Satu waktu seorang lelaki ahli IT sempat bertanya kepada saya tentang apa keuntungan bergabung dengan komunitas literasi. Bukan hanya bergabung namun soal mengelola dan reward apa yang hendak diterima. Diterima secara pribadi atau pun oleh seluruh anggota di dalamnya.
Secara intens, ia mencecar saya dengan berondong pertanyaan fundamental bekerja. Sudah dapat ditebak saya kira, akan kemana muara maksud dari pertanyaan itu berlabuh. Tak lain dan tak bukan deretan pertanyaan hanya berujung materialistis semata. Sebab, ia berpikir, segala hal yang melibatkan tenaga dan pikiran harus diganjar dengan materiil. Jika tidak demikian, tampak zalim dan sia-sia.
Lantas, bagaimana tanggapan saya? Dengan santai saya menyodorkan jawaban alakadarnya. Komunitas itu memberikan banyak pengalaman, pengetahuan dan jejaring relasi serta investasi di masa depan. Tentu saja semua itu tidak akan didapatkan secara cuma-cuma di luar sana. Salah satunya, akan kita temukan manakala tergabung sebagai bagian dari komunitas.
Mendengar jawaban itu, sontak ia terheran-heran dan tidak habis pikir, bahkan baginya tidak masuk akal. Sama sekali tidak dapat diterima. Ya, dengan sarkas ia menggolongkan yang demikian itu sebagai perbuatan yang sia-sia. Hal itu dibuktikan dengan perkataan, "Mau sampaikan kapan? Usiamu lho wes semene."
Saya diam mematung. Berpikir sejenak, merangkai kalimat apa yang kira-kira mampu dicerna dengan baik, "Ya, semuanya butuh proses. Tidak ada yang instan," seloroh saya menimpalinya sambil mengimbuhkan senyum.
Pikiran saya terhiyak, kilas balik menerka apa-apa yang telah saya tuai dan nikmati selama ini dari komunitas literasi. Tidak dinapikan, memang selama ini tidak ada keuntungan materiil yang diterima (semoga lekas menuai hasil), namun begitu tidak sedikit pengalaman, jejaring relasi dan beberapa buah karya solo atau pun antologi yang sudah lahir.
Saya kira yang demikian itu juga merupakan capaian. Capaian kinerja bertahun-tahun bersama komunitas. Saya tidak bisa membayangkan, buku demi buku terus terlahir dari tangan dingin saya jika tidak bergabung dengan komunitas literasi.
Saya juga tidak bisa mengenal banyak sosok yang gigih dalam berjuang menjadi lebih baik melalui toreh karya. Terlebih-lebih, menjadi pribadi yang terus berkembang dan meningkatkan kualitas hidup dengan tradisi melek literasi yang baik. Bagi saya, tradisi melek literasi adalah modal penting untuk menghadapi tantangan hidup yang dijalani.
Tidak hanya itu, sejauh ini komunitas literasi sudah berjasa banyak membawa saya kepada hal-hal baru. Mengajarkan bagaimana menjadi speaker, marketing dan motivator serta leadership yang baik.
Mungkin iya yang demikian itu tidak diajarkan secara langsung dan struktural di dalam komunitas namun semua itu saya tuai melalui menikmati proses panjang selama menjadi bagian di dalamnya. Baik saya terpantik untuk belajar secara mandiri, belajar dari tokoh inspiratif atau pun sharing dengan kawan-kawan (anggota komunitas literasi) yang sudah jauh berpengalaman.
Sebagai buktinya, saya banyak belajar sebagai speaker dari program Ngaji Literasi. Belajar menjadi marketing produk (buku solo, antologi atau pun karya kawan-kawan) melalui berbagai event komunitas literasi.
Belajar motivator dan tutor melalui program Safari Literasi. Terakhir, saya sharing dan membimbing kawan-kawan mahasiswa Universitas Nurul Huda, Oku Timur, Sumatera Utara melakukan pelatihan sekaligus membuat buku antologi.
Ada pun soal leadership saya belajar banyak dari berbagai kasus, tantangan dan solusi terbaik dari ragam problematika yang muncul dalam komunitas. Termasuk belajar banyak dari karakteristik anggota komunitas yang mendorong saya untuk menyodorkan inisiatif baru guna mencapai tujuan tertentu. Tentu saja, segala upaya berusaha dilakukan demi keaktifan dan partisipasi anggota komunitas tetap hidup (ramai).
Semua yang telah disampaikan di atas tentu bukan alibi atau pun bermaksud pamer, namun hendak menegaskan bahwa kerja-kerja literasi bukanlah pekerjaan dalam upaya mendulang materiil semata-mata. Melainkan kesadaran kerja nyata untuk peradaban dan keabadian yang dilandasi semangat menebar kebaikan. Tanpa kesadaran tampaknya akan mustahil seseorang bergabung dengan komunitas literasi.
Jadi, jika anda menggunakan logika pamrih (untung rugi) bergabung dengan komunitas literasi saya kira perlu dipertimbangkan kembali tujuan Anda. Terlebih-lebih, jika Anda bergabung dengan komunitas literasi hanya untuk mencari popularitas, royalti dan eksistensi secara instan kiranya Anda telah keliru! Alangkah baiknya, Anda segera balik kanan.
Kendati begitu, bukan berarti bagi Anda yang mengikuti komunitas literasi jauh dari kata mendapatkan manfaat (jangka pendek dan panjang) melainkan hanya butuh proses. Karena komunitas literasi bukan tempat banyak protes tapi tempat untuk terus berproses.
Jadi, jika Anda bergabung dengan komunitas literasi tapi memilih posisi vakum. Memilih sikap acuh tak acuh, permisif terhadap kemalasan dan silent reader, saya kira rugi! Rugi yang sesungguhnya. Ada fasilitas untuk memperkaya diri, mengembangkan potensi dan meningkatkan kualitas diri kok diabaikan begitu saja.
Apalagi di dalam komunitas itu hadir sosok penulis prolifik teladan, sistem yang mendisiplinkan dan yang paling utama dibimbing secara gratisan. Lantas, nikmat mana lagi yang telah kamu dustakan?
Mari terus bergerak dan berproses bersama membangun rumah peradaban. Segera torehkan penamu jangan biarkan ia tumpul.
Ciamis, 29 Juni 2024
Keren dan mantab ustadz
BalasHapusSiap. Terima kasih, Bah. Sudah mampir dan meninggalkan jejak.
Hapus