Dokpri: Foto Anjangsana dan Silaturrahmi di kediaman Prof. Naim
Kiranya sudah menjadi rahasia umum, bahkan hukum alam tampaknya, bahwa bagi partisipan komunitas literasi agenda kopdar senantiasa menumbuhkan marwahnya yang baru. Baru dalam artian kerapkali memantik geliat yang loyo menjadi bugar kembali bagi masing-masing benak yang terlibat. Baru karena ada proses penyadaran, penempaan dan penguatan atas cita-cita yang sempat hilang arah dari gapaian. Singkatnya, ada transaksi proses kembali pada settingan awal sebagai penulis yang terselip dalam kopdar.
Tak heran memang, keadaan tersebut terjadi karena kopdar selalu menyuguhkan jamuan hangat. Jamuan hangat yang membuat hati dan isian kepala terpikat, lantas kobong. Bukan fisiknya yang kobong namun naluriah dan jati diri seseorang itu yang mendambakan aksi nyata untuk berubah. Berubah dari keadaannya yang stagnan, bahkan mohon maaf, "mandul". Berusaha beranjak dari status penulis tuna karya menjadi padat karya.
Itu artinya kopdar selalu memposisikan partisipan sebagai subjek yang aktif. Aktif untuk melakukan evaluasi dan transformasi diri. Terus bergerak untuk produktif menghasilkan karya yang lebih baik lagi adalah opsi tunggal yang harus digenggam. Suka tidak suka. Mau tidak mau. Sebab hanya dengan menempuh jalan penyadaran itu kualitas maupun kuantitas karya akan melejit dari waktu ke waktu.
Lagian, sadar atau tidak, jika dihayati lebih dalam, pada kenyataannya kopdar itu--hemat saya pribadi--jika dianalogikan laiknya air bah yang datangnya tiba-tiba dan menenggelamkan banyak orang. Mengapa demikian? Karena saat kopdar berlangsung semua partisipan kebanjiran informasi yang tak terhingga. Informasi penting yang bersifat empiris dan teoretis tumpah ruah dari hilir ke hulu disampaikan ahlinya. Bahkan datangnya dari berbagai penjuru perspektif.
Bukankah yang demikian itu adalah modal penting dan cukup untuk dijadikan bahan pertimbangan (ide) menulis? Maka bukan isapan jempol belaka jika menjelang dan setelah kopdar dihelat ada jejak yang harus diabadikan oleh komunitas. Buku-buku antologi sebagai efouria kopdar banyak yang terbit. Sebagai contoh representatif, kita lihat tradisi yang ada di SPK pusat.
Dari mulai bentuk awal komunitas literasi bernamakan Sahabat Pena Nusantara (SPN) hingga bertransformasi (menginisiasi kemandirian komunitas) diri menjadi Sahabat Pena Kita (SPK) selalu konsistensi membuat buku tentang kopdar. Buku Yang Berkesan dari Kopdar Sahabat Pena Nusantara di PP Darul Istiqomah Bondowoso (2017) adalah salah satu buku antologi kopdar ketiga SPN yang saya miliki. Sementara buku Belajar Kehidupan dari Sosok Manusia Inspiratif (2019), saya kira buku yang disusun SPK menjelang kopdar.
Yang terbaru dan masih hangat (mungkin) berkecamuk kuat dalam ingatan kita, Jejak Perjalanan Kopdar SPK ke-10 (2023) adalah buku solo perdana mbak Siti Rodi'ah yang lahir satu bulan pasca kopdar. Gaharnya kopdar sungguh keterlaluan bukan? Bagaimana tidak, kopdar benar-benar membuat partisipannya kobong sehingga membidani lahirnya buku solo.
Ya, merayakan suatu momentum--langka dan berharga--dengan buku adalah ciri khas penulis. Baik penulis single fighter atau pun yang tergabung dalam komunitas literasi tertentu. Masih tidak percaya? Lihatlah bagaimana Ajip Rosidi merayakan perjalanan hidupnya dengan mengabdikan diri di negeri Sakura melalui buku Surat-surat Ti Jepang sampai dengan 6 jilid (salah satunya) yang dapat kita nikmati sampai sekarang.
Lantas, di saat segelintir orang bekerja keras untuk keabadian, peradaban dan menyandang gelar manusia langka, akankah kita hanya sibuk sekadar bekerja untuk kepentingan kalkulasi materi pribadi saja? Tentu diri anda sendiri yang lebih tahu tentang jawabannya.
Tulungagung, 5 Mei 2024
Komentar
Posting Komentar