Dokpri: Foto Slide Presentasi Gol A Gong
Dari tiga tradisi yang mengakar rumput tersebut, beliau menyoroti membaca sebagai kegiatan yang positif. Baik positif untuk fisik atau pun mental. Hemat beliau, setidaknya ada delapan manfaat yang dapat dituai dari kegiatan membaca. Manfaat itu baru akan dirasakan manakala kita mampu meluangkan waktu 30 menit per hari atau sekitar 3,5 jam per minggu untuk membaca buku. Apa sajakah itu? Mari kita simak saksama di bawah ini.
Pertama, membaca menjadikan otak lebih produktif. Membaca pada dasarnya adalah asupan gizi untuk otak. Melalui membaca banyak pengetahuan dan informasi yang diterima oleh otak. Otak akan menerima sekaligus mengolah informasi tersebut menjadi pemahaman yang tersimpan di memori. Kian disiplin membaca maka kian produktif otak melakukan kinerja.
Bukan sekadar kinerja transfer informasi dan pengetahuan dari buku menjadi bentuk pemahaman, namun lebih dari itu. Dalam kurun waktu yang panjang dan terdisiplinkan, proses itu akan meningkatkan daya ingat, lebih peka dalam menemukan ide sampai dengan mengkonfirmasi antar inventarisasi pemahaman yang telah disimpan dalam memori.
Kedua, membaca dapat menumbuhkan rasa empati. Kelumrahan dan konsekuensi logis yang berlaku, aktivitas membaca dipandang sekadar memperkaya diri secara personal. Penambahan wawasan pengetahun mutlak milik sang pelaku yang mejalani lelaku. Tidak berdampak pada lingkungan sekitar. Kutu buku yang introvert, acuh tak acuh terhadap gegap gempita kehidupan sosial.
Berseberangan dengan itu, Gol A Gong meyakini dan membuktikan bahwa faktanya tidak sebatas demikian. Yang kerap kali terjadi tradisi membaca justru menjadi pemantik untuk membangkitkan rasa peduli terhadap lingkungan. Tak jarang pembaca yang baik menjadi tulang punggung atas peradaban. Tak jarang pembaca menjadi inisiator, garda terdepan dan aufklarung di tengah-tengah polemik yang memporakporandakan tatanan kontinuitas kehidupan.
Sikap kritis, perasaan sepenanggungan dan penggunaan pisau analisis yang tepat dalam mengatasi berbagai polemik adalah kerampilan yang mendarahdaging. Keterampilan yang terus dilatih, diasah dan ditumbuhkembangkan dari proses transaksi psikologis antara penulis dan pembaca melalui tulisan. Terlebih, pembaca mampu mengekspresikan polemik yang sedang meradang kedalam sebuah tulisan hingga akhirnya menghimpun solusi dari berbagai sudut pandang.
Ketiga, fokus menghadapi masalah. Kebiasaan bergelut dengan rangkaian-ceruk kata membuat pembaca menjadi lebih cermat dan terstruktur. Cermat dalam memetakan masalah, gagasan dan solusi. Terstruktur dalam proses penguraian orientasi hingga konklusi. Yang demikian terjadi karena saat membaca kita dituntut menjaga fokus.
Pola ini hakikatnya juga mampu diimplementasikan dalam kehidupan sang pembaca. Rutinitas kehidupan kita akan berlangsung lancar manakala fokus. Fokus melakukan kegiatan mulai dari awal hingga akhir sehingga tidak ada hal yang terlewatkan. Termasuk di dalamnya fokus tatkala menghadapi masalah. Menghadapi masalah dengan fokus pada dasarnya kita digiring untuk menemukan strategi jitu menikmati prosesnya. Tidak gupuh dan lengah hingga dari masalah itu justru kita akan mendulang hikmah.
Keempat, menurunkan stress. Buku adalah destinasi imajinasi yang tak pernah sepi. Destinasi yang selalu menarik untuk dikunjungi. Cakrawala pengetahuan, gagasan hingga pelipur lara yang selalu setia menunggu pembaca menjemputnya. Semisal tatkala kita membaca novel, maka tak jarang pembaca dibuat larut dalam alurnya. Terkadang terpikal-pikal, haru biru hingga tegang karena alur cerita di dalamnya.
Itu artinya kegiatan membaca adalah dimensi pertautan imajinasi dan psikologis yang sengaja dibangun oleh seorang penulis. Sementara pembaca adalah pelancong di dalamnya. Sebagai pelancong ia bisa mengambil dua sikap: menikmati atau tersesat. Menikmati berarti pembaca larut dalam destinasi yang sama persis dibangun (dikehndaki) oleh penulis. Berkebalikannya, tersesat berarti pembaca tidak menikmati destinasi yang proyeksikan pembaca karena salah tafsir dan ada ekspektasi yang dibawa sebelumnya.
Kelima, terhindar dari insomnia. Rutinitas membaca buku cetak (hard print) sebelum tidur cenderung menjadikan tidur kita lebih baik dan berkualitas. Mengapa demikian? Sebab membaca buku (cetak) sebelum tidur mengoptimalkan kinerja indera penglihatan dalam ceruk aksara dan otak dalam dimensi imajinasi tertentu sebelum menuju kondisi alfa. Karena inilah membaca buku disebut mampu menjadikan seseorang terhindar dari insomnia.
Berbeda dengan membaca buku melalui gawai. Membaca buku digital melalui gawai justru akan membuat pembaca insomnia. Sebab cahaya yang dipancarkan gawai (gadget dengan versi lainnya) justru akan membuat pembaca untuk terus terjaga. Membuat pembaca sulit untuk memejamkan mata. Oleh sebab itu, sangat tidak dianjurkan membaca buku digital sebelum tidur jika anda ingin tidurnya berkualitas.
Keenam, membaca mencegah pikun. Demensia adalah penyakit orang di usia lanjut. Lumrahnya, semakin lanjut usia seseorang maka kapasitas dan kualitas kognitifnya akan mengalami penurunan. Maka tak ayal, jika banyak ingatan seseorang yang tak terselamatkan di usia sepuh. Kabar baiknya, penyakit itu dapat dicegah dengan tradisi membaca. Melalui tradisi membaca buku yang baik, fungsi kognitif dan memori akan terproteksi dengan baik.
Ada pun jika ternyata anda mengalami pikun di usia muda ada kemungkinan anda telalu alfa bergaul dengan buku. Hendaklah kurangi aktivitas menonton drakor, Tik Tok, youtube dan bermain game online yang penuh dengan toxic. Biasakanlah selembar dua lembar bagian dari buku mulai anda baca. Lebih bagus lagi jika anda mampu meluangkan waktu 30 menit setiap hari untuk membaca dan merefleksikan hasilnya dalam bentuk tulisan.
Ketujuh, meningkatkan harapan hidup. Mortalitas adalah keninscayaan yang tak dapat dipungkiri dalam hidup. Akan tetapi hasil penelitian membuktikan bahwa orang yang memiliki tradisi membaca buku yang mapan memiliki harapan hidup lebih lama. Mereka yang memiliki tradisi membaca buku 30 menit setiap hari mengalami kesempatan penurunan mortalitas 20% dibandingkan mereka yang tidak biasa membaca buku.
Spesifiknya lagi, mereka yang tidak membaca sama sekali atau sekadar membaca koran, majalah, dan media lainnya tidak seberuntung orang yang gemar membaca buku. Sebab, mereka yang terbiasa membaca buku secara rutin dalam kurun waktu standar cenderung memiliki harapan hidup dua tahun lebih lama. Lantas, mengapa anda tidak mulai membaca dari sekarang?
Sedangkan membaca dapat mengurangi depresi adalah pamungkas dari manfaat membaca. Maksudnya, pamungkas dalam pembahasan ini, bukan berarti pengerdilan--mendiskreditkan sekian banyak--manfaat tradisi membaca dari sudut pandang lain. Orang depresi umumnya diliputi perasaan merosot seperti tertekan, muram, sedih, kalut serta merasa terasing dan terisolasi dari lingkungan sekitar.
Singkatnya, depresi adalah penyakit mental. Kendati begitu penyakit ini dapat berkurang manakala yang bersangkutan (penderita) memiliki kebiasaan membaca buku. Membaca buku apa pun itu, baik fiksi atau non fiksi. Utamanya membaca buku yang bergenre motivasi diri (self help).
Mungkin kita masih ingat bagaimana sosok alm. BJ. Habibie begitu depresi tatkala ditinggalkan kekasih sejatinya, Ainun. Hingga akhirnya dokter merekomendasikan beliau untuk membaca dan menulis buku sebagai obat terbaik. Karena dua aktivitas itu pula beliau kembali move on dan bergairah menjalani hidup hingga kembali dalam pelukan Tuhan penuh kedamaian.
Tulungagung, 18 September 2024
Komentar
Posting Komentar