Langsung ke konten utama

Jangan Umbar Keuanganmu

 Salah satu hal yang banyak diincar oleh sebagian besar orang di dunia adalah uang.  Alat transaksi yang digemari dan digilai khalayak ramai. Kemanfaatan yang melekat pada uang untuk memenuhi kebutuhan hidup sering menjadi alasan kenapa orang-orang harus bekerja banting tulang siang-malam. 

Tidak hanya banting tulang siang-malam, sebagian besar orang bahkan rela berkorban waktu dan menerobos jarak nun jauh berlipat-lipat demi menggenggam uang.  Demi uang adakalanya orang menghilangkan rasa kemanusiaan. Karena uang terlalu banyak orang mengutamakan egois dan keliaran akal bulusnya.

Kita mungkin pernah mendengar tentang bagaimana orang saling menjatuhkan diri karena urusan uang. Kita mungkin pernah mendengar tentang bagaimana manusia saling berlomba-lomba untuk memberanguskan nyawa karena hendak menguasai harta-uang, jabatan dan realitas kebahagiaan yang dimiliki oleh orang lain. 

Atas dalih uang pula bagaimana identitas, status dan stratifikasi sosial masyarakat tertentu kadang menjadi gejolak bias yang berkepanjangan. Kepemilikan atas uang meletakkan di mana posisi, cara pandang dan bagaimana kita menyikapi masing-masing orang. Termasuk di dalamnya turut mengkonstruksi bagaimana pola hidup seseorang. 

Mengenai hal ini dapat dilihat dari bagaimana cita-cita khalayak ramai yang mengidam-idamkan diri untuk merubah dan memperbaiki hidupnya supaya menjadi orang yang bergelimangan harta-uang, tahta dan kehormatan-pengakuan. Karena bagaimanapun ada pandangan yang terabadikan dalam kesadaran diri bahwa jumlah kekayaan itulah yang kemudian menjadi barometer bagaimana orang lain memandang dan memperlakukan.

Ironisnya, barometer itu kerap menjadi biang keladi banyak timbulnya ketimpangan, konflik dan kecemburuan sosial hingga memancing niat kejahatan yang dilakukan oleh seseorang. Entah itu modus yang hinggap karena keterpaksaan, himpitan ekonomi, mengendaki kaya dengan cara yang instan, ataupun memang karena ada kesempatan yang berawal dari mengumbar keuangan kita di media sosial.

Dengan demikian, mengumbar keuangan kita di media sosial itu berarti menghendaki diri untuk memancing timbulnya keirian, menimbulkan keresahan hidup, memberi kesempatan kepada orang lain untuk menanamkan motif kejahatan hingga mematikan kewarasan manusia untuk berbuat baik kepada sesama.

Ah, sampai di sini ada benarnya kata Herbert Mind (sosiolog), di mana manusia mulanya menciptakan uang sebagai salah satu sistem yang memudahkan manusia mengatur, menyukupi dan mengendalikan kebutuhan dirinya. Akan tetapi, lambat laun rapuhlah tujuan mulia itu dengan menempatkan masing-masing manusia sebagai subjek yang diobjektifkan oleh kegilaannya penguasaan atas uang.

Kegilaan penguasaan atas uang terus menggurita di dalam dada manusia. Melemahkan hati nurani masing-masing kita. Mematikan kinerja rasionalitas atas anugerah terbaik yang diberikan oleh Tuhannya. Satu keadaan di mana Sigmund Freud menegaskan setiap gerak-gerik yang dilakukan oleh manusia melulu sibuk memenuhi ego dan id yang ada dalam dirinya semata-mata. 

Sebaliknya, di satu pihak tak pelak kita jumpai pula selalu ada upaya daripada pihak ketiga yang berusaha membeberkan dan mengulik seberapa besar kekayaan seseorang yang dipandang sebagai tokoh dan penjabat di mata khalayak ramai. Pihak ketiga itu sebutkanlah media massa dan  akun media sosial tertentu yang doyannya mencari sensasi demi mendapatkan rating tinggi.

Dari sini kita bisa menarik benang merah, bahwa bisa saja masing-masing pribadi manusia berusaha tidak mengumbar besaran keuangannya, akan tetapi pada kenyataannya selalu ada pihak ketiga (oknum) yang secara sengaja hendak menunggangi hal privasi seseorang untuk semata-mata kepentingannya. Ah, dasar manusia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam a...

Anak Penjajak Komik

Dokpri: Qadira dengan koleksi komiknya Belakangan saya dibuat takjub melihat pemandangan tak biasa di kelas 2 SDIT Baitul Quran. Takjub bukan karena huru-hara sedang meluluhlantakkan kursi dan meja. Bukan, bukan karena mereka sedang melakukan kegaduhan, bullying dan kenakalan meronta-ronta yang tampak di depan mata melainkan fenomena yang menyegarkan hati.  Bukan hanya maknyes di hati saya kira namun fenomena yang membuat hati merasa bangga: terketuk, kagum dan penasaran sekaligus menampar pipi--bagi siapa pun yang melihat. Lha, memang apa? Baca komik. Cuma baca komik? Tentu tidak. Tidak sedangkal itu kejadiannya.  Almira dan Qadira adalah dua siswi yang membuat saya takjub itu. Mereka berbeda dari siswa-siswi lain. Jika umumnya anak menjadikan semua tempat untuk bermain, bermain di semua tempat sesuka hati, bahkan anak hanya mau membaca saat kegiatan belajar mengajar belangsung maka berbeda dengan dua siswi tersebut. Almira dan Qadira lebih suka memanfaatkan waktu luang berte...

Serba yang Kedua

(Dokpri: flyer ngaji literasi edisi 4) Hemat saya angka 2 menjadi angka istimewa dalam ngaji literasi edisi keempat yang akan datang ini. Tepatnya, 3 kali angka 2 yang istimewa. Kenapa harus angka 2? Bukankah masih banyak angka lain: 1, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan seterusnya? Nah, jadi bikin penasaran kan? Pertama, angka 2 yang menegaskan bahwa di momen ngaji literasi edisi ini adalah kali kedua saya menjadi moderator setelah sebelumnya saya beserta Bang Almahry Reprepans bertukar posisi. Tentu saja, dua kali menjadi moderator dalam rangka membedah buku solo kawan-kawan anggota SPK Tulungagung, bagi saya, adalah satu kehormatan dan kesempatan yang luar biasa. Saya dapat belajar bagaimana cara berbicara di depan kamera dan public speaking. Selain itu, pada ngaji literasi edisi keempat ini menandaskan dua kali sudah saya menjadi moderator dalam membedah buku solo perdana sahabat Ekka Zahra Puspita Dewi setelah sebelumnya dipertemukan dalam acara bedah yang diusung oleh komunitas Lentera. ...