"Jangan biarkan hari-harimu berlalu tanpa membaca, menulis, berbagi ilmu dan menebarkan cinta", Buya Husen Muhammad
Mendapatkan cenderamata buku dalam acara anjangsana dan silaturrahmi di kediaman Prof. Naim (sapaan akrab untuk Prof. Dr. Ngainun Naim, M. HI.) adalah salah satu hal yang berharga. Berharga karena memang lebih bernilai tinggi jika ditinjau dari segi kemanfaatan dalam jangka panjang. Lain soal dalam pandangan kalangan penganut id-ego ala Sigmund Freud, mungkin satu eksemplar buku itu tak lebih berharga dari seonggok makanan.
Kiranya sudah menjadi rahasia umum jika makanan dapat memuaskan hasrat nafsu dan kepuasan personal dalam jangka pendek. Itu pun harus diganjar dengan konsumsi yang terbatas, porsi yang pas dalam kurun waktu tertentu. Ada pun jika berlebihan dan melampaui batas, seperti yang kita pikirkan, akan menimbulkan dampak negatif. Memicu tumbuhnya berbagai jenis penyakit dari dalam tubuh. Alih-alih berusaha mencukupi kebutuhan primer untuk membangun pola hidup sehat yang dituai justru gejala sakit nan kian merambat. Sesekali kumat hingga berujung kiamat sugra bagi sang empu.
Lain cerita tatkala kita mengonsumsi buku secara rakus justru akan berdampak positif bagi pembaca yang tenggelam di dalamnya. Sadar tidak sadar, proses itu akan memberi kepuasan ganda: personal dan komunal. Dalam dimensi personal, membaca buku akan membuka-memperkaya cakrawala pengetahuan baru yang benar-benar menyejukkan hati dan pikiran. Dari buku berbagai inspirasi dan ide tanpa henti ditambang. Hadirnya bak angin kencang yang menyibak tirai-tirai kemunafikan. Tersuguhnya cara pandang, pendekatan dan metode penyelesaian baru terhadap masalah menjadi candu yang sangat menggiurkan.
Keadaan demikian hanya akan terjadi manakala buku yang kita baca tersebut bernilai babon, mengandung gizi yang tinggi. Memuat teoritis yang sistematis namun mudah dicerna. Sementara kita sebagai pembaca tidak merasa dibuat resah dan menyerah--mudah ngantuk karena rumit memahami bahasa dan isi yang terkandung di dalamnya--di saat melahap bagian demi bagian buku. Penggunaan metode baca yang tepat juga memengaruhi seberapa besar gizi yang diserap otak. Dalam konteks inilah majas metafora: buku adalah jendela dunia, duduk pada posisi yang tepat. Tidak lebih atau pun kurang.
Tampaknya musykil kita akan menemukan seseorang menjadi bodoh setelah membaca buku. Merasa bodoh setelah membaca buku mungkin ada. Itu pun terjadi karena yang bersangkutan benar-benar mafhum dengan seluruh isi buku sehingga merasa kerdil (jika dibandingkan) dengan pesona keagungan di dalamnya. Terpukau, bagaimana mungkin penulis bisa menyampaikan gagasannya dengan begitu ciamik dan luar biasa. Penuangan gagasan itu begitu runtut dan sistematis sehingga begitu sedap bagi siapa pun yang menikmatinya. Sementara pembaca hanya bisa duduk manis menjadi penikmat kata.
Akan tetapi jika seseorang hanya sekadar baca sekilas, membaca buku hanya bagian tertentu atau pun membaca sebagai pengantar tidur semata tampaknya jauh dari perasaan bodoh. Atau bahkan, jangan-jangan sudah menyentuh level kronis, ia tidak peduli dengan tujuan dan alasan kenapa melakukan aktivitas membaca. Jika sudah demikian dapat dipastikan, bahwa dirinya tidak pernah menaruh rasa penasaran dan sanksi dengan apa isi kandungan buku tersebut. Apalagi terdorong untuk mengkhatamkan satu buku tertentu dengan harapan akan menuai pemahaman tuntas tentang kandungan buku. Semoga kita (pembaca yang budiman; anda dan saya) bukan bagian dari kelompok ini.
Selanjutnya, di mana letak kemanfaatan buku dalam dimensi komunal? Kemanfaatan itu terletak pada kandungan dan proses penyebarannya. Buku itu akan menjadi angin segar bagi khalayak ramai yang ada di sekitar kita manakala dinikmati dalam skala besar. Artinya, seberapa pun buku berkualitas jika tidak disertai dengan testimoni dan rekomendasi dari ahli (penikmatnya) produk itu tidak akan pernah tersebar secara luas. Tanpa marketing (endrose; review; testimoni) secara massif--tampaknya akan sedikit sulit karena tidak terbiasa--orang-orang tidak akan melirik dan membeli produk, terlebih-lebih menyelami kedalaman gagasan di dalamnya.
Persebaran dan marketing buku di zaman ini pada dasarnya dapat dilakukan secara online dan offline. Marketing secara online dapat dilakukan di media sosial sedangkan marketing via offline dilakukan dalam bentuk getok tular. Oleh sebab itu, maka tak heran jika kemudian di era teknologi mutakhir ini banyak online shop (lapak toko online) yang merambah ke berbagai kanal media sosial. Segala produk dapat kita temukan di keranjang belanja oranye, biru, hijau dan lain sebagainya. Bahkan saat kita buka Facebook, Instagram dan X, scroll sedikit, dijamu gambar yang diimbuhi tautan iklan produk tertentu. Trik dan jebakan maut bagi pecinta belanja addict.
Hebatnya lagi, algoritma iklan itu di-setting otomatis mengikuti apa yang sering kita jelajahi sehari-hari di media sosial. Semuanya diatur secara sistematis mengikuti menu jamahan tangan dan mata. Tak sedikit, di antara kita yang justru tergiur dan kafir akan tujuan utama dari aktivitas bermedia sosial itu sendiri. Tak sedikit pula orang-orang tersesat di jalan yang benar karena aktif di media sosial. Begitu juga sebaliknya.
Ada pun marketing via offline dalam bentuk getok tular umumnya terjadi melalui berbagai acara komunal. Mempromosikan produk buku di acara seminar, bedah buku atau pun workshop adalah contoh yang getol dilakukan. Merekomendasikan buku bermutu yang kita baca kepada saudara, teman sekantor hingga teman sejawat juga termasuk upaya getok tular yang dipandang efektif.
Dalam konteks inilah habituasi Prof. Naim memberi cenderamata buku kepada setiap tamu yang berkunjung ke kediaman beliau menemukan relevansinya. Menghadiahi buku seseorang adalah trik jitu (getok tular) untuk memantik geliat literasi orang yang bersangkutan. Siapa coba yang tidak senang jika diberi hadiah buku? Hemat saya, dampaknya tidak sekadar itu, melainkan lebih dalam lagi: dengan terang-terangan beliau hendak menyadarkan khalayak umum akan pentingnya literasi dalam kehidupan.
Siapa tahu buku yang dihadiahkan itu dibaca, dipahami dan isinya mengubah mindset orang yang bersangkutan. Mulanya mungkin hanya coba-coba dan sekadar mencicipi bagian kecil dari buku namun siapa tahu lama-kelamaan ia ketagihan. Syukur-syukur jika kemudian di lain hari buku itu dapat menjadi referensi atau pun bahan pemantik untuk menulis. Menulis apa pun itu. Menulis jurnal penelitian, menulis buku, atau bahkan hendak membantah (meluruskan; menambahkan) kandungan buku yang telah dibaca tersebut. Laiknya tradisi cendekiawan terdahulu yang karyanya kita nikmati hingga kini.
Najwa Shihab (Duta Baca Indonesia, jurnalis dan founder Narasi TV) pernah berkata: "Cuma perlu satu buku untuk jatuh cinta pada membaca. Cari buku itu. Mari jatuh cinta." Meski di antara kita tidak ada yang tahu persis kapan datangnya hidayah itu namun tidak pernah salah kan jika kita menjemputnya? Termasuk terus berusaha mencari di setiap baris kata yang beralamatkan rumah di buku. Siapa tahu proses itu bisa mengubah hidup kita menjadi agen peradaban dan penebar cinta.
Tulungagung, 16 Mei 2024
Komentar
Posting Komentar