Langsung ke konten utama

Make a Deal

Gambar: Dokumentasi Pribadi saat bertamu di kediaman mas Novel

Jauh sebelum bedah buku Tongkat Mbah Kakung digemakan sebenarnya secara pribadi saya berinisitif hendak mengundang mas Novel ke SPK Tulungagung. Inisiatif itu muncul tatkala saya mengamati bagaimana himmah dan ghirah literasi dalam dirinya yang kian meggeliat. Terlebih lagi, 2 tahun belakangan ia berhasil melahirkan dua buku solo: Tongkat Mbah Kakung: Catatan Lockdown dan Teman Ngopi (Ngolah Pikir). Dua buku solo yang lahir dibidani oleh Nyalanesia. 

Apa itu Nyalanesia? Nyalanesia merupakan star up yang fokus bergerak dalam pengembangan program literasi di sekolah secara nasional. Karena ruang lingkupnya nasional maka semua jenjang satuan pendidikan dapat mengikuti Nyalanesia. Hanya itu? Tidak. Dalam prosesnya tim Nyalanesia tidak hanya fokus memberikan pelatihan, sertifikasi kompetensi dan akses pada program yang prover,  melainkan juga memfasilitasi siswa dan guru untuk menerbitkan buku. 

Konsepnya ya memberdayakan potensi yang ada di lembaga satuan pendidikan yang bersangkutan dengan bimbingan fasilitator dan ekspertor tim Nyalanesia. Jika pontesi itu sudah terkelola dengan baik dan mengikuti sistem kerja yang diberlakukan maka proses pun tidak akan membohongi hasil. Karya demi karya akan pecah telur. Capai-capaian yang linier dengan tempaan proses yang dilakukan. Lantas, proses dan upaya yang dilakukan Nyalanesia itu dikenal dengan istilah Gerakan Menulis Buku (GMB) Indonesia. 

Tidak hanya lezitan literasi diri, bahkan tatkala  menjadi guru MAN 2 Banyuwangi saya juga memantau (melalui rekam jejak postingan di akun media sosial pribadinya) bagaimana ia memainkan peran sebagai role model literasi bagi para siswa-siswi yang ada. Hal itu kentara dari setiap torehan tulisan demi tulisan siswa yang mulai dimuat di koran Radar Banyuwangi. Saya kira sudah sangat tepat jikalau kala itu Kepala Sekolah MAN 2 Banyuwangi menunjuk mas Novel sebagai guru Jurnalistik di sekolah tersebut. 

Bertahun-tahun berlalu, kabar mutasi kerja mas Novel ke MAN 1 Tulungagung sempat berhembus ke telinga. Sempat satu waktu secara tidak sengaja saya berjumpa dengan mbak Nila (sapaan akrab untuk istri mas Novel yang memiliki nama lengkap Nila Minkhatu Rohmah) di SDI Miftahul Huda. Kala itu saya ada kepentingan dengan Pak Agus (sapaan akrab untuk Pak Agus Widodo, M. Pd.) selaku kepala sekolah di sana. 

Kaget bukan main tatkala saya mengetahui mbak Nila guru di sana. Padahal, dahulu kala saat pertama kali berkunjung ke lembaga itu belum tampak batang hidungnya. Benar saja, ternyata beliau baru masuk 2 minggu di sana. Tatkala ia menyapa saya, ingatan saya terlempar jauh menemui nama Novel Mukholis (nama lengkap mas Novel). 

Meski samar, tapi ingatan saya masih kuat, bahwa ia Ibunya Namia dan adeknya, istri mas Novel. Lantas, saya sempat bercengkrama hangat dengan mbak Nila, hingga akhirnya berlabuh pada kalimat persuasif dan konfirmatif, "Mas Novel sekarang sudah di Tulungagung. Main o ke rumah." "Wahhh... Siap mbak. Dengan senang hati", timpal saya. 

Pecakapan itu mendorong saya untuk sesegera mungkin bertamu ke rumah mas Novel. Sialnya, semenjak nomor lama saya hangus dan diakuisi pemilik baru, semua nomor kontak hilang. Termasuk nomor kontak mas Novel yang entah di mana. Pun komunikasi telah lama terputus. Rasa-rasanya sungkan bukan kepalang jika ujug-ujug bertamu tanpa berkabar terlebih dahulu. Meski saya mafhum betul di mana letak rumah hunian mas Novel itu. 

Sontak saya sedikit memutar otak. Bagaimana cara terhubung kembali dengan beliau. Pertama saya Direct Messege (DM) via akun instagram, namun tidak ada jawaban. Pada akhirnya saya meminta nomor kontak mbak Nila kepada Pak Agus. Logika kerjanya cukup sederhana, mana mungkin nih kepala sekolah tidak punya nomor kontak para karyawannya. Pasti beliau punya dong. Benar saja, tak butuh waktu lama saya dikirimi apa yang saya minta. 

Sungkan tapi mau, saya mulai basa-basi bersilaturahmi via WhatsApp dengan mbak Nila. Tentu saja tujuan utamanya adalah menghubungkan kembali silaturahmi yang terputus. Lantas, saya pun meminta nomor kontak mas Novel. Persis dengan kalimat yang saya kirimkan ke mbak Nila saya mulai melayangkan chat kepada mas Novel. Singkatnya, saya membuat janji untuk sowan ke rumahnya. 

Dua-tiga kali kesempatan bersua sempat dibuat, namun apa daya keadaan tidak pernah merestuinya. Karena faktor sakit fisiklah, kesibukan yang menggunung, waktunya yang belum tepat dan lain sebagainya. Memang harus diakui bersama, terlampau banyak faktor eksternal yang terkadang spontanitas hadir menjegal untuk melaksanakan suatu kebaikan. Kita sadari bersama atau pun tidak. Suka tidak suka, namun harus kita terima apa adanya. 

Niat baik itu akhirnya terkabul, Senin, 8 Juli 2024, ba'da sekitar pukul setengah delapanan saya berhasil sowan. Motor saya parkir tepat di halaman rumah. Perawakan mas Novel tampak lebih subur dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Kami bersalaman, bertegur sapa dan tenggelam dalam samudera percakapan. 

Tak sedikit kami saling mengorek nostalgia di masa-masa silam. Baik itu saat menjadi mahasiswa bidikmisi, kegilaan menjadi mahasiswa fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah (FUAD) hingga menelusuri ceruk-ceruk nama yang sekarang jauh dari pandangan dan hampir terlupakan. Tak ketinggalan berbagai keresahan hidup pun sempat terluapkan memenuhi meja yang berisi roti dan es teh produk mas Novel. Belakangan ini memang mas Novel membuka bisnis es teh persis di halaman rumahnya. Bisnis itu ia kelola sendiri dengan  dibantu oleh adik kandungnya. 

Malam itu mas Novel benar-benar mafhum dengan tujuan saya. Ia menyodorkan dua buku solonya ke hadapan saya. "Silakan dibaca-baca dulu mas, kira-kira buku mana yang menarik untuk dibedah?" ucapnya kepada saya. "Oke mas. Saya baca-baca dulu sebentar ya..." saya menimpalinya. Saat saya menikmati lembar demi lembar tulisan di dalam buku, mas Novel tampak sibuk melayani costumer. Bahkan ia sempat 1 kali mengantarkan pesanan es teh itu secara mandiri. 

Setelah kembali, ia sempat memberikan cuplikan bagaimana tentang isi kedua bukunya. Sempat pula menceritakan latar belakang bagaimana buku itu bisa terlahir, perjuangannya tatkala menjadi guru jurnalistik di MAN 2 Banyuwangi hingga keadaan literasi di tempat kerjanya yang baru, MAN 1 Tulungagung. 

Persuaan malam itu benar-benar dirindukan, saking gayengnya kami bercengkrama sampai larut malam. Bahkan gerai es teh milik mas Novel sudah tutup dari pukul 21.00 WIB dan lampu rumahnya sudah dimatikan, saya pun menjadi sungkan. Akhirnya di malam itu disepakati, buku yang tampaknya menarik untuk dibedah adalah Tongkah Mbah Kakung. Poadcast-nya berlangsung selama 1 jam via Zoom, yakni dimulai pukul 19.30 WIB hingga selesai. Sementara untuk perhelatannya yakni hari Sabtu, 13 Juli 2024. 

Jika boleh jujur, mulanya saya mendesain acara bedah buku mas Novel itu untuk merayakan ulang tahun saya yang ke-30, (kok wes tua ya? Gusti, paringono jodoh tahun niki. Amiin) jadi saya setting tanggal perhelatnya Rabu, 10 Juli 2024. Rencananya akan meneruskan program Ngaji Literasi SPK Tulungagung. Akan tetapi setelah konsultasi dan konfirmasi kepada Prof. Naim (pembina SPK pusat dan Tulungagung), beliau mengusulkan acara tersebut di-sounding-kan SPK pusat supaya lebih ramai dan hidup. 

Selaiknya seorang murid yang taat terhadap gurunya, saya pun mengaminkan hal itu. Lantas saya komunikasikan dengan Bu Dr. Hitta Alfi Muhimmah, M. Pd. (selaku ketua SPK pusat) terkait agenda itu. Tak butuh waktu lama untuk beliau menyetujuinya. Rencana akhir ini pula kamudian yang saya sampaikan kepada mas Novel selaku pembicara. Meski awalnya mas novel tampak pesimistis dan minder duluan, tapi saya berusaha menyakinkannya, bahwa ia bisa. Ada inspirasi dan semangat yang perlu dibagikan kepada khalayak. 

Ohya, malam itu juga, akhirnya mas Novel secara resmi bergabung menjadi bagian dari SPK Tulungagung setelah saya masukkan ia ke dalam grup WhatsApp. Itu saya lakukan berdasarkan permintaan mas Novel dan konfirmasi dari Prof. Naim. Beberapa saat setelah dimasukkan ke dalam grup itulah ia mulai bertegur sapa. Termasuk didalamnya, menyambung silaturahmi dengan anggota SPK Tulungagung lain yang ternyata juga teman seperjuangan di bidikmisi terdahulu. 

Sebenarnya, jauh-jauh hari sebelum bertemu, tanpa diminta secara langsung oleh mas Novel sekali pun, saya sudah memiliki niatan untuk mengajak mas Novel bergabung menjadi bagian SPK Tulungagung. Saya masih terngiang-ngiang, saat dahulu masih berproses sebagai konselor di Pusat Pembelajaran Keluarga Kabupaten Tulungagung di bawah naungan Dinas Sosial dan Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak ia sempat ada keinginan untuk membuat buku. Itu artinya ada geliat literasi yang masih berkecamuk dan belum tertunaikan. Saya bermaksud mengajak melestarikan dan mengembangkan potensi literasi itu di SPK Tulungagung. 


Tulungagung, 14 Juli 2024

Komentar

  1. Salam literasi. Ulasan yang luar biasa 👍

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih Bu. Terima kasih sudah membaca sampai tuntas dan meninggalkan jejak.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam aktiv

Deskripsi dihari Wisuda

                   Acara wisuda II IAIN Tulungagung, akhirnya telah diselenggarakan pada hari kemarin, yang lebih tepatnya pada hari Sabtu, (05/9) pagi-siang. Tempat tamu yang telah tersedia dan tertata rapi pun akhirnya mulai dipadati oleh para calon wisudawan, wisudawati dan para tamu undangan.           Acara yang telah teragendakan jauh-jauh hari oleh kampus tersebut pun Alhamdulillah berjalan dengan baik dan khidmat, (husnudzon saya). Pasalnya hal yang demikian dapat dilihat, dipahami dan dicermati dari jalannya acara tersebut yang tidak molor (memerlukan banyak waktu).        Hari itu telah menjadi saksi bisu sejarah kehidupan (baik parsial/kolektif) yang menegaskan adanya sesuatu hal yang istimewa, penting dan berharga. Tentu saja semua itu dipandang dari framework umat manusia yang lumrah.           Gejolak rasa parsial pun pastinya tidaklah lepas dari pengaruh keadaan yang sedang terjadi. Namun nampaknya rasa bahagia pun menjadi dominan dalam menyelimuti diri. Hal