Langsung ke konten utama

Komunitas sebagai Rumah Bernaung

 

Dokpri: Cover buku solo saya ke-10

Ada banyak motif seseorang bergabung kedalam sebuah komunitas literasi. Mulai dari keinginan mengembangkan minat dan bakat, memperluas jaringan pertemanan, meng-uprage rasa percaya diri, mendapatkan peluang baru, berusaha berkontribusi lebih besar terhadap sesuatu yang disukai, mendapatkan royalti, numpang eksis dan lain sebagainya. Rupa-rupa motif itu bersifat fleksibelitas, masing-masing orang bisa berbeda. Tidak dapat dipukul rata. 

Kendati begitu seiring berjalannya waktu seseorang hanya akan bertahan dalam komunitas literasi manakala memiliki motif yang bersifat substansial. Bergabung menjadi bagian karena kebutuhan untuk mengembangkan minat dan bakat di dalam diri misalnya. Seseorang tidak akan mudah patah dan menyerah tatkala memiliki motif demikian. Sebab dimulai dari kesadaran murni untuk berproses dan menempa diri. Ia menyadari di hadapannya ada dua tahapan yang tidak mudah dan berkelanjutan. 

Berkebalikan dengan orang yang sedari awal menceburkan diri ke komunitas literasi hanya untuk eksis dan mencari royalti, kemungkinan besar mandeg di tengah jalan sewaktu-waktu dapat terjadi manakala tidak mendulang apa yang diinginkan. Ada persepsi yang bergulir cepat dan erat digenggam bahwa jika ada jalan instan kenapa harus memilih yang terjal. Model orang yang seperti ini hanya akan muncul dan terlibat dalam momentum tertentu jika dikalkulasikan ada keuntungan personal. 

Terlepas dari itu semua pada dasarnya kehendak menjadi bagian itu bertolak pada adanya kesamaan minat, misi dan tujuan yang hendak dicapai tanpa tersekat distingsi teritorial di mana ia berpijak. Dalam hal ini saya sepakat dengan pandangan McMillan dan Chavis (1986) yang menegaskan komunitas sebagai kumpulan orang (kelompok) yang mempunyai rasa saling memiliki, terikat satu sama lain dan percaya bahwa semua kebutuhan akan terpenuhi selama mereka berkomitmen untuk terus bersama. 

Komitmen untuk terus bersama ini selaiknya ada dan menjadi syarat penting dalam benak setiap orang yang berkomunitas. Menyikapi hal itu Kontjaraningrat (2009) berpendapat bahwa dalam proses kelangsungannya diperlukan identitas, adat-istiadat dan norma yang berlaku supaya interaksi di antara anggota komunitas terkondisikan dengan baik. Hanya dengan cara itu semua anggota akan terintegrasi secara disiplin hingga mengkontruksi kultur yang positif. 

Berbekal komitmen untuk terus bersama, rasa memiliki dan visi-misi mengentaskan kebutuhan bersama saya berkesempatan dipercaya untuk mengemban amanah sebagai salah satu pengurus harian Sahabat Pena Kita Tulungagung (SPK TA). Salah satu cabang komunitas literasi nasional, Sahabat Pena Kita. Meski namanya dilekatkan pada wilayah di mana ia berada, namun faktanya anggota SPK TA ini berasal dari kota yang beragam. Jika dipetakan, lanskap peredaran anggota itu meliputi provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera hingga Sulawesi. 

Mengemban amanah selama enam tahun tersebut sungguh tidaklah mudah, sebab saya harus pandai mengelola kehendak, minat dan potensi komunal. Sebagai pengurus saya harus tahu diri dan sadar posisi. Dalam benak saya mulai ada proyeksi narasi dan aksi idealisme kemaslahatan umat yang harus dipancangkan dan dipertanggungjawabkan ke hadapan khalayak. Yang demikian hadir secara eksplisit sembari menyisihkan egosentris diri sebagai anggota biasa yang bebas. 

Setelah direnungi dan menghayati peran pengurus harian SPK TA selama ini, saya membuat simpulan bahwa menjadi pengurus itu tidaklah rugi justru melejitkan potensi diri. Anda tidak percaya? Mari kita lucuti bersama, hitung-hitungan beban dan risiko yang diterima. Kalkulasi ini tentu bersifat subjektif, karena banyak bertumpu pada pengalaman berkomunitas personal. 

Mungkin benar, secara kasat mata pemikiran, tenaga dan waktu saya banyak tersita untuk mengelola komunitas. Tetapi sejatinya kebebasan saya sama sekali tidak terenggut. Justru saya bisa mengekspresikan diri secara bebas selama itu tidak menabrak idealisme kemaslahatan bersama. Yang perlu saya kedepankan hanya mengendalikan pandangan, opitimis dan positif thinking dalam segala tindak tanduk. Ada persepsi yang berkeliaran dalam benak, bahwa sebagai pengurus ya harus menjadi teladan. 

Teladan dalam segala hal. Meski faktanya keteladanan itu bersifat kompleks, namun setidaknya kita telah mengupayakan semaksimal mungkin. Berusaha menitikberatkan pada beberapa asek fundamental seperti manajemen kesibukan, mendidik diri untuk terus menulis hingga berusaha menyelaraskan antara minat dan pekerjaan. Tiga hal yang tampak sepele namun sukar dalam aksi. Utamanya tatkala dihadapkan dengan kesibukan banyak di antara kita yang menjadikannya kilah dan kambing hitam untuk tidak menulis. 

Much. Khoiri dalam buku SOS Sopo Ora Sibuk (2020: 7-17) pada hakikatnya semua manusia itu sibuk, namun kesibukkan tersebut tergantung pada persepsi dan penyikapan diri kita pribadi. Ada orang yang menuhankan kesibukannya sendiri dan ada pula yang berusaha menikmati. Tipikal orang pertama memandang kesibukan dengan wajah negatif dan ancaman sehingga memposisikan kesibukkan sebagai batu sandungan. Batu sandungan untuk tidak survive, stagnasi dan tidak berkembang. 

Berkebalikan dengan itu, kategori orang yang berusaha menikmati kesibukan ia memandang sibuk dengan wajah sumringah. Memandang kesibukkan sebagai kesempatan dan tantangan untuk melakukan transformasi diri. Setiap waktu adalah gelangan untuk mencari solusi terbaik. Yang terpatri dalam dirinya adalah bagaimana ia bisa tetap produktif dengan memanfaatkan waktu luang sembari mencari waktu utama untuk terus berkarya.

Apakah amanah dan tanggung jawab itu menjadi beban? Sehingga menghambat tumbuh-kembang dalam berproses dan melahirkan karya. Tentu tidak, bagi orang yang menyukai tantangan, suka merenung dan mengelola diri semacam saya amanah itu adalah berkat. Berkat yang berarti kesempatan lapang saya untuk banyak belajar tentang leadership, manajemen dan mengorganisir potensi diri. Bahkan saya banyak belajar tentang mengelola kekurangan diri menjadi potensi. Saya belajar mengubah kekurangan itu menjadi peluang untuk memanfaatkan berbagai kesempatan. 

Terkait hal ini saya mengamini apa yag ditegaskan Nginun Naim dalam buku Self Development Melejitkan Potensi Personal, Sosial dan Spiritual (2015: 53-62) bahwa kesadaran akan kekurangan dan keterbatasan diri menjadi senjata ampuh untuk melakukan pengembangan diri. Pengembangan itu ditempuh dengan banyak belajar, membaca dan terus berusaha keras meningkatkan kualitas diri. 

Usaha yang keras dan tidak putus asa adalah jalan menerobos keterbatasan diri. Adanya kegigihan upaya ini menjadi pembeda utama antara orang sukses dan melas. Orang sukses senantiasa menjadikan kekurangan sebagai pijakan untuk berkembang dan transformasi diri. Sedangakan orang melas hanya mampu meratapi dan menyesali atas segala kekurangan yang dimiliki oleh diri. 

Jika dibolehkan untuk jujur. Jujur saya ini belepotan tatkala berbicara dan kaku secara sosial, namun amanah itu mendorong saya untuk keluar dari kekurangan itu. Dituntut untuk melakukan transformasi diri secara cepat dan tepat. Dalam berbagai kegiatan komunitas yang diinisiasi: Risalah Ramadhan, Ngaji Literasi, Safari Literasi hingga Writing Tour selaku yang dituakan saya dituntut untuk tampil di depan. Orang pertama dalam menghadapi setiap keadaan. Belakangan saya juga diminta untuk menginisiasi lahirnya poadcast Ruang Inspirasi dan buletin Beranda Aksara milik SPK pusat. 

Saya kerap turun gunung langsung untuk melakukan mobilisasi massa. Saya pribadi memiliki keyakinan, kepemimpinan yang baik adalah model leader bukan otoriter. Di banyak kesempatan saya juga melobi langsung pemateri atau narasumber. Khusus dalam program Ngaji Literasi saya mendapuk peran sebagai moderator abadi. Serta bertugas sebagai narasumber dalam program Safari Literasi. 

Semua proses itu benar-benar saya nikmati. Sama sekali tidak dibuat beban. Sepenuhnya saya menyadari bahwa tahapan panjang itu adalah modal melejitkan diri. Utamanya menempa potensi public speaking, mampu menjadi speaker dadakan, mampu melakukan ice breaking dan komunikatif. Sementara kesadaran writting is selling adalah postulat yang harus digenggam erat oleh diri saya pribadi maupun anggota SPK TA secara keseluruhan selaku penulis. 

Selain itu, faktanya kesibukan saya sebagai pengurus juga tidak menjadi kilah mujarap untuk tidak setor tulisan wajib. Silakan cek jejak digital rekapitulasi setor tulisan wajib di grup WA SPK TA. Justru karena amanah itu pula saya berusaha keras dan menetapkan target diri untuk terus melampui batas diri dalam melahir karya solo dari tahun ke tahun. Terhitung mulai sejak bergabung dengan komunitas SPK TA saya sudah melahirkan sembilan buku solo. Sedangkan buku yang ada di hadapan anda ini adalah karya saya kesepuluh. 

Semua yang saya tuai dan rasakan ini sungguh saya berharap juga dapat dirasakan oleh khalayak anggota SPK TA. Sebab, pada dasarnya seluruh program SPK TA memang sengaja dirancang untuk memberdayakan potensi semua anggota. Ekspektasi saya semua potensi anggota akan terkelola dengan baik dan melejit bersama. Buku-buku solo terlahir berduyun-duyun. Semua anggota pandai melakukan personal branding, menebar pengaruh positif dan menjadi angin segar untuk membuminya tradisi literasi di bumi pertiwi. 

Dalam konteks mendokumentasikan jejak menjadi bagian dari komunitas itulah buku Rahim Komunitas Jalan Pintas Mewujudkan Mimpi Menjadi Penulis dibuat. Melalui buku ini pembaca diajak untuk membongkar dan mendedah strategi mengelola komunitas literasi. Tidak hanya mengelola namun juga disadarkan untuk meninjau ulang betapa besar manfaat dan keuntungan yang akan diraup ketika mampu tumbuh-kembang bersama di dalam komunitas. 

Terdapat tiga pembahasan utama yang diulas dalam buku ini. Dengan mengusung topik menikmati proses, bab pertama mengajak pembaca mengukuhkan tekad awal menjadi penulis. Apakah langkah dan tahapan yang anda lalui selama ini sebagai penulis sudah terdisiplinkan atau belum, semua terhimpun dalam sepuluh topik pembahasan. 

Melalui topik kepak sayap literasi, bab kedua menyodorkan sembilan artikel yang mengulas sepak terjang dan strategi SPK TA membumikan literasi. Semuanya dikemas dengan berbagai pendekatan dan program kegiatan yang rupa-rupa disesuaikan dengan ruang lingkup, tujuan dan apa yang menjadi target. 

Sedangkan bab tiga fokus mengulas tentang spirit melejitkan diri. Momentum, media dan sarana yang efektif untuk membangun semangat yang kadang fluktuatif diulas dalam bab ini.  Enam artikel utama tertuang membicarakan hakikat dan yang dituai dari kopdar, esensi berkomunitas hingga aksi nyata getok tular melek literasi.

Buku ini terbit bukan di ruang yang hampa, melainkan terwujud karena adanya dukungan dari berbagai pihak. Kedua orangtua, kakak, adik, guru dan sahabat. Semuanya semata-mata karena Pelajaran, doa dan keberkahan mereka. Untuk itu, please, berikan hadiah yang terbaik: Panjatkan Al-Fatihah dan salawat untuk mereka semua. Shallu ‘alan-Nabi!

Terakhir, dengan sepenuh hati saya sadar bahwa buku ini banyak kelemahan. Oleh sebab itu, kedua tangan saya selalu terbuka untuk menerima kritikan dan masukan. Apa yang saya terima akan menjadi bahan perbaikan untuk karya selanjutnya. Besar harapan saya, semoga buku ini dapat memberikan manfaat sekecil apa pun itu. Selamat membaca. 

Tulungagung, 10 Oktober 2024

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam aktiv

Make a Deal

Gambar: Dokumentasi Pribadi saat bertamu di kediaman mas Novel Jauh sebelum bedah buku Tongkat Mbah Kakung digemakan sebenarnya secara pribadi saya berinisitif hendak mengundang mas Novel ke SPK Tulungagung. Inisiatif itu muncul tatkala saya mengamati bagaimana himmah dan ghirah literasi dalam dirinya yang kian meggeliat. Terlebih lagi, 2 tahun belakangan ia berhasil melahirkan dua buku solo: Tongkat Mbah Kakung: Catatan Lockdown dan Teman Ngopi (Ngolah Pikir) . Dua buku solo yang lahir dibidani oleh Nyalanesia.  Apa itu Nyalanesia? Nyalanesia merupakan star up yang fokus bergerak dalam pengembangan program literasi di sekolah secara nasional. Karena ruang lingkupnya nasional maka semua jenjang satuan pendidikan dapat mengikuti Nyalanesia. Hanya itu? Tidak. Dalam prosesnya tim Nyalanesia tidak hanya fokus memberikan pelatihan, sertifikasi kompetensi dan akses pada program yang prover,  melainkan juga memfasilitasi siswa dan guru untuk menerbitkan buku.  Konsepnya ya memberdayakan pot

Deskripsi dihari Wisuda

                   Acara wisuda II IAIN Tulungagung, akhirnya telah diselenggarakan pada hari kemarin, yang lebih tepatnya pada hari Sabtu, (05/9) pagi-siang. Tempat tamu yang telah tersedia dan tertata rapi pun akhirnya mulai dipadati oleh para calon wisudawan, wisudawati dan para tamu undangan.           Acara yang telah teragendakan jauh-jauh hari oleh kampus tersebut pun Alhamdulillah berjalan dengan baik dan khidmat, (husnudzon saya). Pasalnya hal yang demikian dapat dilihat, dipahami dan dicermati dari jalannya acara tersebut yang tidak molor (memerlukan banyak waktu).        Hari itu telah menjadi saksi bisu sejarah kehidupan (baik parsial/kolektif) yang menegaskan adanya sesuatu hal yang istimewa, penting dan berharga. Tentu saja semua itu dipandang dari framework umat manusia yang lumrah.           Gejolak rasa parsial pun pastinya tidaklah lepas dari pengaruh keadaan yang sedang terjadi. Namun nampaknya rasa bahagia pun menjadi dominan dalam menyelimuti diri. Hal