sebuah diskursus tertentu? Apakah pembahasan yang dipersoalkan termasuk ke dalam wilayah theosentris, antroposentris ataupun logosentris? Atau mungkin pembahsan yang dipersoalkan mencakup ke dalam tiga wilayah (theosentris, antroposentris dan logosentris) sekaligus?

Bulan Mubarak Menjelang Nuansa Fitri
            Ketika amal dan perbuatan baik (baik kebaikan secara syar’i ataupun secara hukum alam) telah menjadi sebuah kebiasaan (tradisi) yang menghegemoni setiap jiwa insan, sehingga rutin dijalankan ketika bulan mubarak datang menghampiri diri setiap insan yang beriman (muslim). Maka pada saat yang beriringan demikian, sebuah term ‘kesalahan’, ‘kejelekan’ dan ‘kejahatan’ yang senantiasa dinisbatkan pada diri insan pun kian terasa teralienasikan, terdeterminasikan, tersirnakan dan bahkan terhapuskan dengan amal perbuatan yang dominan rutin dilakukan.
            Takbir, Tahlil dan Tahmid pun dengan serentak dikumandangkan sebagai simbol yang mengisyaratkan akan hadirnya hari kemenangan di depan mata untuk siap dilaksanakan.
            Semua rutinitas amal perbuatan kebaikan pun akan mulai tertangguhkan, seiring dengan nuansa bulan mubarak yang telah usai. Lapar dan dahaga yang selama sebulan telah menyelimuti diri pun akan segera terbalaskan, tadarus al-Qur’an, shalat sunnah tarawih, menyegerakan untuk berbuka, bangun ketika keadaan masih terasa hening dan dingin yang menyelimuti suasana dini hari dalam rangka untuk menjalankan shalat malam qiyamul lail (tahajud) dan sahur pun kian terasa seakan-akan harus mampu menebus, membayar dan menutupi semua amal perbuatan menyimpang yang dilakukan pada sebelum dan sesudah bulan mubarak (suatu harapan yang terbesit dalam sanubari seorang insan).
            Lantas tidak hanya berakhir demikian. Di satu sisi yang lain justru suatu niat, keyakinan dan tekad pun sempat terbesit dalam sanubari, terlintas dalam akal pikiran untuk terus melestarikan, menunaikan dan mentradisikan semua amal kebaikan yang sering dilakukan. Sehingga suatu spekulasi pun menyatakan bahwa merekalah insan yang mendapat berkah seribu bulan (lailatul qadar) dibulan mubarak yang telah terlaksanakan.
Suatu kewajiban (di satu sisi yang lain sering dikorelasikan dengan suatu kebutuhan) setiap muslim yang terintisarikan dalam Rukun Islam yang keempat, yakni puasa dibulan Ramadhan, akhirnya telah tertunaikan. Tapi suatu term kesempurnaan terhadap ibadah yang telah tertunaikan tersebut pun dianggap belum sah tersandangkan, dikarenakan adanya suatu syarat, simbol dan rambu-rambu yang belum sempat usai terkeluarkan. Di mana suatu syarat, simbol dan rambu-rambu yang dimaksudkan ialah zakat fitrah. Ya... zakat fitrah, zakat (termasuk ke dalam rukun islam yang ketiga) yang bertujuan untuk membersihkan diri setiap insan yang beriman (muslim) setelah menunaikan rukun islam yang keempat tersebut.

Prepare Materiil (logosentris) Menjelang Hari Kemenangan
            Bulan mubarak jelas terasa kian nampak surut, fokus perhatian pun teralihkan pada hari kemenangan. Pesiapan materil akan datangnya perayaan hari kemenangan pun seakan-akan menjadi magnet yang berdaya besar menggairahkan. Tugas dan tanggungjawab materil seorang kepala rumah tangga pun harus siap diandalkan, berharap cukup menopang semua kebutuhan. Rumah yang nampak kusam dan renta pun telah siap dipoles dengan penuh harapan dan kebahagiaan. Semua barang yang nampak kusam, kotor dan rusak pun harus siap tersingkirkan dan tergantikan. Wajan, kompor, open dan perabotan masak lainnya harus siap berkompetisi dalam urusan pemanasan karena pemakaian. Toples bening yang telah lama berbulan-bulan nampak transparan warna asali pun harus segera dibersihkan, mengharap tidak ada ruang kosong yang tersisakan.
            Kini uang memiliki  ruang dominan dalam semua urusan, menjadi prioritas utama untuk memenuhi semua kebutuhan, mengabulkan semua keinginan dan menjadi jawaban dari semua kepenatan yang menjadi beban. Uang memang tidak kenal siapa dia (subyek) yang menjadi tuan, sehingga tidak sungkan untuk mampir disaku dan tangan mereka yang membutuhkan, karena rasa ingin memiliki hadir menyelimuti dalam diri setiap pribadi. Entah apa yang akan terjadi, bilamana uang mampu memilih siapa yang berhak memiliki. Mungkin kategori miskin dan kaya yang selalu berkontradiksi dalam prespektif manusia yang hadir dalam realita kehidupan tidak akan berarti. Melainkan yang ada hanyalah kesempatan yang sama untuk bisa memiliki.
            Tapi sayang, dalam realita kehidupan tidaklah demikian. Dominasi terhadap uang pasti selalu identik dengan term si ‘kaya’ yang memiliki, sedangkan term si ‘miskin’ pasti selalu identik dan berkoneksi dengan semua yang serba pas-pasan dan ketidakcukupan.
            Begitu pula ketika prepare hari kemenangan, keidentikan yang telah lama menyelimuti, menghegemoni dan mentradisi pun kian nampak menonjol. Jika si kaya dengan penuh kebebasan, kemerdekaan, keluasan dan kebahagian bebas sepuas mungkin berbelanja membeli barang guna mempersiapkan semua kebutuhan yang diperlukan untuk menyambut perayaan hari kemenangan. Maka si miskin dengan susah hati, sabar, ikhlas dan ridho harus kerja keras (banting tulang) mencari nafkah guna berbelanja membeli sepasang pakaian untuk sang anak yang merengek (nangis) dalam pangkuan sang ibu dan belum lagi membeli semua kebutuhan yang diperlukan pada saat perayaan hari kemenangan tiba menghamipiri. Mungkin akan beda lagi ceritanya dan kejadiannya ketika si miskin tersebut ternyata menerima hasil zakat yang mampu mencukupi semua kebutuhannya.

Korelasi Theosentris, Antroposentris dan Logosentris di Hari Kemenangan
            Ketika Takbir, Tahlil dan Tahmid semarak dikumandangkan, suasana malam hari kemenangan pun kian ketara jelas dimeriahkan. Kondisi malam yang tenang, sunyi dan gelap gulita dengan serentak berganti menjadi malam yang penuh dengan keterangan, sebagai simbol yang mengisyaratkan bahwa pesta kemenangan sedang dilaksanakan. Malam hari kemenangan pun tidak hanya dipenuhi dengan semarak kalimat-kalimat pengagungan dan penyucian (yang bersifat theosentris), melainkan juga desertai dengan semarak kegaduhan yang disebabkan oleh aneka ragam petasan yang dibunyikan. Sebuah kegaduhan yang seakan-akan menyimbolkan kebebasan dan kemerdekaan dari belenggu yang menjadi beban.
Perayaan malam hari kemenangan pun kini seakan-akan menjadi dua sisi yang kontradiksi. Pertama, sebagai tanda perpisahan dengan bulan mubarak yang penuh kemuliaan, yang tercover dengan semarak Takbir, Tahlil dan Tahmid yang dikumandangkan sebagai tanda pengagungan dan penyucian (yang bersifat theosentris). Kedua, sebagai tanda kebahagiaan yang tercover dalam kemeriahan yang dapat dikategorikan isrof dan tabdzir yang dilaksanakan (kepuasan yang bersifat logosentris).
Tapi suasana dan keadaan kontradiksi yang demikian, akan berhenti seiring dengan surutnya semarak Takbir, Tahlil dan Tahmid yang dikumandangkan, karena mendekati shalat Ied yang akan segera terlaksanakan.
Seusai shalat Ied yang telah terlaksanakan, mushafahah  yang mengisyaratkan akan adanya feel guilty, feel blue dan feel affection terhadap sesama, maka rasa saling menumpahkan ketransparansian dan saling memaafkan pun kian ketara teranalogikan dalam tetesan air mata yang terdeskripsikan. Keadaan yang demikian pun akan terrepresentasikan ketika silaturahmi berkunjung ke rumah sanak famili. Namun, ketika diri telah mendapat respon yang berupa feed back yang terdeskripsikan dari keadaan welcome yang diberikan, maka semua negative feel yang terpendam dalam diri pun seakan lenyap seiring dengan camilan dan makanan yang tersuguhkan. Sedangkan agenda ziarah kubur (memanjatkan do’a dan tahlil bagi ahli kubur) di hari kemenangan, menyimbolkan silaturahmi, mengucap rasa maaf yang belum tersampaikan dalam kenangan hidup yang telah terlaksanakan. 

Khotimah
            Khasanah keragaman paradigma yang terdeskripsikan dalam tradisi nuansa nan fitri (ritual spiritual) memang seharusnya kita sadari, pahami, hayati dan renungi, karena bagaimana pun momen (keadaan yang demikian) adalah gejala, tanda, syarat dan simbol yang sering terjadi dalam realita kehidupan yang terulang-ulang dalam pelaksanaannya.  
                     
           
           
           
                   
                  
                


      

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam a...

Anak Penjajak Komik

Dokpri: Qadira dengan koleksi komiknya Belakangan saya dibuat takjub melihat pemandangan tak biasa di kelas 2 SDIT Baitul Quran. Takjub bukan karena huru-hara sedang meluluhlantakkan kursi dan meja. Bukan, bukan karena mereka sedang melakukan kegaduhan, bullying dan kenakalan meronta-ronta yang tampak di depan mata melainkan fenomena yang menyegarkan hati.  Bukan hanya maknyes di hati saya kira namun fenomena yang membuat hati merasa bangga: terketuk, kagum dan penasaran sekaligus menampar pipi--bagi siapa pun yang melihat. Lha, memang apa? Baca komik. Cuma baca komik? Tentu tidak. Tidak sedangkal itu kejadiannya.  Almira dan Qadira adalah dua siswi yang membuat saya takjub itu. Mereka berbeda dari siswa-siswi lain. Jika umumnya anak menjadikan semua tempat untuk bermain, bermain di semua tempat sesuka hati, bahkan anak hanya mau membaca saat kegiatan belajar mengajar belangsung maka berbeda dengan dua siswi tersebut. Almira dan Qadira lebih suka memanfaatkan waktu luang berte...

Serba yang Kedua

(Dokpri: flyer ngaji literasi edisi 4) Hemat saya angka 2 menjadi angka istimewa dalam ngaji literasi edisi keempat yang akan datang ini. Tepatnya, 3 kali angka 2 yang istimewa. Kenapa harus angka 2? Bukankah masih banyak angka lain: 1, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan seterusnya? Nah, jadi bikin penasaran kan? Pertama, angka 2 yang menegaskan bahwa di momen ngaji literasi edisi ini adalah kali kedua saya menjadi moderator setelah sebelumnya saya beserta Bang Almahry Reprepans bertukar posisi. Tentu saja, dua kali menjadi moderator dalam rangka membedah buku solo kawan-kawan anggota SPK Tulungagung, bagi saya, adalah satu kehormatan dan kesempatan yang luar biasa. Saya dapat belajar bagaimana cara berbicara di depan kamera dan public speaking. Selain itu, pada ngaji literasi edisi keempat ini menandaskan dua kali sudah saya menjadi moderator dalam membedah buku solo perdana sahabat Ekka Zahra Puspita Dewi setelah sebelumnya dipertemukan dalam acara bedah yang diusung oleh komunitas Lentera. ...