Dokpri: Foto Slide Presentasi Gol A Gong
Perjalanan melalang buana ke berbagai negara benar-benar dimanfaatkan betul oleh Gol A Gong. Lahirnya novel petualangan, catatan perjalanan dan puisi yang bertajuk petualangan adalah bukti konkret pengalaman travelling itu menjadi ilham untuk berkarya tulis. Satu langkah besar yang kemudian mengubah nasib hidupnya sebagai penulis. Tidak hanya penulis namun dipercaya sebagai Duta Baca Indonesia.
Tidak cukup sampai di sana, faktanya di lain pihak beliau juga berusaha menuangkan ingar-bingar ide itu dalam formulasi yang menarik. Menarik dari segi bentuk dan isi yang dilecutkan secara nyentrik. Beliau meracik karya di luar keumuman yang berlaku. Jadi pesaran bukan? Dalam bentuk seperti apakah Gol A Gong menuangkan ide kreatifnya itu?
Fiksi mini, ya betul, itu jawabannya. Beliau berusaha memungut ide yang ditemukan dalam realitas sebagai modal untuk menulis fiksi mini. Maka tak pelak jika kemudian dalam workshop kopdar ke-2 RVL slide materi beliau diberi judul Dari Realitas ke Fiksi Mini. Sesuai namanya, fiksi mini (flash fiction) memiliki bentuk lebih pendek, ringkas dan sederhana daripada cerita panjang pendek (long short stories) dan cerita pendek (short stories).
Pengalaman adalah kekayaan personal yang dapat dieksplorasi keberadaanya. Termasuk pengalaman travelling dalam skala lokal atau pun mancanegara. Setiap orang bisa travelling ke mana saja sesuai kemampuan masing-masing. Namun tidak sedikit orang yang memaknai kegiatan pelesir itu sekadar hiburan, cuci mata dan numpang eksis di medsos. Tidak lebih dan kurang. Tak ada jejak yang benar-benar membekas dan berdampak dalam spektrum yang luas. Model pengalaman personal yang seperti ini kering dan buntu akan ide untuk ditulis.
Berbeda halnya jika kita melakukan perjalanan dengan penuh kesadaran dan penghayatan, dimana setiap ceruk yang kita lihat, nikmati dan melibatkan diri di dalamnya senantiasa menemukan formula 5W dan 1H. Selain menikmati proses kelangsungannya, kita selalu terjaga untuk bersikap kritis, analitis dan memotret bagian demi bagian yang menarik untuk diulas. Ditindaklanjuti dan eksplorasi lebih lanjut dalam bentuk dokumentasi yang tertulis.
Lantas, atas dasar apa kita akan menentukan sesuatu itu bernilai: Menarik untuk diulas atau tidak? Yang demikian dapat diketahui dari kepingan fakta, fragmen tentang tempat dan persepsi yang berkelindanan di khalayak masyarakat sekitar. Meski kemudian sudut pandang dan paradigma mana yang kita gunakan dalam pendedahan cerita sedikit banyak akan memberikan pengaruh.
Hemat Gol A Gong semua tempat yang kita singgahi pada dasarnya bisa menjadi bahan yang menarik untuk ditulis. Racikan yang pas dan komposisi yang tepat: antara penuangan ide, fakta dan imajinasi adalah kunci. Di penginapan, tatkala di jalan, bertemu orang baru, di mescusuar, di masjid, melihat kejadian dan lain sebagainya adalah ide yang bisa digodong hingga menjadi sebuah buku. 50 Fiksi Mini Pilihan Dari Mercusuar Cafe hingga ke Ruang Kelas adalah salah satu contoh buku fiksi mini karya Gol A Gong.
Pertanyaan mendasarnya adalah, mengapa kita harus menuangkan ide itu kedalam bentuk fiksi mini? Bukankah membuat catatan perjalanan atau pun refleksi lebih mengaysikan? Ada beberapa alasan yang perlu kita cerna saksama mengapa kita harus menuangkan ide dalam bentuk fiksi mini. Alasan itu berkaitan dengan pangsa pasar dan model pembaca di era digital mutakhir ini.
Pertama, era digital mengkonstruk kalangan netizen memiliki tradisi selalu terburu-buru. Bersikap terburu-buru dalam segala hal. Apa-apa maunya yang instan, anti ribet. Mirisnya lagi, yang demikian berdampak pada cara berpikir, bersikap dan mengambil keputusan. Tak terkecuali mendekonstruksi tradisi menyerap informasi yang kian terdistorsi. Memiliki kegemaran membaca informasi dengan terburu-buru sehingga mudah termakan hoaks. Membaca sembari terang-terangan menanggalkan sikap kritis dan analitis.
Kedua, harus kita akui bersama bahwa berselancar di piranti digital lebih sering membuat kita cepat bosan. Terlebih lagi jika konten yang kita baca dan tonton itu garing. Main scroll berkali-kali dan pindah buka medsos sana-sini adalah tanda tumbuh liarnya rasa cepat bosan di dalam diri seseorang. Ini adalah penyakit kedua orang yang gandrung eksis di medsos.
Ketiga, kebiasaan terburu-buru dan cepat bosan menjadikan orang tak suka dengan cerita yang terlalu panjang. Termasuk didalamnya berusaha menghindari status facebook, whatsapp ataupun instagram yang berisi tulisan panjang kali lebar. Kedua sikap sebelumnya, mengondisikan diri seseorang untuk mengonsumsi konten singkat dan menghibur. Maka jangan heran jika generasi z lebih cenderung suka joget viral di tiktok daripada membaca buku perpustakaan atau membeli buku di toko online.
Keempat, era digital menyebabkan setiap orang lebih suka menyendiri. Sebuah fakta yang tak dapat dinafikan, bahwa masyarakat dunia semakin dimudahkan dan terbantu oleh kemutakhiran dunia digital. Akan tetapi di saat yang bersamaan, sadar tidak sadar, masyarakat terkondisikan untuk tumbuh kembang dan diasuh oleh media digital dalam kesendirian. Baik buruk; benar salah secara fisik tampak terkungkung ruang namun hakikatnya seseorang itu sedang menerobos segala hal dalam kesendirian.
Sedangkan harus langsung terhubung (harus ada korelasi instan) adalah alasan yang terakhir. Dalam konteks ini, khalayak mulai muak dengan alur dan setting yang meliuk-liuk. Ada persepsi yang bergulir, bahwa sesuatu konten yang ia baca, dengar dan tonton akan dipilih dan dikonsumsi jika memiliki sangkutpaut dengan pembahasan sebelumnya. Dalam hal ini, faktanya kini kita bersaing ketat (bahkan beradu) antara konten yang disodorkan algoritma otomatis digital dengan konten yang kita dikehendaki.
Sebab lima alasan itulah fiksi mini menjadi pilihan yang tepat. Fiksi mini ibarat fast food yang memiliki resep jitu dan penuh sensasi. Fiksi mini dapat mencukupi dahaga netizen yang membutuhkan asupan hidangan cepat, tiba-tiba habis dengan penuh kejutan dan ingin nambah lagi. Persis pola konsumtif manusia modern yang maunya serba instan, memuaskan dan mudah ketagihan.
Mari kita buktikan bersama seberapa mini bentuk dari fiksi mini. Secara struktural, fiksi mini setidaknya harus memiliki empat ciri, yaitu: lebih ringkas dari cerita pendek, umumnya di bawah 1000 kata, cerita disesuaikan dengan media yang digunakan: Facebook, Twitter, Instagram atau pun website, dan bersifat suka-suka penulis: terdiri dari 300-500 kata alaskan mengikuti rambu-rambu persyaratan yang berlaku.
Apa syarat yang berlaku dalam fiksi mini? Ada tujuh syarat utama yang menjadi unsur penting fiksi mini. Tujuh unsur penting tersebut yakni berpikir minimalis, karakter harus kuat, setting cerita terjadi di satu waktu dan satu tempat, konflik selesai dengan plot twisted; plintiran cerita, alur cerita cepat dan cerita tidak bertele-tele.
Sesimple itulah unsur yang harus terpenuhi dalam menyusun fiksi mini. Namun, masalahnya sekarang bertambah. Harus dari manakah kita mulai menulis fiksi mini? Langkah itu yakni dimulai dengan menggali ide, menciptakan tokoh, membuat judul, menentukan setting lokasi, konfliknya seperti apa hingga menyusun ending yang mengejutkan. Nah, mudah bukan? Mari kita mulai menulis fiksi mini berbekal ide masing-masing.
Tulungagung, 19 September 2024
Komentar
Posting Komentar