Langsung ke konten utama

Komunitas sebagai Akar

Dokpri: jejak kopdar di kediaman Prof. Naim


Kejenuhan dan kerapuhan terkadang menjadi tantangan laten yang acap kali susah dikendalikan seorang penulis single fighter. Bagi penulis solo (tanpa bergabung sebagai bagian dari komunitas literasi) melakukan evaluasi dan perjuangan mandiri terasa begitu berat. Berat karena dirasa banyak tantangan yang harus dihadapi. Tak ayal jika kemudian dalam proses panjangnya berdampak pada kadaritas semangat berkarya yang fluktuatif. 


Posisi itu diibaratkan seorang bujang yang tidak pandai manajemen waktu dan licin akan keuangan. Bahkan dalam banyak kasus tertentu seorang bujang lebih pandai dalam urusan molor, kedodoran dan lupa. Lupa dalam mengatrol urusan yang sifatnya remeh-temeh sampai dengan kebutuhan primer hidup. Mngurus dan memperbaiki kebutuhan diri sendiri dengan layak misalnya saja. Sementara molor dalam menghadiri acara sudah menjadi budaya. 


Mungkin analogi tersebut terlalu sarkas namun bukankah kebanyakan di antara kita selalu terlecut mana kala tersindir dengan nyelekit? Lebih suka sekonyong-konyong berlari dikala dicambuk berkali-kali untuk bangkit. Nah, bergabung menjadi bagian dari komunitas literasi--entah statusnya sebagai salah satu, lebih ataupun tak terhitung jumlahnya--adalah solusi terbaik yang harus ditempuh. 


Apa pentingnya berkomunitas? Ada banyak manfaat yang dapat direngkuh. Dua di antaranya yakni mengubah mindset dan mengukuhkan komitmen. Pertama, perihal mengubah mindset. Tak jarang mindset penulis single fighter (terlebih pemula seperti saya) menduduki posisi yang labil. Sama sekali belum mapan. Alhasil, sebelum (tatkala hendak) menulis selalu dihantui pikiran negatif. Pikiran negatif itu bentuknya beragam: takut salah, takut tidak logis, takut dikritik dan lain sebagainya. 


Ironisnya, pikiran negatif tersebut berdampak langsung pada aksi nyata di lapangan: mau tidaknya (kehendak) untuk berproses dan suksesi hasil. Tak sedikit orang yang mengurungkan aksinya karena terjebak kerangkeng prasangka dan negatif thinking. Belum saja bergerak berusaha menggoreskan pena--bisa juga melentikkan jari di atas keyboard--namun benaknya sudah diberondong ketakutan yang luar biasa. Nyalinya benar-benar ciut sebelum melangkah. 


Tak sedikit di antara kita yang cukup terhentak secara mental sehingga memutuskan diri berhenti di level itu. Padahal jika kita memaksakan diri--mendisiplinkan diri dalam rangka memastikan yang belum tentu benar adanya sembari menggubris--bisa jadi semuanya tidak sesuai dengan ketakutan yang menghantui. Hal yang semacam ini tampaknya akan menjadi mudah teratasi manakala kita berbaur dan saling sharing (pengalaman dan teoretis) dengan para penghuni tetap komunitas literasi. 


Jika sudah begitu, yakinlah trik dan tips jitu membangkitkan ghirah menulis dengan mudah dapat diteguk. Kuncinya hanya bergantung pada kemampuan kita beradaptasi, berpartisipasi dan berkomunikasi (mengikuti ritme kerja dan taat pada aturan yang ada) antaranggota di dalam komunitas literasi tersebut. Seiring berjalannya waktu, niscaya anda akan menyadari bahwa aktivitas menulis hanya soal keberanian untuk memulai. 


Bukan tentang rentang usia, jarak dan waktu semata-mata melainkan soal keberanian anda untuk mengambil (memanfaatkan) kesempatan yang ada. Sesingkat apa pun itu kesempatan yang tersedia, sesibuk apa pun bekerja, tatkala anda sudah memiliki keberanian untuk memulai maka akan ada target dan hasil konkret di depan mata. Hasil yang dapat dinikmati dan dievaluasi untuk ditingkatkan lebih baik lagi. 


Kedua, berkomunitas dapat mengukuhkan komitmen. Komitmen dalam konteks ini tentu saja komitmen seorang penulis. Komitmen merawat kesadaran untuk senantiasa menempatkan diri sebagai pembelajar sejati melalui aktivitas menulis dan membaca. Komitmen untuk terus meningkatkan produktivitas kerja dalam berkarya. 


Tampaknya sangat mustahil seseorang menyandang gelar sebagai penulis akan tetapi nihil akan karya. Tampaknya sangat kontradiktif manakala seseorang dengan bangga menobatkan diri sebagai penulis namun dirinya jauh dari budaya membaca dan menulis. Yang tampak jelas di muka hanya anomali status yang melulu menajamkan kejomplangan antara ekspektasi dan realitas. 


Lain cerita tatkala anda mengambil bagian (memutuskan diri dengan bulat) menjadi anggota komunitas literasi. Komitmen anda akan benar-benar diuji dengan kewajiban setor tulisan wajib dan sunnah muakkad dalam tenggat waktu terbatas. Semakin taat anda setor tulisan sesuai date line maka akan semakin istikamah menulis. Semakin anda istikamah menulis maka aktivitas menulis pun akan semakin enteng dan nyaman untuk dibudayakan.


Memang harus disadari secara saksama bahwa membangun budaya melek literasi itu bukanlah hal yang mudah. Pekerjaan bersamaan yang dalam prosesnya tak semudah membalikkan telapak tangan. Proyek jangka panjang dan memakan banyak pengorbanan. Kendati demikian kiranya kebaikan itu akan senantiasa diperjuangkan untuk menemui titik terang benderang oleh mereka (penulis) sang pemiliki komitmen yang kukuh. 


Anda sudah bergabung dengan komunitas literasi namun faktanya masih saja mengalienasikan diri di zona nyaman; mendapuk posisi sebagai silent reader bahkan acuh tak acuh terhadap notifikasi ter-update, maka sesungguhnya anda tergolong sebagai golongan yang merugi. Lantas, nikmat Tuhan mana lagi yang kamu dustakan?


Semoga saja kita lekas beranjak meraih kemenangan sebagai salah seorang yang melek literasi. Merawat akal budi kita dengan menyandang gelar sebagai pembelajar sejati. Mari terus bergerak untuk membangun rumah peradaban.


Tulungagung, 6 Mei 2024

Komentar

  1. Subhanallah! Menyegarkan! InsyaAllah menjadi bahan renungan diri, dan terealisasi dalam kehidupan. Khususnya tetap komitmen di komunitas literasi ini. Mksh Pak!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah Teh. Mugia tiasa konsisteni di duni literasi. Amin

      Hapus
    2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam a...

Anak Penjajak Komik

Dokpri: Qadira dengan koleksi komiknya Belakangan saya dibuat takjub melihat pemandangan tak biasa di kelas 2 SDIT Baitul Quran. Takjub bukan karena huru-hara sedang meluluhlantakkan kursi dan meja. Bukan, bukan karena mereka sedang melakukan kegaduhan, bullying dan kenakalan meronta-ronta yang tampak di depan mata melainkan fenomena yang menyegarkan hati.  Bukan hanya maknyes di hati saya kira namun fenomena yang membuat hati merasa bangga: terketuk, kagum dan penasaran sekaligus menampar pipi--bagi siapa pun yang melihat. Lha, memang apa? Baca komik. Cuma baca komik? Tentu tidak. Tidak sedangkal itu kejadiannya.  Almira dan Qadira adalah dua siswi yang membuat saya takjub itu. Mereka berbeda dari siswa-siswi lain. Jika umumnya anak menjadikan semua tempat untuk bermain, bermain di semua tempat sesuka hati, bahkan anak hanya mau membaca saat kegiatan belajar mengajar belangsung maka berbeda dengan dua siswi tersebut. Almira dan Qadira lebih suka memanfaatkan waktu luang berte...

Serba yang Kedua

(Dokpri: flyer ngaji literasi edisi 4) Hemat saya angka 2 menjadi angka istimewa dalam ngaji literasi edisi keempat yang akan datang ini. Tepatnya, 3 kali angka 2 yang istimewa. Kenapa harus angka 2? Bukankah masih banyak angka lain: 1, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan seterusnya? Nah, jadi bikin penasaran kan? Pertama, angka 2 yang menegaskan bahwa di momen ngaji literasi edisi ini adalah kali kedua saya menjadi moderator setelah sebelumnya saya beserta Bang Almahry Reprepans bertukar posisi. Tentu saja, dua kali menjadi moderator dalam rangka membedah buku solo kawan-kawan anggota SPK Tulungagung, bagi saya, adalah satu kehormatan dan kesempatan yang luar biasa. Saya dapat belajar bagaimana cara berbicara di depan kamera dan public speaking. Selain itu, pada ngaji literasi edisi keempat ini menandaskan dua kali sudah saya menjadi moderator dalam membedah buku solo perdana sahabat Ekka Zahra Puspita Dewi setelah sebelumnya dipertemukan dalam acara bedah yang diusung oleh komunitas Lentera. ...