Langsung ke konten utama

Potret Jejak Literasi

Dokpri cover buku Dari Kopdar ke Kopdar

Selamat datang di tambang ingatan saya. Tambang ingatan karena memang buku solo kesembilan saya ini sengaja disusun untuk mendokumentasikan perjalanan transformasi diri dalam dunia literasi. Lebih tepatnya mengabadikan jejak menjadi bagian dari perhelatan kopdar dua komunitas literasi nasional: Sahabat Pena Kita dan Rumah Virus Literasi yang melibatkan saya didalamnya. Kultur prosesi kopdar terpotret dengan baik dalam buku ini.

Kopdar komunitas literasi bagi—penulis pemula seperti—saya ibarat hutan rimba yang eksotis. Eksotis karena menyimpan keindahan dan keistimewaan yang belum terekspos ke muka dengan leluasa. Terlebih belum tentu khalayak umum mampu menjamah dan menikmati setiap ceruk meski diberikan kesempatan yang sama. Kendati begitu untuk benar-benar mampu menikmatinya saya harus berani keluar dari zona nyaman. Berani strugle untuk meng-uprage diri, lebih terbuka dan melakukannya dengan berkesinambungan. Sebab hanya dengan formula yang demikian saya bisa beradaptasi, mengimbangi dan setara dengan perkembangan anggota komunitas lain. 

Ya, memang berkomunitas itu—termasuk berpartisipasi aktif dalam kopdar—pada dasarnya adalah jalan untuk berkembang dan mengasah skill. Sebagai jalan ya harus ditempuh dengan baik sampai akhir. Meski kemudian dalam berliterasi tidak pernah ada kata akhir. Yang ada adalah waktu kita belajar di dunia telah berakhir. Ditempuh dengan baik, bukan berarti perjalanannya mulus dan mudah menuai hasil. Tanpa adanya proses tampaknya sangat mustahil kita akan mendulang hasil maksimal. Jadi, sangatlah rugi jikalau anda berkomunitas namun memilih jalan untuk vakum, terlebih jikalau komunitas yang anda ikuti itu berbayar. 

Berkomunitas tanpa pernah mengikuti kopdar adalah muspra. Ibarat Idulfitri di masa corona. Lebaran namun tidak bisa berkumpul menikmati indahnya hari raya bersama famili yang ada. Sebab kopdar bukan sekadar pertemuan biasa melainkan upaya menyambung nyawa. 

Konteks menyambung nyawa di sini merujuk pada banyak hal positif yang dapat dituai dari perhelatan kopdar. Mulai dari menyambung tali silaturahmi, menyambung sanad keilmuan, me-charge geliat literasi diri, pelesir dan lain sebagainya. Satu momentum langka yang sungguh tidak bisa ditebus dengan ukuran materi. Kebernilaian itu terletak dalam jangka panjang bukan kurun waktu yang pendek. 

Mengapa saya memberanikan diri menulis buku ini? Setidaknya ada dua alasan yang mendasari. Pertama, terbitnya buku Dari Kopdar ke Kopdar Lungguh, Suguh dan Gupuh ini tidak lain adalah akumulasi bentuk syukur saya atas nikmat luar biasa dari sang MahaKuasa. Tanpa nikmat-Nya sungguh tak mungkin saya dapat menyelesaikan naskah sesuai target. 

Kedua, buku ini adalah bukti tanggung jawab moral saya sebagai seorang penulis. Meski topik yang ditawarkan ke muka mungkin receh (remeh-temeh; sangat sederhana) namun setidaknya saya tidak sekadar omong kosong: Berkomunitas literasi namun nihil akan karya. Tidak terus berkilah di balik kesibukan hingga alfa berkarya. 

Jika boleh saya jujur, proses perampungan naskah ini sungguh tidaklah mudah, sebab saya harus memungut dan menyusun puzzle ingatan dalam rentang dua tahun ke belakang. Mengapa demikian? Sebab runtut kejadiannya memang seperti itu. Dalam konteks ini, pengalaman sebagai modal utama menulis. Jadi sangatlah tepat jika di awal saya menyebutnya sebagai tambang ingatan. 

Gayung bersambut, saya masih beruntung ingatan yang remang-remang itu dikuatkan dengan tradisi merekam gagasan dan kejadian melalui alat perekam—aplikasi Google Workspace di smartphone—yang mengakar rumput dengan baik. Meski sekarang aplikasi itu telah lumpuh total di smartphone saya. Tampaknya saya wajib memiliki alat perekam termutakhir dan terbaik di abad ini.

Buku ini terdiri dari tiga bab pembahasan. Bab pertama mendedah empat belas topik ulasan seputar yang dituai dari kopdar Sahabat Pena Kita. Bab kedua menghimpun sepuluh topik tulisan tentang jejak kopdar RVL. Ada pun bab terakhir membahas tiga ulasan yang bertajuk menengguk air dari sumber. Majas alegori dari menikmati bingkisan sowan dari sang guru literasi.

Kehadiran buku ini tentu bukan di ruang yang hampa, melainkan ada karena dukungan berbagai pihak. Kedua orangtua, kakak, adik, guru dan sahabat. Semuanya semata-mata karena pelajaran dan keberkahan mereka. Please, berikan hadiah yang terbaik: Panjatkan Al-Fatihah dan salawat untuk mereka. Shallu ‘alan-Nabi!

Terakhir, sepenuhnya saya sadar bahwa buku ini banyak kelemahan. Oleh sebab itu, kedua tangan saya selalu terbuka untuk menerima kritikan dan masukan. Apa yang saya terima akan menjadi bahan perbaikan untuk karya selanjutnya. Besar harapan saya, semoga buku ini dapat memberikan manfaat sekecil apa pun itu. Selamat membaca. 

Tulungagung, 12 Oktober 2024

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam aktiv

Make a Deal

Gambar: Dokumentasi Pribadi saat bertamu di kediaman mas Novel Jauh sebelum bedah buku Tongkat Mbah Kakung digemakan sebenarnya secara pribadi saya berinisitif hendak mengundang mas Novel ke SPK Tulungagung. Inisiatif itu muncul tatkala saya mengamati bagaimana himmah dan ghirah literasi dalam dirinya yang kian meggeliat. Terlebih lagi, 2 tahun belakangan ia berhasil melahirkan dua buku solo: Tongkat Mbah Kakung: Catatan Lockdown dan Teman Ngopi (Ngolah Pikir) . Dua buku solo yang lahir dibidani oleh Nyalanesia.  Apa itu Nyalanesia? Nyalanesia merupakan star up yang fokus bergerak dalam pengembangan program literasi di sekolah secara nasional. Karena ruang lingkupnya nasional maka semua jenjang satuan pendidikan dapat mengikuti Nyalanesia. Hanya itu? Tidak. Dalam prosesnya tim Nyalanesia tidak hanya fokus memberikan pelatihan, sertifikasi kompetensi dan akses pada program yang prover,  melainkan juga memfasilitasi siswa dan guru untuk menerbitkan buku.  Konsepnya ya memberdayakan pot

Deskripsi dihari Wisuda

                   Acara wisuda II IAIN Tulungagung, akhirnya telah diselenggarakan pada hari kemarin, yang lebih tepatnya pada hari Sabtu, (05/9) pagi-siang. Tempat tamu yang telah tersedia dan tertata rapi pun akhirnya mulai dipadati oleh para calon wisudawan, wisudawati dan para tamu undangan.           Acara yang telah teragendakan jauh-jauh hari oleh kampus tersebut pun Alhamdulillah berjalan dengan baik dan khidmat, (husnudzon saya). Pasalnya hal yang demikian dapat dilihat, dipahami dan dicermati dari jalannya acara tersebut yang tidak molor (memerlukan banyak waktu).        Hari itu telah menjadi saksi bisu sejarah kehidupan (baik parsial/kolektif) yang menegaskan adanya sesuatu hal yang istimewa, penting dan berharga. Tentu saja semua itu dipandang dari framework umat manusia yang lumrah.           Gejolak rasa parsial pun pastinya tidaklah lepas dari pengaruh keadaan yang sedang terjadi. Namun nampaknya rasa bahagia pun menjadi dominan dalam menyelimuti diri. Hal