Langsung ke konten utama

Pantun sebagai Warisan Budaya Bangsa

Dokpri cover buku antologi Pantun Kopdar 2 RVL 

Pantun Kopdar 2 RVL Yogyakarta Menjaga Warisan Budaya Negeri adalah salah satu buku antologi penutup saya di tahun 2023. Buku yang diinisiasi oleh Bu Tri Wulaning Purnami, 3 bulan setelah perhelatan Kopdar 2 RVL. Kendati begitu, jika ditilik dari rekam jejak penulisan naskah, rata-rata pantun demi pantun itu ditulis pada rentang waktu bulan Juni sampai dengan Agustus. Itu berarti butuh waktu 3 bulan untuk menuntaskan naskah buku keroyokan ini.

Kurun waktu tersebut menegaskan terdapat dua waktu utama penulisan naskah, yakni tatkala dan sesudah Kopdar. Harus diakui secara saksama dan jujur, momentum Kopdar bagi beberapa partisipan yang berdarah dan berjiwa sastra tinggi menjelma sebagai ajang unjuk gigi dalam berpuisi atau pun berpantun. 

Yang demikian tampak jelas pada malam gala show dan keakraban di antara anggota RVL yang begitu pecah. Ada yang bersenandung syahdu dengan menyanyikan lagu--populer, keroncong campursari, daerah dan lainnya--kesukaan, berpuisi dan berpantun. Di antara partisipan aktif penyumbang lagu tersebut Pakde Susanto tampil memukau dengan lagu-lagu Jawa dan Tegal-nya. 

Pak Tion, Master Emcho dan Bu Kanjeng sempat menyuguhkan bongkahan puisi yang menyayat hati. Para peserta Kopdar serasa disekap sejenak di ruang derita berhias sayatan luka. Puisi-puisi yang dibawakan masing-masing penyair itu begitu mengena. Salah satu indikator pembacaan puisi yang apik (baik dan berhasil) memang senantiasa menenggelamkan para pembaca sekalian pada rangkai diksi yang luar biasa.

Sementara itu, Bu Mimin, Bu Lina dan Cak Inin tampil nyentrik dengan deret pantun yang berduyun-duyun keluar dari mulutnya. Beliau semua mengingatkan khalayak umum dengan tradisi berpantun yang mulai ditinggalkan generasi melenial. Padahal historis peradaban manusia menunjukkan bahwa beberapa daerah di Indonesia berpantun menjadi budaya seremonial peralihan kehidupan. 

Contohnya seperti apa? Di tataran tanah Sunda zaman buhun misalnya, pantun yang dikenal dengan nama paparikan kerap disuguhkan dalam permainan anak-anak dan pembuka jelang prosesi pernikahan. Masing-masing jawara atau pesilat yang mewakili kedua belah pihak pengantin (laki-laki dan perempuan) akan saling beradu pantun. Berbalas pantun itu rampung setelah jawara pihak mempelai perempuan kelabakan, dianggap kalah. 

Prosesi itu dilakukan setelah Ki Lengser membuka jalan dengan merampal beberapa mantra sakral. Tradisi berpantun yang tidak berbeda jauh dengan tradisi yang digalakkan oleh masyarakat Betawi asli. Tradisi yang mulai tergerus zaman dan mulai banyak ditinggalkan oleh generasi kontemporer. Saya kira, inilah yang kemudian menjadi salah satu alasan mendasar kenapa dalam judul buku ini terdapat kata Menjaga Warisan Budaya Negeri

Sesuai judulnya, buku ini berisikan bunga rampai pantun yang ditulis oleh 22 penulis. Baik penulis yang mengikuti Kopdar secara langsung atau pun via daring. Masing-masing penulis berkontribusi 5 buah pantun yang dilengkapi dengan bionarasi. Jika ditinjau dari bionarasi yang ada, sebagaimana konten yang tertera di dalam buku, rata-rata penulis buku antologi pantun tersebut memiliki latar belakang profesi sebagai guru. 

Kendati begitu, secara tekstual-eksplisit, pantun yang ditulis memiliki bidikan topik pembahasan yang bervariatif. Semuanya dipotret dalam konteks mendokumentasikan kopdar. Mulai dari keberangkatan, antusiasme mengikuti acara dan berbagai harapan yang digelar jauh ke depan. Bahkan, tidak sedikit penulis yang menyebutkan identitas dan istilah khusus yang mewarnai Kopdar. 

Semua pantun itu ditulis sebagai bentuk apresiasi, syukur dan ekspresi diri selaku bagian dari Kopdar. Meski kemudian rangkaian diksi yang dipilih oleh masing-masing penulis tersebut sejatinya turut merepresentasikan kualitas dan value sastra yang terbenam di dalam dirinya. Mana penulis pemula dan mana yang sudah terbiasa. Namun, sebagai penikmat bukan kritikus sastra, saya tidak ingin membuat justifikasi--penilaian mandiri membabi buta--terhadap suguhan pantun yang terhimpun di buku tersebut. 

Di lain pihak, keanekaragaman kualitas pantun itu justru menjadi kelebihan dan keunikan tersendiri. Sebab, pembaca bisa menyelami satu persatu--secara detail dan terperinci--kualitas pantun demi pantun tersebut. Sedangkan jumlah 50 halaman yang terbilang cukup tipis menjadikan buku ini mudah untuk dikhatamkan dalam sekali duduk. Membacanya sembari menyeruput secangkir kopi. Fakta ini menjadi kelebihan yang kedua. Selanjutnya, lay out buku yang ciamik menjadikan buku enak dibaca. 

Ada pun yang saya kira menjadi salah satu kekurangan sekaligus hal yang mengganjal di hati adalah urusan harga. Harga Rp. 75.000 untuk pereksemplar buku setebal 50 halaman kiranya terlalu mahal. Kisaran harga penjualan produk yang kira-kira akan dipikirkan ulang oleh setiap calon pembelinya. 

Judul Buku: Pantun Kopdar 2 RVL Yogyakarta Menjaga Warisan Budaya Negeri

Penulis: Abdullah Makhrus, dkk.

Penerbit: Kamila Press

Tahun Terbit: November 2023

Harga: Rp. 75.000


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam a...

Anak Penjajak Komik

Dokpri: Qadira dengan koleksi komiknya Belakangan saya dibuat takjub melihat pemandangan tak biasa di kelas 2 SDIT Baitul Quran. Takjub bukan karena huru-hara sedang meluluhlantakkan kursi dan meja. Bukan, bukan karena mereka sedang melakukan kegaduhan, bullying dan kenakalan meronta-ronta yang tampak di depan mata melainkan fenomena yang menyegarkan hati.  Bukan hanya maknyes di hati saya kira namun fenomena yang membuat hati merasa bangga: terketuk, kagum dan penasaran sekaligus menampar pipi--bagi siapa pun yang melihat. Lha, memang apa? Baca komik. Cuma baca komik? Tentu tidak. Tidak sedangkal itu kejadiannya.  Almira dan Qadira adalah dua siswi yang membuat saya takjub itu. Mereka berbeda dari siswa-siswi lain. Jika umumnya anak menjadikan semua tempat untuk bermain, bermain di semua tempat sesuka hati, bahkan anak hanya mau membaca saat kegiatan belajar mengajar belangsung maka berbeda dengan dua siswi tersebut. Almira dan Qadira lebih suka memanfaatkan waktu luang berte...

Serba yang Kedua

(Dokpri: flyer ngaji literasi edisi 4) Hemat saya angka 2 menjadi angka istimewa dalam ngaji literasi edisi keempat yang akan datang ini. Tepatnya, 3 kali angka 2 yang istimewa. Kenapa harus angka 2? Bukankah masih banyak angka lain: 1, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan seterusnya? Nah, jadi bikin penasaran kan? Pertama, angka 2 yang menegaskan bahwa di momen ngaji literasi edisi ini adalah kali kedua saya menjadi moderator setelah sebelumnya saya beserta Bang Almahry Reprepans bertukar posisi. Tentu saja, dua kali menjadi moderator dalam rangka membedah buku solo kawan-kawan anggota SPK Tulungagung, bagi saya, adalah satu kehormatan dan kesempatan yang luar biasa. Saya dapat belajar bagaimana cara berbicara di depan kamera dan public speaking. Selain itu, pada ngaji literasi edisi keempat ini menandaskan dua kali sudah saya menjadi moderator dalam membedah buku solo perdana sahabat Ekka Zahra Puspita Dewi setelah sebelumnya dipertemukan dalam acara bedah yang diusung oleh komunitas Lentera. ...