Selamat datang di ceruk refleksi penulis. Ceruk refleksi karena memang buku ini tidak lain adalah serpihan memori, pandangan dan gagasan serta pengalaman kehidupan penulis. Oleh sebab itu maka jangan heran jika semua pembahasan dalam buku ini dikemas menggunakan bahasa yang ringan agar mudah diterima oleh pembaca yang budiman dari berbagai kalangan dan latar belakang. Tanpa memilah-milah ataupun bermaksud mengdiskreditkan berbagai profesi dan peran semuanya dapat menikmati buku ini.
Pemilihan kata ‘ceruk’ dalam konteks ini sangatlah tepat, mengingat pengalaman personal menjadi pijakan utama dalam menuangkan ide demi ide sehingga menjadi tulisan utuh. Dengan demikian membaca buku ini berarti sama dengan anda diajak untuk duduk dan berada di posisi yang dirasakan oleh penulis. Singkat kata ada upaya transfer gejolak psikis dan emosional dari pengalaman empiris yang dilalui secara personal.
Membaca bagian demi bagian buku ini bak anda duduk di rangkaian lokomotif kereta tertentu sekaligus masuk ke dimensi lorong waktu. Mungkin benar setiap penumpang fokus pada tujuan yang sama akan tetapi dalam sepanjang perjalanan tidak semua menuai hasil yang sama persis. Pun begitu juga yang disodorkan dalam buku ini, mungkin anda menemukan persoalan yang kerap anda temui dalam hidup sehari-hari namun penulis mengemasnya dengan pandangan dan pendekatan yang berbeda.
Begitulah kehidupan yang manusia lalui. Meski setiap orang berpijak di bumi yang sama namun masing-masing orang pasti memiliki perjalanan hidup yang berbeda. Terlampaui banyak faktor yang membuatnya menjadi berbeda. Gejolak psikis, emosional, pengetahuan, pandangan, pendekatan, pengaruh lingkungan, latar belakang pendidikan, dunia kerja dan lain sebagainya sangat dimugkinkan memengaruhi kualitas dan terjal tidaknya proses perjalanan hidup kita.
Dalam menikmati perjalanan hidup itu ada dua kategori manusia: Praksis dan kritis. Manusia praksis adalah golongan sistemis. Kubu yang memiliki pandangan dan melestarikan tradisi konsumeris, jatuh cinta pada uang dan menuhankan egosentris. Mereka memandang hidup sebagai sesuatu yang harus ada dalam genggaman diri. Alhasil mereka hanya bergerak dan mau berproses manakala ada hitung-hitungan materiil secara praktis.
Konsekuensi logisnya, besaran nominal (pamrih) menjadi pijakan dalam menjalani hidup. Manusia model ini sibuk memperkaya hidup diri sendiri dengan mengandalkan ilmu terapan dan jalan instan. Baginya, menjalani hidup ya harus persis yang dijalani khalayak umum: berlomba-lomba menumpuk harta, bahagia dan mencapai kesukseskan.
Suprianto dalam buku Bersukur dan Temukan Keindahannya (2023: 3-5) menegaskan bahwa bertumpuknya harta bukan kadar bahagia dan simbol kesuksesan. Sebab kekayaan materi adalah candu. Candu karena seberapa pun kadar dan kuantitasnya metari orang hanya akan terperangkap dalam zona tidak puas. Yang terpatri dan terbersit dalam benak manusia justru sebaliknya: sibuk mencari cara untuk terus menambah dan menambah hingga mulutnya benar-benar tersumpal tanah. Yang demikian terjadi karena memang tabiat manusia itu rakus, suka berlebihan dan tidak pernah puas. Manusia model ini sukar untuk bersyukur dan bahagia.
Sebaliknya, sifat iri dan dengki akan menyeruak kecang dalam dirinya manakala melihat orang lain merasakan bahagia dan sejahtera. Tantrum memandang bagaimana orang lain bisa menikmati hidup tanpa membanding-banidngkan, tidak terbelit utang dan mudah bahagia bagaimana pun kondisi hidupnya. Ia heran bukan kepalang tatkala melihat orang yang hidupnya pas-pasan namun masih bisa berbagi dan memancarkan cinta yang tak ada batasnya. Bak hidup bukan hanya untuk dirinya namun tentang kebernilaian—memberi manfaat sekecil apa pun—bagi sesama.
Berkebalikan dengan manusia praksis, manusia kritis adalah kalangan konstruktif dan berkesadaran. Orang yang memandang bahwa hidup itu harus bernilai, bermakna dan berarti, minimal bagi diri sendiri utamanya bagi yang lain. Mereka mengartikan hidup sebagai proses berkelanjutan dan membangun perabadan. Semua itu hanya akan terwujud manakala masing-masing orang meletakkan diri sebagai bagian dari sosok yang gigih dan terus belajar.
Gigih dan terus belajar dalam upaya melahirkan inovasi ataupun kreativitas tanpa batas. Termasuk melahirkan inovasi dan kreativitas dalam menghadapi tantangan zaman dari masa ke masa. Kendati begitu proyek besar itu tidak akan pernah tuntas manakala tidak dimulai dari upaya masing-masing orang mengatasi keterbatasan diri.
Ngainun Naim dalam Self Development Melejitkan Potensi Personal, Sosial dan Spiritual (2015: 53-62) mejelaskan bahwa upaya mengatasi keterbatasan diri dimulai dengan menemukan titik kesadaran atas keterbatasan diri. Penemuan kesadaran atas keterbatasan diri itu dapat terjadi kapan pun, utamanya tatkala orang yang bersangkutan tersebut berada pada titik nadir terendah dalam hidupnya.
Bisa jadi manakala peristiwa tertentu menimpa diri. Mungkin pula saat keadaan dan kondisi tertentu yang menampar diri. Setelah itu dalam diri akan timbul tekad untuk berubah. Perubahan yang dimaknai ingin sukses dan bahagia. Jalan keluarnya hanya satu yakni melakukan pengembangan dan penempaan diri. Banyak belajar, membaca dan terus meningkatkan kualitas diri.
Hanya dengan jalan itulah transformasi diri akan tertuai; kita akan mampu keluar dari zona nyaman keterbatasan diri. Kemudian dalam prosesnya kita dituntut untuk gigih dan sabar, sebab pengembangan dan pemenpaan itu akan panjang. Proses yang tidak bisa ditebus dengan waktu yang singkat dan instan. Namun semua itu tidak akan terasa dan berarti apa-apa manakala memiliki tekad kuat yang membara hingga akhirnya menikmati hasil nyata di depan mata.
Yakinlah tidak ada proses yang membohongi hasil. Di titik inilah justru kita akan mampu menyaksikan bahwa keterbatasan itu dapat terlampui dan betapa banyak potensi diri yang dimiliki namun kita saja selama ini belum menyadarinya.
Terkait hal ini Steve Henry dalam You Are Really Rich You Just Don’t Kniw It (2009) menyebutkan bahwa setiap manusia sesungguhnya sangat kaya. Kaya dengan berbagai potensi yang terpendam di dalam diri. Saking bernilainya potensi tersebut bahkan tidak mampu terbeli dengan kadaritas nilai mata uang (materi) apa pun. Yang perlu dilakukan oleh manusia adalah terus berusaha menggali potensi kuat dalam dirinya. Sebab potensi itu adalah harta karun yang akan membuatnya kaya dengan makna sebenar-benarnya. Kaya kualitas diri, hati dan pengetahuan serta lain sebagainya. Hanya kaya yang tidak terbatas pada materi manusia akan terus bersyukur, bahagia dan sukses.
Dalam konteks menjadi manusia kritis inilah buku ini dibuat. Setidaknya terdapat beberapa alasan logis mengapa buku ini disusun. Pertama, penulis terinspirasi bagaimana Ajip Rosidi mampu menjadi sosok kritis pada masanya; lentera literasi pada zamannya. Termasuk di dalamnya tatkala membuat buku Surat-surat Ti Jepang (2017) begitu telaten mendokumentasikan jejak kehidupannya di Jepang hingga terbit 6 seri buku dalam bahasa daerah, Sunda. Fakta itu menegaskan bahwa semangat literasi dalam diri pada kenyataanya tidak dibatasi distingsi geografis. Pembahasan bukunya pun tidak jauh-jauh dengan rutinitas kehidupan sebagai seorang suami, penulis dan akademis.
Kedua, membaca buku Literasi Dari Brunei Darussalam Kisah, Pelajaran dan Hikmah Kehidupan karya Ngainun Naim (2020) menampar diri penulis bahwa perjalanan pun mampu menjadi ide untuk menulis. Terlebih, seiring berjalannya waktu sifat ingatan manusia itu mudah lupa maka hanya melalui catatanlah kisah, hikmah dan pelajaran atas hidup dapat diingat kembali.
Yang demikian menegaskan kebenaran adagium verba volant scripta manent, perkataan hanya mampu menggema dalam waktu singkat sedangkan apa yang ditulis—tulisan selama ada pembacanya—mampu melintasi zaman. Semanagat literasi yang mendarahdaging itulah yang harus diteladani. Intinya, sebagai seorang penulis apa pun bisa menjadi ide dan bahan untuk terus berkarya.
Ketiga, sebagai seorang guru kesadaran saya terhiyak manakala membaca buku Guru Digugu, Guru Ditiru (2024: ix-xiv) yang disunting M. Husnaini. Dalam pengantarnya yang berjudul Pesan Literasi dari Buya Syafii Maarif beliau menandaskan bahwa tidak sedikit penyandang gelar pendidikan tinggi (termasuk guru di dalamnya saya kira) lebih senang berbicara, menonton dan mendengar dibandingkan menggeluti tradisi membaca dan menulis adalah fakta yang ironis.
Fakta menyedihkan ini yang kerapkali penulis saksikan sehari-hari selama berada di lingkungan kerja sebagai guru. Tak jarang, mayoritas guru lebih gemar menghabiskan waktu untuk hal sia-sia dan kesenangan belaka dibandingkan mengisi waktu dengan kegiatan membaca, berpikir, meneliti dan menulis. Terkait hal ini saya sepakat dengan pandangan Ngainun Naim dalam buku The Power of Writing Mengasah Keterampilan Menulis untuk Kemajuan Hidup (2015) yang menyatakan bahwa tidak ada jaminan seorang pendidik yang setiap hari mengajar otomatis bisa menulis. Sebab untuk bisa menulis membutuhkan latihan yang konsistensi.
Padahal esensi menjadi guru sama dengan mencemplungkan diri ke dalam samudera ilmu. Samudera kautsar yang hanya akan diseberangi oleh seorang pembelajar sejati. Sosok yang tidak pernah berhenti untuk terus belajar, berdampak dan berkarya. Karena bagaimanapun guru itu setidak-tidaknya penyandang gelar pendidikan tinggi yang harus lekat dengan tradisi membaca, berpikir, meneliti dan menulis.
Tanpa tradisi literasi yang mengakar rumput tersebut guru sama dengan orang biasa yang terjebak dalam sindrom oral, audio-visual dan pandai dalam urusan teknis mengelola pendidikan. Sebagai dampaknya, (Maaf), cara berpikir, wawasan dan pandangan serta pengambilan keputusan guru yang alergi bahkan tuna literasi akan bersifat dangkal, tak ada bedanya dengan orang yang tidak berpendidikan tinggi.
Melek literasi bagi seorang guru adalah keharusan, mengingat perannya sebagai tonggak membangun peradaban. Mendidik dan mencetak generasi bangsa tanpa pendekatan yang relevansi sesuai zaman dan wawasan yang mendalam tentu hanya akan menghasilkan luaran yang alakadarnya. Luaran yang tidak memiliki kualitas sesuai tuntutan zaman. Jauh dari harapan, ekspektasi dan apa yang dicita-citakan. Jika telah demikian, lantas bagaimana mungkin kita akan sampai pada pembicaraan level mutu.
Keempat, tamparan yang sama keras diberikan pula oleh Omjay (sapaan akrab dari Wijaya Kusumah) melalui buku Catatan Harian Seorang Guru Blogger (2020: 1-4) menyatakan bahwa guru itu ya harus suka menulis jangan hanya disibukan dengan urusan sekolah. Menulis apa pun dan dalam bentuk apa pun itu. Bagaimana pun menulis adalah proses penting dalam menata pikiran, mendewasakan dan membentuk karakter sang penulis. Sebab untuk menghasilkan tulisan seseorang harus rajin membaca, berpikir dan meneliti. Tentu proses itu dilakukan sesuai dengan topik pembahasan yang ditulis.
Setelah senang menulis, belajarlah membuat akun blogger. Tuangkan segala hal melalui tulisan di dalam blog. Mulailah menulis dari apa yang anda sukai dan kuasai. Namun jangan lupa juga untuk melakukan kegiatan blog walking supaya anda tidak kehabisan ide untuk menulis. Yakinlah setiap artikel yang anda tulis akan menemui takdirnya masing-masing di hadapan pembaca. Yang perlu anda lakukan hanyalah dua: teruslah menulis tanpa menghiraukan cibiran orang dan teruslah menulis tanpa menyelipkan pamrih di setiap postingan.
Dalam kerangka empat alasan itulah buku Beranda Aksara Refleksi Menghayati Asa dan Cita ini lahir. Penulis hendak membuktikan kepada khalayak umum—utamanya kepada diri penulis pribadi—bahwa masih ada guru yang melek dan sadar akan literasi. Kendati jika berbicara level kualitas tentu api masih jauh dari panggang. Akan tentapi semangat dan upaya membangun tradisi literasi itu terus dipancangkan meski dengan kecepatan yang terbilang sangat pelan. Kedepannya, menghayati dan menikmati peran guru dalam kerangka kerja seorang intelektual: membaca, berpikir, meneliti dan menulis harus konsistensi dibumikan.
Tiga puluh topik pembahasan terhimpun dalam lima bab di buku ini. Bab pertama memuat lima topik utama dengan judul Pengalaman sebagai Guru Terbaik. Kisah perjalanan penulis mengikuti workshop, terlibat aktif dalam ajangsana tahfidz hingga berkunjung ke pabrik tempe Murni Surya terangkum di dalamnya.
Menghayati Peran Guru adalah judul bab kedua. Bab ini menghimpun lima belas tulisan sebagai refleksi diri dua tahun lebih saya berperan sebagai guru badal hingga menjadi kepala sekolah di Lembaga Pendidikan Islam Tahfidz Baitul Qur’an Tulungagung. Padahal sebelumnya penulis tidak membayangkan akan berkecimpung dalam dunia pendidikan mengingat jenjang pendidikan yang ditempuh di perguruan tinggi non pendidikan. Maka benar adanya jika kemudian saya menyebutkan diri: tersesat dalam jalan kebenaran.
Dalam bab ketiga: Bukan Sembarang Nonton penulis menegaskan bahwa apa yang anda tonton sejatinya mampu menjadi ide untuk menulis. Tentu saja dikemas dengan pendekatan dan analisis yang relevan. Alhasil, sesuatu yang mulanya tampak sederhana akan jauh lebih menarik untuk dibahas di ruang publik. Tiga pembahasan didedah dalam bab ini.
Adapun bab keempat mengusung judul Aksi Literasi. Bab ini fokus mendedah aksi nyata literasi yang melibatkan penulis, mulai dari pelatihan dan menghidupkan literasi di sekolah, berusaha memberikan kata pengantar untuk buku perdana siswa SDIT Baitul Qur’an hingga proses menyempurnakan buku solo. Proses kreatif itulah yang dipotret dalam empat topik di buku ini.
Sedangkan refleksi menghayati momentum peringatan hari besar islam, yakni Isra Mi’raj dan Ramadan adalah fokus pembahasan bab terakhir, kelima. Melalui tiga artikel penulis menegaskan bahwa peringatan momentum sakral dalam agama islam itu selalu memberikan hikmah yang mendalam bagi umat islam. Baik itu ditinjau dari menajalankan ritus ataupun efouria sosial yang melingkupinya.
Tentu buku ini terbit karena adanya dukungan dari berbagai pihak. Kedua orangtua: Ibu Jursih dan Bapak Eman, kakak, adik, guru dan sahabat. Semuanya semata-mata karena pelajaran, doa dan keberkahan mereka. Untuk itu, please, berikan hadiah yang terbaik: Panjatkan Al-Fatihah untuk mereka semua. Shallu ‘alan-Nabi!
Terakhir, penulis sadar bahwa buku ini banyak kelemahan. Oleh sebab itu, dengan terbuka kedua tangan penulis selalu menerima kritikan dan masukan. Apa yang penulis terima akan menjadi bahan perbaikan untuk karya selanjutnya. Penulis berharap, semoga buku sederhana ini dapat memberikan manfaat sekecil apa pun itu. Selamat membaca.
Tulungagung, 14 Oktober 2024
Komentar
Posting Komentar