Gambar: Dokpri flyer Poadcast Ruang Inspirasi
Senang rasanya saya berkesempatan menjadi nahkoda di poadcast Ruang Inspirasi perdana Sahabat Pena Kita (SPK). Perdana dalam konteks ini bukan berarti pembuka melainkan kegiatan perdana dalam pengurusan baru; meneruskan program kerja yang sempat mandeg di sesi pengurus sebelumnya. Pantas tak pantas, ya begitulah adanya. Begitulah saya ingin mengatakannya. Tak kurang dan tak lebih, tanpa ada tendesi apa pun di dalamnya. Perihal tercetusnya poadcast Ruang Inspirasi akan diulas pada tulisan selanjutnya.
Poadcast perdana ini mendedah buku Tongkat Mbah Kakung. Buku Tongkat Mbah Kakung adalah karya solo perdana mas Novel Mukholis, S. Sos. (selanjutnya disebut mas Novel). Ia merupakan anggota Sahabat Pena Kita (SPK) cabang Tulungagung. Anggota yang diakuisi lima hari sebelum perhelatan poadcast dilaksanakan. Tampak mendadak, namun sebenarnya jauh-jauh hari sebelum itu telah direncanakan untuk menggait mas Novel sebagai bagian dari SPK Tulungagung hanya momentumnya saja yang belum ketemu.
Berbeda dengan poadcast Ngaji Literasi SPK Tulungagung yang dihelat via live streaming Instagram, poadcast Ruang Inspirasi dihelat via Zoom Meeting. Program dengan konsep yang sama hanya berbeda soal penggunaan media. Penggunaan media yang berbeda tersebut dalam pelaksanaanya sempat menjadikan operator sedikit kalang kabut. Kebetulan yang menjadi operator mas Woko Utoro. Alhasil, perhelatan acara sedikit delay. Waktu live streaming agak molor.
Acara dibuka dengan sambutan Dr. Hitta Alfi Muhimmah, M. Pd. selaku ketua SPK. Beliau menegaskan, bahwa esensi dari poadcast Ruang Inspirasi adalah wadah bagi para penulis untuk menyampaikan pemikiran, gagasan atau ide ke ruang publik; melatih public speaking; personal branding; merawat geliat literasi seluruh anggota; menularkan semangat pentingnya melek literasi dan yang tak kalah penting adalah sebagai ajang mempromosikan produk anggota SPK. Satu program yang multi goals.
Gambar: Dokpri berlangsung zoom meeting Ruang Inspirasi
Menginjak pada acara inti. Mas Novel membuka pembahasan dengan menguliti riwayat kelahiran buku. Buku Tongkat Mbah Kakung ternyata ditulis ketika pandemi Covid-19 merembak. Naskah buku itu terselesaikan dalam kurun waktu 2 tahun. Lantas, naskah itu dikirim ke tim penerbit Nyalanesia melalui program gerakan guru menulis buku (GMB).
Mungkin sudah menjadi rahasia umum bahwa menerbitkan buku di musim pademi begitu menjamur, utamanya buku yang bergenre hasil keroyokan (antologi). Bahkan saking menjamurnya (membludak hebat), pihak perpustakaan nasional (Perpusnas) harus membuat kebijakan baru terkait pembatasan pemberian ISBN. Soal kebijakan tersebut saya kira dapat dibaca langsung di laman resmi perpusnas. Intinya, ISBN hanya diberikan untuk buku-buku solo rujukan atau tematik tertentu. Kendati begitu tak jarang kita menemukan buku antologi dengan mengusung tema tertentu namun ber-ISBN. Entalah, mengapa bisa begitu.
Buku Tongkat Mbah Kakung berisi kumpulan refleksi kehiduapan personal penulis. Mulai dari mendedah kehangatan hubungan emosional dengan sang orangtua dan kakek, perjuangan hidup, rupa-rupa ekspresi cinta, petuah-petuah spiritualitas hingga kegelisahan personal terkait profesi yang digelutinya. Tak ketinggalan, ada pula satu-dua topik yang menyinggung tentang literasi.
Meski isinya rupa-rupa namun secara garis besar pembahasannya mengerucut pada keteladan. Lebih tepatnya, secara implisit penulis hendak menjadi penyambung lidah atas berbagai petuah dan ajaran kebijakan (tasawuf amali) dari sosok kakek (dalam porsi yang dominan) dan orang tua (dalam porsi yang cukup) mas Novel. Ajaran dan petuah kebajikan itu pula yang kemudian dipegang teguh oleh mas Novel dalam menjalani kehidupan. Tak ingin petuah dan ajaran itu punah, maka ia berinisiatif mendokumentasikan dan mendakwahkannya melalui tulisan.
Dakwah bil qolam adalah jalan yang saya kira mas Novel tempuh. Ia melihat lanskap menularkan kebajikan di era mutakhir itu begitu besar. Tidak hanya cukup dengan dakwah bil lisan, melainkan dakwah bil qolam dan akhlak memiliki peranan yang penting di era ini. Menampilkan berbagai contoh kebajikan melalui sosok yang bersanad dibutuhkan di era yang serba sok bisa dan instan sekarang.
Meski kemudian, dalam seluruh pembahasan buku itu kita (pembaca yang budiman) tidak akan menemukan ulasan biografi dan gambaran tuntas tentang siapa itu sebenarnya sosok kakek mas Novel. Justru saya pribadi baru "ngeh" sosok teladan yang dibicarakan itu bernama KH. Zainal Fanani tatkala berbincang dengan mas Woko. Kiranya, tidak adanya ulasan tersebut saya pikir semata-mata untuk tidak riya atau sebagian dari cara sang cucu menjaga marwah dan maksum sang kakek.
Kentalnya ulasan tentang petuah dan ajaran tasawuf dari sang kakek itu pula yang kemudian saya kira menjadi inspirasi judul buku tersebut. Tongkat Mbah Kakung, tongkatnya itu bermakna ajaran dan petuah dari sang kakek yang bermanfaat dalam menjalani kehidupan di dunia. Petuah dan ajaran yang senantiasa relevansi untuk menjalani laku hidup yang bijaksana.
Menariknya lagi, tidak semua topik yang diusung dalam buku itu berusaha diulas menggunakan pendekatan tasawuf namun ada pula yang dipotret dari kaca mata psikologi. Pembahasan tentang sosok ibu misalnya, penulis berusaha membenturkan teori hierarki kebutuhan hidup manusia ala Abraham Maslow dengan realita hidup yang ia jalani selama kecil. Kebutuhan belonging, cinta kasih hingga aktualisasi diri benar-benar terjadi secara bertaraf.
Dari buku Tongkat Mbah Kakung kita belajar akan pentingnya mendokumentasikan pengalaman dan refleksi hidup. Utamanya pengalaman hidup itu mengandung ibrah yang luar biasa bagi khalayak. Siapa tahu apa yang kita tulis itu memberikan manfaat (dampak positif) bagi yang lain. Menjadi inspirasi dan sumber untuk melahirkan muara kebajikan yang tak putus-putus di hari kemudian.
Di lain sisi kita juga bisa belajar bahwa ide untuk menulis itu pada kenyataannya sangat dekat dengan kita. Jika kita merasa tidak ada ide dan buntu ide untuk menulis itu karena sensibilitas (kepekaan) akal budi kita saja yang tumpul. Tumpul karena memang tidak dipicu oleh adanya api kata. Persis seperti Victor Hugo (sastrawan dan penyair Prancis) katakan, bahwa membaca diibaratkan menyalakan api. Sementara setiap suku kata (frase) yang dieja adalah percikan api.
Lantas, sebagai penulis amatiran, yang perlu kita lakukan adalah meniru apa yang dilakukan oleh prolifik. Penulis produktif yang melahirkan lebih dari satu karya (tulisan) dalam sehari. Kata Omjay, menulislah setiap hari dan buktikan apa yang akan terjadi!
Pertanyaan pamungkas: Jika mas Novel mengabadikan petuah dan ajaran sang kakek tercinta ke dalam buku, lantas siapakah gerangan sosok penggugah (inspiratif; teladan) yang akan kita abadikan jasa dan ajarannya dalam karya kita?
Tulungagung, 22 Juli 2024
Mantab dan keren USTADZ
BalasHapusSiap. Terima kasih Bah.
Hapus