Langsung ke konten utama

Jangan Umbar Kebaikan Kita

Ada banyak kebaikan yang dapat dikerjakan oleh masing-masing kita. Entah itu kebaikan yang didasarkan dalam wujud pemberian materiil maupun non materiil seperti halnya tindakan tulus yang ditujukan kepada orang lain. 

Selain berwujud, kebaikan juga dapat ditinjau dari motif kenapa seseorang harus melakukan kebaikan itu. Tentu dalam konteks ini ada banyak latar belakang yang menjadi alasan masing-masing orang merasa "harus" melakukan satu tindakan yang disebut sebagai insting untuk berbuat baik.

Insting untuk berbuat baik itu entah memang benar-benar given, bersifat genetik, konstruksi behavior, tradisi ataupun normativitas yang berdasarkan pada doktrin agama dengan mengatasnamakan transaksi surga-neraka. 

Sadar atau tidak, hati nurani masing-masing manusia sebenarnya selalu memiliki kecenderungan untuk melakukan sesuatu kebaikan terhadap dirinya ataupun orang-orang yang ada di sekitarnya. Masalah eksekusi, apakah ia hendak melakukannya dan menuruti keinginan "bisikan" hati nurani itu tergantung kesadarannya. 

Itu pula yang menjadi alasan kenapa seseorang akan merasa tersentuh hati "terenyuh" sehingga harus bersimpati dan berempati terhadap satu posisi yang dialami oleh seseorang. 

Namun yang menjadi masalahnya adalah bagaimana jika seluruh kebaikan yang kita lakukan itu dengan sengaja diumbar di media sosial? Bagaimana jadinya jika seseorang memaksa orang lain untuk melakukan kebaikan atas dasar iming-iming surga? Bagaimana jika orang lain memanfaatkan kebaikan kita? Bagaimana jika ada kasus politisasi agama terhadap kebaikan kita?

Seperti halnya deret slogan yang termuat dalam sepanduk; "Masuk surga itu murah bos", "ayo beli tiket surga di sini', "amal jariyah dulu supaya lancar perjalanan Anda" dan lain sebagainya. Hal itu sering kita temukan di beberapa titik yang dekat dengan renovasi mesjid, pembangunan fasilitas umum dan sarana lainnya.

Selain terdapat oknum yang piawai memanfaatkan kebaikan di antara sesama, pun terlalu banyak alasan kenapa kita tidak boleh mengumbar semua kebaikan yang telah dilakukan sepanjang nafas kehidupan kita. Entah itu berakar pada kecemburuan sosial, larangan agama ataupun dalam upaya menjaga hak prerogatif kita sebagai sesama manusia. 

Sehingga jelas, ada baiknya seluruh perbuatan baik itu kita kendalikan, simpan menjadi rahasia supaya tidak dipandang riya', pamer, ujub dan lain sebagainya. Biarkan kebaikan itu melahirkan kebaikan baru bagi sang penerimanya tanpa harus dituntut menceritakan ulang kejadiannya, disorot media massa ataupun segala wujud kelaliman kita demi mengeruk keuntungan pribadi semata ujung-ujungnya. 

Anehnya, terlalu banyak pencintraan kebaikan itu telanjur lacur di jagat Maya. Bahkan saking banyaknya, kebaikan terhadap orang lain itu menjadi konsep konten terlaris yang kerap diganyang banyak channel acara. Entah itu di dunia petelevisian maupun nangkring terekspos di akun media sosial yang kerap kita buka. Sebagai konten YouTube utamanya.

Namun, apakah dapat dibenarkan mengambinghitamkan kebaikan "belas kasih" demi meraup keuntungan dan popularitas semata-mata? Ibaratnya kita menjual kebaikan guna memperkaya diri. 

Setelah itu, lantas masih masih saja lancang menodong Tuhan untuk bertanggungjawab (meminta ganjaran pahala) terhadap perbuatan baik kita. Ah, dasar manusia yang senangnya melulu memonopoli. Padahal apalah daya, manusia sekadar hamba yang tak pernah tahu diri.

Tulungagung, 11 Januari 2021.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam a...

Anak Penjajak Komik

Dokpri: Qadira dengan koleksi komiknya Belakangan saya dibuat takjub melihat pemandangan tak biasa di kelas 2 SDIT Baitul Quran. Takjub bukan karena huru-hara sedang meluluhlantakkan kursi dan meja. Bukan, bukan karena mereka sedang melakukan kegaduhan, bullying dan kenakalan meronta-ronta yang tampak di depan mata melainkan fenomena yang menyegarkan hati.  Bukan hanya maknyes di hati saya kira namun fenomena yang membuat hati merasa bangga: terketuk, kagum dan penasaran sekaligus menampar pipi--bagi siapa pun yang melihat. Lha, memang apa? Baca komik. Cuma baca komik? Tentu tidak. Tidak sedangkal itu kejadiannya.  Almira dan Qadira adalah dua siswi yang membuat saya takjub itu. Mereka berbeda dari siswa-siswi lain. Jika umumnya anak menjadikan semua tempat untuk bermain, bermain di semua tempat sesuka hati, bahkan anak hanya mau membaca saat kegiatan belajar mengajar belangsung maka berbeda dengan dua siswi tersebut. Almira dan Qadira lebih suka memanfaatkan waktu luang berte...

Serba yang Kedua

(Dokpri: flyer ngaji literasi edisi 4) Hemat saya angka 2 menjadi angka istimewa dalam ngaji literasi edisi keempat yang akan datang ini. Tepatnya, 3 kali angka 2 yang istimewa. Kenapa harus angka 2? Bukankah masih banyak angka lain: 1, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan seterusnya? Nah, jadi bikin penasaran kan? Pertama, angka 2 yang menegaskan bahwa di momen ngaji literasi edisi ini adalah kali kedua saya menjadi moderator setelah sebelumnya saya beserta Bang Almahry Reprepans bertukar posisi. Tentu saja, dua kali menjadi moderator dalam rangka membedah buku solo kawan-kawan anggota SPK Tulungagung, bagi saya, adalah satu kehormatan dan kesempatan yang luar biasa. Saya dapat belajar bagaimana cara berbicara di depan kamera dan public speaking. Selain itu, pada ngaji literasi edisi keempat ini menandaskan dua kali sudah saya menjadi moderator dalam membedah buku solo perdana sahabat Ekka Zahra Puspita Dewi setelah sebelumnya dipertemukan dalam acara bedah yang diusung oleh komunitas Lentera. ...