Langsung ke konten utama

Secarik Sejarah MDTA Al Ikhlas

Dokpri gambar hanya pemanis bukan asli

Lembaga pendidikan yang berpengaruh kuat di kampung saya salah satunya adalah Madrasah. Madrasah yang berjarak 500 meteran dari rumah saya itu santer disebut Al Ikhlas oleh masyarakat sekitar. Madrasah yang belakangan--setelah saya amati akhir-akhir ini--mempertegas kedudukannya dengan tergabung sebagai bagian dari Diniyah Ta'limiyah Awaliyah (DTA).

Sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Pemerintah no. 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan pasal 21, pendidikan Madrasah Diniyah dibedakan menjadi tiga jenjang. Yakni jenjang Madrasah Diniyah Ta'limiyah Awaliyah (MDTA), Madrasah Diniyah Ta'limiyah Wustho (MDTW) dan Madrasah Diniyah Ta'limiyah Ulya (MDTU).

Masing-masing jenjang pendidikan non formal tersebut memiliki muatan materi keagamaan yang berkelanjutan. Selaiknya jenjang pendidikan formal yang menjadi sistem baku yang dianut selama ini. Perbedaan mendasar itu tidak terletak pada status legalitas, melainkan pada capaian yang hendak direnggut. Out put yang hendak dibentuk. Kendati begitu dalam tulisan ini hanya akan fokus mendedah tupoksi MDTA di kampung saya.

Setahu saya, pendirian MDTA ini mulanya adalah inisiatif perseorangan. Keluarga kecil yang merupakan trah darah santri alumni pondok pesantren Miftahul Khoer Pasirkadu, Petirhilir, Baregbeg, Ciamis. Tidak menutup kemungkinan suami istri itu melakoni tradisi santri yang berguru kebanyak ajengan di beberapa pondok pesantren. Sebutkan saja Pondok Pesantren sohor di daerah Pacet, Cijeruk sampai dengan Miftahul Huda Manonjaya, Tasikmalaya.

Keluarga kecil itu melihat peluang dakwah bahwa di pelosok kampung yang bernama Cigereba masyarakatnya membutuhkan bimbingan agama. Masyarakat sekitar yang getol menomorsatukan pendidik formal harus ditunjang dengan fondasi pendidikan agama. Bagaimanapun mengarungi ingar-bingar modernisasi zaman yang kian mutakhir harus berbekal kompas aktif supaya tidak tersesat. Kompas itu bernama Ad-Dinnul Islam.

Alasan itu pula yang menjadikan beliau berdua berjuang bersama membumikan pendidikan non formal di kampung yang terbilang jari penduduknya. Ada secercah harapan yang digenggam, bahwa kontestasi pendidikan Madrasah yang kental akan ghiroh keagamaan dapat menjadi haluan masyarakat yang saleh dalam bersosial, bermoral dan berperadaban. Visi misi mulia yang banyak bertumpu pada kultur gotong royong masyarakat kampung.

Tekad visioner itu benar-benar diimplementasikan dengan apik sampai saat ini. Bahkan di saat perjuangan itu nampak membara Madrasah itu sempat naik daun. Madrasah itu menjadi tempat ngaji primadona. Tempat ngaji primadona seperti apa? Primadona karena mampu menggaet banyak santri yang berasal dari 4 kampung. Santri yang berlatar belakang pendidikan formal dasar, menengah pertama sampai menengah atas.

Status primadona yang terdulang tersebut sempat menjadikan pengajar sekaligus pengelola kewalahan, hingga akhirnya merekrut salah seorang ustadzah. Bahkan kondisi itu sempat menghidupkan tradisi kompetitif dengan Madrasah sebelah yang memiliki fokus kajian kitab kuning yang terbilang ketat. Terbilang ketat karena memang Madrasah sebelah memiliki kobong dan santri mukim. Beberapa santri bahkan berasal dari luar kota. Dari Bandung dan Subang misalnya. Disamping memiliki keterampilan membuat jala ikan.

Kondisi tersebut diperkuat dengan fakta bahwa Madrasah sebelah itu dikelola ajengan yang dituakan di kampung, tidak ada biaya yang dikenakan dan seluruh keluarga besar terlibat sebagai pengajar di dalamnya. Alhasil, kekuatan sumber daya manusia dan sarana jauh lebih memadai. Sesekali melakukan kunjungan studi banding (pesantren kilat) ke pondok pesantren sohor tertentu menjadi salah satu program unggulannya. Keunggulan itu ditambah dengan usia santri yang merata di setiap jenjang. Sayangnya sekarang Madrasah sebelah itu telah ditutup.

Kembali ke fokus utama. Meski secara latar belakang usia MDTA Al Ikhlas memiliki santri yang beragam bahkan ada yang remaja akhir menuju dewasa, akan tetapi pengelola lembaga konsisten dengan nama DTA. Di lembaga tersebut diajarkan berbagai macam pelajaran agama. Meliputi baca tulis Al-Qur'an yang sekarang ditambah Tahfidzul Qur'an, Hadist, Tajwid, Aqidah, Akhlak, Fiqih, Bahasa Arab, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Khot Imla sampai dengan praktek ibadah.

Materi-materi keagamaan tersebut banyak dibedah menggunakan kitab kuning. Sedangkan selebihnya disokong oleh buku otoritatif yang dihibahkan oleh Kementerian Agama. Buku-buku itu diajarkan sebagai pelengkap dari materi pelajaran yang dikaji dari kitab kuning. Terkadang materi pelajaran itu menjadi ketat diajarkan manakala ujian tengah semester (UTS) atau ujian akhir semester (UAS) menjelang tiba.

Semua materi itu disampaikan di dua waktu utama santri kalong. Santri kalong karena memang tidak ada santri yang bermukim. Tidak ada asrama (Kobong dalam bahasa Sunda menyebutnya) yang tersedia di sana. Sore hari dan malam hari. Sore hari dihelat pasca menunaikan salat Asar. Sekitar pukul 16.00-17.30 WIB. Sedangkan malam hari, ba'da salat Magrib. Sekitar pukul 18.00-19.30 WIB. Jika bulan Ramadan tiba, jadwal ngaji ditambah setelah ba'da salat Subuh dan ba'da salat Duhur.

Eksistensi MDTA ini benar-benar nafas harapan di masa depan. Jantung perbaikan kehidupan masyarakat sekitar. Dapat dikatakan seluruh generasi muda di kampung saya berkewajiban mengenyam pendidikan agama di MDTA Al Ikhlas. Terlebih lagi, sejarah mencatat, sistem operasional pembelajaran di tempat ini bersifat sukarela. Tidak ditarik uang SPP. Kendati begitu, tidak sedikit wali santri yang terketuk hatinya untuk membayar iuran sebulan sekali semampunya. Walaupun minim akan biaya operasional, Alhamdulillah berbekal maqam keikhlasan sang guru Madrasah ini masih tetap eksis.

Dengan gaya hidup yang sederhana, keluarga ajengan itu aktif menggalakkan program terobosan baru keagamaan. Majelis pengajian Mingguan Ibu-ibu di Madrasah dihidupkan. Pengajian malam Seninan terus dipompa. Pengajian Ibu-ibu ba'da Jumatan di masjid Al Falah terus berlanjut. Ter-update, sang ajengan menjadi ketua DKM masjid Al Falah. Beliau juga menjadi salah satu inisiator mengadakan majelis pengajian bulanan antar desa.

Tak ketinggalan, untuk memajukan literasi Madrasah, pojok literasi dibangun meski sekarang koleksi buku itu masih minim. Guna menyokong tradisi dan mutu pendidikan agama yang lebih baik dari waktu ke waktu ajengan juga terlibat langsung dalam forum komunikasi pendidikan Diniyah (FKPD). Baik di tingkat desa Dayeuhluhur, kecamatan Jatinagara ataupun kabupaten Ciamis.

Kutasari, 30 Desember 2023


Komentar

  1. Tulisan informatif yang bermanfaat. Tmksh, Mas Roni

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih kembali master. Terima kasih juga sudah mampir dan meninggalkan jejak komentar.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam a...

Anak Penjajak Komik

Dokpri: Qadira dengan koleksi komiknya Belakangan saya dibuat takjub melihat pemandangan tak biasa di kelas 2 SDIT Baitul Quran. Takjub bukan karena huru-hara sedang meluluhlantakkan kursi dan meja. Bukan, bukan karena mereka sedang melakukan kegaduhan, bullying dan kenakalan meronta-ronta yang tampak di depan mata melainkan fenomena yang menyegarkan hati.  Bukan hanya maknyes di hati saya kira namun fenomena yang membuat hati merasa bangga: terketuk, kagum dan penasaran sekaligus menampar pipi--bagi siapa pun yang melihat. Lha, memang apa? Baca komik. Cuma baca komik? Tentu tidak. Tidak sedangkal itu kejadiannya.  Almira dan Qadira adalah dua siswi yang membuat saya takjub itu. Mereka berbeda dari siswa-siswi lain. Jika umumnya anak menjadikan semua tempat untuk bermain, bermain di semua tempat sesuka hati, bahkan anak hanya mau membaca saat kegiatan belajar mengajar belangsung maka berbeda dengan dua siswi tersebut. Almira dan Qadira lebih suka memanfaatkan waktu luang berte...

Serba yang Kedua

(Dokpri: flyer ngaji literasi edisi 4) Hemat saya angka 2 menjadi angka istimewa dalam ngaji literasi edisi keempat yang akan datang ini. Tepatnya, 3 kali angka 2 yang istimewa. Kenapa harus angka 2? Bukankah masih banyak angka lain: 1, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan seterusnya? Nah, jadi bikin penasaran kan? Pertama, angka 2 yang menegaskan bahwa di momen ngaji literasi edisi ini adalah kali kedua saya menjadi moderator setelah sebelumnya saya beserta Bang Almahry Reprepans bertukar posisi. Tentu saja, dua kali menjadi moderator dalam rangka membedah buku solo kawan-kawan anggota SPK Tulungagung, bagi saya, adalah satu kehormatan dan kesempatan yang luar biasa. Saya dapat belajar bagaimana cara berbicara di depan kamera dan public speaking. Selain itu, pada ngaji literasi edisi keempat ini menandaskan dua kali sudah saya menjadi moderator dalam membedah buku solo perdana sahabat Ekka Zahra Puspita Dewi setelah sebelumnya dipertemukan dalam acara bedah yang diusung oleh komunitas Lentera. ...